Para pelajar SMAN 10 Malinau yang terletak di Desa Long Alango, Kecamatan Bahau Hulu, Malinau, rela menempuh perjalanan panjang dan berbahaya untuk bisa ke Ibu Kota Kalimantan Utara (Kaltara).
FITRIANI, Tanjung Selor
eQuator.co.id – TAHUN ini, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) RI menargetkan pelaksanaan Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK) harus 100 persen diterapkan di tingkat SMA/SMK sederajat. Tak terkecuali di Kaltara.
Namun, saat ini masih ada beberapa sekolah yang belum memiliki kelengkapan fasilitas dan dukungan jaringan internet. Terutama yang berada di pedalaman maupun perbatasan Kaltara. Meskipun ujian bisa dilakukan secara offline, kendala dihadapi ketika pengambilan token saat ujian pertama kali haruslah menggunakan jaringan internet.
Sedangkan jaringan internet di daerah pedalaman masih sulit untuk diakses. Jikapun ada, hanya 2G. Untuk tetap bisa ujian, tiga guru SMAN 10 Malinau terpaksa harus membawa 11 pelajarnya menempuh perjalanan jauh, demi bisa melaksanakan UNBK yang akan dilakukan di ibu kota Kaltara, Tanjung Selor.
Rencananya, 11 pelajar itu menumpang di SMAN 1 Tanjung Selor untuk melaksanakan proses belajar hingga pelaksanaan UNBK pada April mendatang. Sebenarnya, para pelajar kelas XII tersebut bisa saja menumpang di salah satu sekolah di Malinau. Namun, mengingat biaya transportasi ke Tanjung Selor lebih murah dibandingkan ke Malinau, maka pihak sekolah lebih memilih ke Tanjung Selor.
Kepala SMAN 10 Malinau, Lenggang Inggi, mengatakan untuk sampai ke Malinau, pihaknya harus mengeluarkan biaya pesawat Rp1,6 juta perorang. Sedangkan maskapai baru mau masuk ke Long Alango jika penumpang sudah full.
“Kalau penumpang hanya satu atau dua orang, tidak akan jalan. Bisa jalan asalkan dicarter dengan biaya puluhan juta,” ujarnya saat ditemui Radar Kaltara (Jawa Pos Group) di kediaman sementara selama berada di ibukota provinsi termuda di Indonesia itu.
Lebih lanjut, ia menceritakan, satuan pendidikan yang dipimpinnya itu masih sangat minim fasilitas. Sejauh ini hanya memiliki tiga rombongan belajar (rombel). Sedangkan yang dibutuhkan lima rombel. Mereka memang memiliki tiga unit komputer, namun dua di antaranya rusak.
“Jika pelajaran komputer, pelajar harus bergantian menggunakan satu unit yang masih baik. Termasuk menggunakan laptop guru yang ada,” beber Lenggang.
Selain itu, untuk mengakses jaringan internet, pihak pemerintah desa memang sudah menghidupkan mesin tower yang bertenaga genset. Tapi signalnya terkadang tidak muncul hingga sepekan lamanya.
“Kadang hanya buang-buang BBM (Bahan Bakar Minyak) saja, dihidupkan tapi tidak ada jaringannya. Apalagi BBM yang digunakan jenis solar dan harganya cukup tinggi, sekitar Rp20 ribu perliter,” jelasnya.
Untuk sampai ke Tanjung Selor, mereka membutuhkan waktu dua hari perjalanan. Mereka berangkat pada Minggu (25/2), dari Desa Long Alango menuju Desa Long Paliran, Kecamatan Pujungan, menggunakan perahu bermesin ketinting yang memakan waktu sekitar 5 jam.
Sebelum membawa anak-anak, pihak sekolah terlebih dulu melakukan sosialisasi dengan pemerintah desa maupun kecamatan, hingga diputuskan membawa anak-anak dengan bantuan dan dukungan dari semua pihak. Modal untuk ke Tanjung Selor pun merupakan bantuan masyarakat maupun pemerintah desa dan kecamatan.
Mereka dimudahkan dengan gotong-royong masyarakat sekitar, dengan mendapatkan potongan harga untuk menghemat. Seperti harga menaiki longboat yang normalnya Rp700 ribu hingga Rp800 ribu perorang, tetapi hanya dikenakan Rp6,5 juta untuk 11 orang pelajar dan 3 guru.
“Pengusaha juga mendukung, jadi harganya dihitung rombongan saja, dan alhamdulillah bantuan masyarakat juga banyak. Jadi semua aspek mendukung, karena tidak bisa pakai dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah). Sebab tidak ada petunjuk teknis (juknis)-nya, jadi kami serba salah,” ungkap Lenggang.
Imbuh dia, “Kalau tidak ada dukungan dari masyarakat, kami bisa menghabiskan dana sekitar Rp40 juta, karena pelajar kami akan stay di Tanjung Selor sekitar 40 hari”.
Lanjutnya, perjalanan ke Tanjung Selor ini pun bersama dengan penumpang lain. Jika harus mencarter longboat, biayanya sekitar Rp60 juta. Sedangkan untuk perahu ketinting, jika dicarter membutuhkan Rp2,5 juta satu unit. Komposisi 11 orang membutuhkan 5 hingga 7 unit. Namun, karena masyarakat menyumbang, pihaknya cukup membeli BBM saja.
“Kalau kita carter ndak mungkin bisa,” ucap Lenggang.
Setelah melewati perjalanan yang cukup ekstrim karena ada beberapa titik giram (batu yang melintang di sungai), mereka harus menginap dulu semalam di Desa Long Paliran. Kondisi pakaian yang sudah basah akibat tersiram air sepanjang perjalanan mengkhawatirkan sebab kondisi anak-anak harus tetap fit.
Keesokan harinya, rombongan melanjutkan perjalanan dari Long Paliran menuju Tanjung Selor. Masih menggunakan loangboat. Di situ, perjalanan tak semulus yang dibayangkan.
Seperti dari Desa Loang Alango, perjalanan ke Tanjung Selor juga masih menjumpai beberapa titik giram. Sehingga pada saat menemukan giram, seluruh penumpang termasuk 11 pelajar dan 3 orang guru SMAN 10 Malinau ini harus turun dan berjalan kaki di tepi sungai yang dipenuhi bebatuan. Hingga sampai pada titik yang sudah aman untuk longboat melaju kembali.
“Beberapa kali kita turun dari longboat, karena kalau tidak turun perahu akan kandas di giram. Dan potensi perahu karam juga tentu menjadi pertimbangan kita untuk memilih turun,” tukas Lenggang.
Setelah melewati berbagai rintangan, akhirnya sampai di Tanjung Selor pada Senin (26/2) sekitar pukul 21.00 Wita. Seharusnya menginap dulu di salah satu desa karena perjalanan malam hari cukup berbahaya.
Namun, dia meminta tolong kepada motoris longboat agar meneruskan perjalanan, mengingat pakaian yang dikenakan pelajar maupun barang bawaan banyak yang kembali basah. “Biasanya menginap, tapi kami minta tolong sama yang punya perahu supaya jalan. Jadi kita pelan-pelan saja dengan menggunakan senter sebagai penerangan,” sebutnya.
Setelah sampai, para pelajar tersebut langsung beristirahat dan keesokan harinya membersihkan rumah dan mencuci pakaian bawaan yang sudah basah karena terkena air sepanjang perjalanan dari Loang Alango hingga Tanjung Selor. Sementara, proses belajar kemungkinan akan dilakukan Kamis (1/3) setelah melakukan koordinasi dengan pihak SMAN 1 Tanjung Selor dan setelah para pelajar beristirahat.
Perjalanan dua hari itu sangat menyita tenaga. Ditakutkan jika dipaksakan akan ada anak didik yang sakit. Terlebih, mereka jauh dari orangtua.
Jadwal simulasi UNBK pada Selasa (6/3), sebenarnya setelah simulasi itu pihaknya berencana kembali, tapi biaya transportasi cukup besar. Dan, jika air surut, longboat tidak bisa beroperasi. Jadi, tidak memungkinkan untuk kembali. Akhirnya mereka harus menunggu ujian dilaksanakan dengan menumpang belajar di SMAN 1 Tanjung Selor.
“Apalagi di sana (Sungai Bahau) sudah banyak memakan korban, jadi kami sementara akan belajar di SMAN 1 Tanjung Selor. Kalau tidak ada ruangannya, kami bisa belajar di rumah tinggal. Itu tidak menyurutkan semangat kami, tetap semangat untuk anak Indonesia,” seru Lenggang.
Dia berharap pemerintah memberikan fasilitas sebagai penunjang pelaksanaan UNBK. Agar tahun berikutnya bisa melaksanakan UNBK di Long Alango, atau memberikan kebijakan seperti memberikan dana untuk transportasi ke ibukota Kaltara.
“Apalagi tahun depan pelajar kelas XII lebih banyak, sekitar 20 orang. Kalau semuanya mau dibawa, kemungkinan pelajar tidak akan sampai ke sini,” ucapnya. “Ini juga rumah kontrakannya Pak Roni (salah seorang guru), kebetulan kosong jadi bisa digunakan. Kami harap ke depan fasilitas diberikan, dan disamakan dengan sekolah lainnya, karena kami sama-sama anak Indonesia,” tambah Lenggang. (Radar Kaltara/JPG/bersambung)