eQuator.co.id – TANJUNG REDEB – Wacana Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy untuk menerapkan full day school (FDS) atau sekolah seharian hari penuh, menuai pro dan kontra di kalangan masyarakat.
Media-media nasional, baik elektronik maupun cetak, banyak mengulas pro dan kontra persoalan penerapan sistem pendidikan yang diklaim bisa membentuk karakter anak tersebut.
Menurut Kepala Dinas Pendidikan (Kadisdik) Berau Susila Harjaka, sudah beberapa sekolah di Bumi Batiwakkal – sebutan Kabupaten Berau – yang lebih dahulu mengarahkan sistem pembelajarannya seperti yang diwacanakan Mendikbud. Seperti Sekolah Islam Terpadu Ash Shohwah dan Madani, termasuk SMA 4 Berau.
“Kalau di sini sudah ada yang mengarah ke sana, tapi belum ada yang bisa dikategorikan full day school,” katanya saat ditemui di ruang kerjanya, Rabu (10/8).
Tetapi, saat ditanya bagaimana kesiapan sekolah-sekolah negeri di Berau FSD benar-benar diterapkan di Indonesia, Harjaka enggan menjawabnya. Termasuk kesiapan tenaga pengajar, fasilitas sekolah hingga hal-hal teknis lainnya.
“Saya belum mau bicara banyak soal itu, kan masih wacana juga. Lihat nanti saja dulu,” singkatnya.
Terpisah, Bupati Berau Muharram, justru mendukung wacana Mendikbud terkait sistem pendidikan dengan pola FDS.
Menurutnya, ada beberapa nilai positif yang akan dihasilkan dengan penerapan pola FDS di Indonesia, termasuk Berau. Salah satunya, dengan berlama-lama di lingkungan sekolah, para pelajar tidak memiliki peluang atau waktu yang banyak untuk berinteraksi dengan lingkungan luar sekolah yang relatif sulit dikontrol pengaruh negatifnya.
Apalagi jika diterapkannya FSD, waktu pulang anak sekolah dan orangtua, khususnya para pegawai negeri sipil (PNS), sangat berdekatan. Sehingga, orangtua bisa langsung menjemput anak-anak mereka di sekolah, yang makin meningkatkan waktu kebersamaan anak dan orangtua.
Hal positif lainnya, FSD akan membuat anak-anak lebih banyak bermain dan belajar di sekolah. Sehingga sepulang sekolah, anak-anak akan enggan bermain di luar rumah, apalagi keluyuran karena sudah kelelahan saat bermain dan belajar di sekolah.
“Kalau disebut menyita waktu dengan orangtua, saya rasa tidak juga. Karena biasanya full day school itu sekolahnya libur dua hari, yakni di hari Sabtu dan Minggu,” ujarnya.
“Di saat itu akan bisa bersama dengan orangtua dengan frekuensi yang relatif banyak, karena akan bersamaan liburnya dengan orangtua. Untuk daerah perkotaan, ide ini cukup ideal,” lanjutnya.
Namun untuk menghindari kejenuhan siswa dalam belajar, para pengajar diharapkan bisa memberikan berbagai permainan yang bisa menghilangkan rasa jenuh anak-anak, tetapi tetap mengandung nilai-nilai edukasi.
Tetapi, menurut Muharram, pola FDS perlu sedikit dimodifikasi, khususnya untuk mengakomodasi kepentingan sistem pendidikan di daerah terpencil. Contohnya dengan penerapan ekstrakurikuler yang menyesuaikan dengan kondisi daerah masing-masing.
“Contohnya, kalau lingkungannya adalah petani, maka sebaiknya anak-anak di isi dengan ekstrakulikuler praktik pertanian dan perkebunan misalnya,” jelas Muharram.
Terakhir ditegaskannya, di Berau sendiri, sudah ada yayasan pendidikan yang menerapkan pola FDS walau belum FDS penuh, yakni Yayasan Pendidikan Ash Shohwah. (*/sam/udi)