eQuator.co.id – Ketapang-RK. Pesawat maskapai Garuda Indonesia sempat gagal mendarat di Bandara Rahadi Oesman Ketapang, Sabtu (18/3) sekitar pukul 11.45. Diduga karena landasan pacu (runway) yang relatif pendek.
Saat itu, pesawat buatan Boeing yang digunakan Garuda mencoba mendarat dari arah selatan dan nyaris menyentuh landasan pacu. Tiba-tiba, pesawat terus melaju. Kembali mengudara. Beberapa menit kemudian, datang lagi dari arah utara. Kali ini, mendarat dengan sempurna.
“Banyak faktor penyebab dari pada gagalnya pesawat itu mendarat, dan salah satunya landasan pacu yang pendek,” tutur Direktur Jenderal Perhubungan Udara (Dirjen Hubud) Kementerian Perhubungan RI, Agus Santoso, menjawab Rakyat Kalbar.
Agus kebetulan melihat peristiwa tersebut. Ia hendak menuju Pontianak untuk balik ke Jakarta.
Pendeknya landasan pacu pada Bandara, diakui Dirjen Hubud yang resmi dilantik Menhub Budi Karya pada 24 Februari 2017 ini, sudah pasti memiliki risiko. “Anda tahu ndak sih dengan go around (sudah mau mendarat tapi tidak jadi, red)? Dan go around ini banyak faktor penyebabnya, salah satunya landasan yang pendek,” terangnya.
Memang, seiring berjalannya waktu, kesibukan kian meningkat di Bandara Rahadi Oesman. Bahkan, Agus menyebut, jika dilihat dari dimensinya, Bandara Rahadi Oesman termasuk melayani penerbangan yang tergolong sibuk.
“Karena di sini (Ketapang, red) dari dulu melimpah hasil hutan. Dan setelah hasil kayu habis diganti dengan perkebunan sawit, dan muncul lagi hasil tambang yang luar biasa, inilah yang menjadikan Ketapang ini banyak dikunjungi oleh pekerja-pekerja profesional maupun pekerja-pekerja berbagai level lainnya,” papar dia.
Sehari sebelumnya, Agus dan staf meninjau kondisi Bandara. Hasilnya, mereka memantau bahwa intensitas penerbangan di Bandara Rahadi Oesman relatif tinggi. Rata-rata pertumbuhan penumpang, diakuinya, luar biasa dibanding tahun-tahun sebelumnya.
Nah, lanjut dia, menampung pesawat-pesawat yang kapasitasnya besar dengan spin (putaran) dan wing (sayap) yang lebar, maka seharusnya Bandara Rahadi Oesman berklasifikasi besar. Sebab, lebar runway street (tempat pesawat mengambil ancang-ancang dalam takeoff atau juga sebagai tempat landing) ke kiri 150 dan kanan 150. Sehingga total lebar Bandara (melintang) harusnya 300 meter.
Ternyata, sambung Agus, Bandara Rahadi Oesman hanya 150 meter. Artinya, masih mengalami kekurangan paling tidak dua kali luas saat ini.
“Baru ditinjau dari arah melintangnya, belum lagi dari segi memanjangnya,” ujar dia.
Untuk sisi memanjang, ia menjelaskan, pihaknya sudah merancang sepanjang 1.650 meter. Akan tetapi yang di-declare IP (diklarifikasi informasi untuk penerbangan) hanya 1.400 meter. Dengan demikian, masih kurang 250 meter.
Kekurangan ini, diakui Agus, telah dibicarakan dengan Pemkab Ketapang. Bahkan, ia meminta pemerintah setempat membebaskan lahan di sekitar Bandara. Dengan harapan, runway di Bandara ini tidak mubazir dan 1.650 meter bisa dipakai semuanya.
Setakat ini, runway Bandara baru 1.400 meter yang artinya masih pendek. Ini berdampak bagi si pengemudi pesawat.
“Kan pilot tidak berani untuk mendarat terlalu rendah, jadi dia harus ada ancang-ancang, tapi di situ dia harus shut down. Nah kalau terjal kasian dengan pilotnya untuk mengempukan pesawat. Ini semua merupakan dasar daripada potensi-potensi adanya gangguan terhadap penerbangan,” terangnya.
Hanya saja, disinggung pembicaraan soal perluasan lahan dengan Pemkab Ketapang, ia sedikit mengalihkan pembicaraan. “Ya.. dari Pemda Ketapang memang…. gini loh sebetulnya penanggungjawab Airport itu tidak hanya mengelola Airport namun juga masyarakat sekitar,” tutur Agus.
Imbuh dia, “Kabarnya sih…, ini baru kabarnya, setiap saat harga tanah naik terus jadi APBD (Ketapang) yang dialokasikan tidak cukup, makanya sampai sekarang masih ada rumah di situ (Bandara). Ini yang menjadi kendala”.
Terlebih, sambung dia, jika memperluas Bandara Rahadi Oesman, minimum harus dua kali luas sekarang. “Bisa dilihat kalau di kiri dan kanan sekitar Bandara keberadaan perumahan penduduk padat, keberadaan Bandara kan juga di dalam kota,” ucapnya.
Hal ini berakibat, ketika masyarakat yang ingin mendirikan hotel atau bangunan tinggi lainnya tidak bisa. Oleh karena itu, biasanya Airport yang berada di dalam kota harus dipindahkan ke luar kota.
“Makanya, pembicaraan ini dengan pejabat pemerintah setempat, termasuk Bupati Kayong Utara mulai kemaren (Sabtu, 18/3) sore sampai malam cukup panjang. Tindaklanjutnya, pada pagi harinya selepas subuh kita berangkat meninjau lokasi bandara baru di Riam Berasap, Kayong Utara, dan Tempurukan, Ketapang,” ungkap Agus.
Ditanya lahan mana yang layak dibangun, apakah Kayong Utara atau Ketapang, Agus belum memberi jawaban final. Pihaknya masih harus mengkaji. Itu sebabnya, Agus membawa Profesor Masyhur Irsyam yang ahli Geoteknik untuk meneliti tanah. Nantinya, Prof. Masyhur menjadi panel ahli Direktorat Bandar Udara di Dirjen Hubud.
Kata Agus, daerah-daerah yang berada di pinggiran kota telah dikunjunginya. Mulai dari Ketapang hingga Kayong Utara. “Tanah itu masih harus distudi jangan sampai berada di lahan yang bergambut. Walaupun gambut ini sebetulnya bisa diatasi, namun menjadi lebih mahal jika untuk membangun Airport,” ulasnya.
Sejauh ini, pihaknya telah membuat skenario 5 sampai 6 lokasi sebagai alternatif Bandara. Nantinya diupayakan untuk tempat yang sudah clear dengan luas tanah yang tidak seperti Bandara Rahadi Oesman.
“Kalau Rahadi Oesman, masa’ Airport yang segede ini hanya 36 hektar, padahal Airport yang besar itu harus memiliki lahan di atas 200 sampai 300 hektar. Nah, cari tanah yang 300 hektar di sekitar ini (kota) tidak bisa, makanya kita harus cari alternatif lain di tempat sana,” timpal Agus.
Lantas, jika jadi Bandara di tempat baru, apakah Bandara Rahadi Oesman ditutup? “Soal itu urusan nanti, dan fokus kita sekarang membuat Airport baru yang jauh dari gangguan. Dan yang pertama sekali kami tekankan itu adalah keselamatan, keselamatan, dan keselamatan,” jawabnya.
Di Kalimantan, ia menambahkan, ada beberapa Bandara yang hampir sama nasibnya dengan Bandara Rahadi Oesman. Seperti sebuah Bandara di Samarinda. Di sana, Bandara tempat mendaratnya hanya seperti lorong, makanya dibuatkan Airport baru yang ada di Samarinda Baru. Letaknya jauh dari kota dan sekarang juga baru setengah jadi.
“Tipikalnya mirip seperti Rahadi Oesman yang tempatnya sudah sempit sehingga direncanakan sama Pemda dipilih tempat-tempat yang baru untuk Airport baru,” tegas Agus.
Ditambahkan Prof. Mashur Irsyam, lokasi Bandara di Riam Berasap, Kayong Utara memiliki tekstur tanah yang cukup baik. “Tapi harus kita teliti labih mendalam nantinya,” ucap ahli Earthquake Geotechnic Engineering atau Rekayasa Geoteknik Kegempaan ini.
Laporan: Kamiriluddin
Editor:Mohamad iQbaL