eQuator.co.id – Jakarta – Pendidikan anak-anak eks gerakan fajar Nusantara (Gafatar) mulai jadi perhatian pemerintah, setelah pemulangan mereka ke daerah. Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Puan Maharani menuturkan, Kementerian Pendidikan (Kemendikbud), saat ini, sedang menyusun formula pengembalian mereka ke bangku sekolah.
Usai rapat koordinasi penanganan eks Gafatar di kantornya, kemarin (2/2), Puan menjelaskan salah satu skema yang akan digunakan. Yakni, adanya tes untuk menentukan tingkatan kelas mereka nanti. Keputusan ini diambil setelah memperhatikan keterbatasan data tentang pendidikan mereka saat migrasi ke Kalimantan. ”Data dan rapor gak ada. Jadi nanti di tes. Gak sesuai umur, tapi kemampuan berfikir,” tuturnya.
Dengan kata lain, meski anak tersebut berumur 10 tahun, yang seharusnya duduk di kelas empat, ada kemungkinan untuk kembali duduk di kelas dua bila gagal dalam tes.
Usai dilakukan tes dan diputuskan tingkatan pendidikannya, Kemendikbud memberikan kekhususan lain untuk mereka yang akan ujian. Seperti mereka yang duduk di kelas 6, 9 dan 12. Mereka diberikan ujian khusus. ”Kami juga minta mereka bisa mendapat kartu Indonesia pintar agar bisa terus mendapat pendidikan,” tuturnya.
Sementara itu, Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen) Kemendikbud Hamid Muhammad menjelaskan, ada empat skenario akses pendidikan bagi anak eks Gafatar setelah kembali ke kampung halamannya. Yaitu kembali masuk ke sekolah, madrasah, pusat kegiatan belajar masyarakat (PKBM), atau homeschooling.
Pejabat asal pulau Madura, Jawa Timur itu menuturkan bagi mereka yang akan masuk ke jalur sekolah, maka akan dilakukan sejumlah pengecekan. Diantara yang paling krusial adalah pengecekan dokumen pendidikan terakhir. ’’Jika ada dokumen rapor atau ijazah, ya tinggi memasukkan ke sekolah sesuai dokumen itu,’’ katanya.
Tetapi ada kondisi dimana anak-anak eks Gafatar itu sama sekali tidak memiliki dokumen pendidikan. Nah untuk kondisi yang demikian, akan dilakukan tes sebagai dasar penempatan (placement test). Hamid menegaskan pada dasarnya tes itu bukan untuk menolak atau menerima anak-anak tadi untuk masuk sekolah kembali.
’’Akses pendidikan mereka tidak boleh didiskualifikasi. Pendidikan yang layak itu hak mereka,’’ jelasnya.
Menurut Hamid selama ikut keluarga tinggal di komunitas Gafatar, anak-anak ini belajar dengan kurikulum buatan sendiri. Bukan kurikulum nasional seperti di kebanyakan sekolah. Model belajar mereka bisa disebut homeschooling ala Gafatar.
Terkait lama durasi belajar dengan kurikulum sendiri itu, Hamid menjelaskan tidak terlalu lama. ’’Sebagian mengaku mulai gabung Gafatar Agustus tahun lalu. Itu artinya hanya sekitar satu semester,’’ jelasnya.
Karena durasi yang singkat itu, dia berharap tidak perlu terlalu membutuhkan pendampingan untuk adaptasi kembali. Meskipun begitu Hamid mengatakan pemerintah tetap menyiapkan layanan pendampingan bagi yang membutuhkan.
Minta Pemda Segera Jemput
Hingga saat ini, tercatat 5.764 orang eks Gafatar yang masih berada di penampungan. Sebanyak 3.004 orang di penampungan Jakarta, 1.752 di Semarang, 727 di Surabaya dan 281 di Makasar. Nasib mereka masih belum jelas, karena pihak pemerintah daerah (Pemda) hingga kini belum melakukan penjemputan.
Terkait kondisi ini, Puan mendesak Menteri Dalam Negeri (Mendagri) agar segera menginstruksikan pemda melakukan penjemputan. Sehingga, pemulangan tahap selanjutnya dapat segera dilakukan.
”Pemda harus mempercepat penjemputan dan memastikan kehidupan sosial mereka di daerah,” tegasnya.
Dalam kesempatan sama, Mendagri Tjahjo Kumolo mengaku telah menginstruksikan penjemputan ini. Bahkan, pihaknya telah bersurat tiga kali pada pemda terkait Gafatar ini. Surat pertama menyoal tentang keberadaan Gafatar, kemudian, dilanjutkan dengan surat soal kemungkinan-kemungkinan pecahan organisasi masyarakat serupa. ”Dan ketiga surat soal keharusan Pemda untuk hadir, baik dalam penjemputan dan memastikan adanya pembinaan,” tutur Tjahjo. (mia/wan)