eQuator – Program dokter internship yang memakan korban dokter-dokter muda membuat Ikatan Dokter Indonesia (IDI) turun tangan.
Rencananya dalam muktamar IDI 2015 yang akan digelar Rabu (18/11) hingga Minggu (22/11), organisasi dokter se-Indonesia itu akan membahas soal pendidikan kedokteran yang gelagatnya akan merubah wajah pendidikan kedokteran di Indonesia.
Yakni, pendidikan kedokteran yang tercermin sebagai jalan tolnya orang berpunya alias si kaya akan diupayakan dirombak. Pendidikan dokter sewajarnya memang milik semua orang yang memiliki kemampuan akademis dan mental yang mumpuni. Ironis, perubahan kerap kali terjadi bila sudah ada tumbal. Kali ini dr Dionisius Giri Samudra yang menjadi salah satu tumbal itu.
Ketua IDI Majalengka dr Erni Harleni menuturkan, meninggalnya dokter internship saat bertugas itu sebenarnya tidak hanya kali ini. Sudah berulang kali terjadi dokter muda meninggal saat menjalani pendidikan atau menjalani program yang ditentukan pemerintah. “Lalu, pertanyaan yang muncul apa? Dokter kurang fasilitas atau yang lainnya,” ujarnya.
Baginya, soal kurangnya fasilitas dan minimalisnya gaji dokter internship bukan pokok utama. Yang paling mendasari banyaknya dokter meninggal saat bertugas adalah kemampuan dokter tersebut. “Kemampuan dokter ini bila ditarik secara sederhana adalah soal pendidikan dokter di Indonesia,” paparnya.
Apa masalahnya dalam pendidikan dokter di Indonesia? Dia sedikit terdiam. Sejurus kemudian, Erni menjawab dengan tegas bahwa saat ini pendidikan dokter hanya untuk yang berpunya alias si kaya. “Bukan untuk orang-orang yang benar-benar memiliki kemampuan secara skill dan mental. Itulah poin utamanya,” tutur dr Erni ditemui di kantornya di lantai dua RSUD Majalengka Sabtu (14/11) lalu.
Bibit dokter unggulan itu kalau dididik dengan program pendidikan kedokteran tentu akan tumbuh menjadi tenaga medis yang handal. Secara kemampuan, pengetahuan dan fisik juga tidak perlu dipertanyakan.
“Kalau untuk sekarang pendidikan kedokteran bagi si kaya ini menimbulkan problem, belum tentu kemampuan itu menyertainya. Namun, yang pasti si miskin yang memiliki skill, tidak akan mampu menempuh kuliah kedokteran,” terangnya.
Mahalnya pendidikan dokter bukan hanya karena biaya pendaftaran yang begitu besar. Di sisi lain, waktu pendidikan yang begitu panjang juga tidak bisa dihiraukan. Dulu sebelum 2011 atau sebelum program internsip dicanangkan, dokter harus mengikuti program pegawai tidak tetap (PTT) sekitar satu tahun. Lalu ditambah waktu kuliah sekitar empat tahun, pendidikan koas selama setahun dan ujian kompetensi dokter Indonesia (UKDI) yang begitu sulit, bisa setahun atau kurang.
“Saya ini hasil pendidikan kedokteran yang melalui PTT, Saya membutuhkan waktu 6 tahun 7 bulan untuk menempuh pendidikan dari kuliah hingga bisa memiliki izin praktek mandiri,” paparnya perempuan berjilbab tersebut.
Namun, pendidikan kedokteran setelah 2013 itu menjadi jauh lebih panjang, bisa mencapai 8 tahun hingga 10 tahun. Kuliah selama empat tahun, pendidikan koas menjadi dua tahun, ujian UKDI yang antriannya panjang butuh setahun dan program internship selama setahun penuh. “Standarnya 8 tahun baru bisa membuka praktek, ini kalau dilihat biayanya menjadi sangat besar dan tidak masuk akal. Maka waktu panjang ini harus dipangkas agar lebih murah,” paparnya.
Karena itu, lanjut dia, untuk mengurangi besarnya biaya pendidikan bisa dilakukan dengan mengubah roh dari pendidikan kedokteran. Misalnya, pendidikan kedokteran gratis untuk setiap orang yang memiliki kemampuan. “Tentunya bisa dites dan semacamnya. Kami akan bahas itu di muktamar IDI. Semoga semua lancar dan bisa diajukan ke Menteri Kesehatan,” tegasnya.
Dirjen Sumber Daya Ilmu Pengetahuan Teknologi dan Pendidikan Tinggi Kemenristekndikti Ali Ghufron Mukti membantah jika fakultas kedokteran hanya untuk mahasiswa kaya. “Pemerintah punya program Bidik Misi (bantuan pendidikan mahasiswa miskin),” katanya kemarin. Program Bidik Misi yang menggratiskan biaya kuliah itu juga dialokasikan untuk mahasiswa miskin berprestasi di fakultas kedokteran.
Mantan Wakil Menteri Kesehatan itu mengatakan PTN yang mendapatkan alokasi bidik misi tidak boleh hanya membuka akses bidik misi di fakultas-fakultas sosial atau yang kurang diminati. Alokasi bidik misi harus disebar merata ke seluruh fakultas yang ada di sebuah PTN.
Terkait dengan program internship sendiri, Ali Ghufron mengatakan ditujukan untuk memberikan kesempatan pemahiran dan pemandirian bagi dokter-dokter yang baru disumpah. Dia mengatakan ketika mengikuti program koas (pendidikan profesi dokter), mereka masih belum leluasa mempraktikkan ilmunya mengobati pasien. (Jawa Pos/JPG