Ada Koalisi ‘Sengkuni’ di Balik Revisi UU KPK

TOLAK REVISI UU KPK. Bersama 36 elemen masyarakat, Dr. Hermansyah, berorasi di ‘Mimbar Bebas’ menolak revisi UU KPK, di Bundaran Digulis Untan, Pontianak, Senin (22/2). Fikri Akbar

eQuator.co.id – Pontianak-RK. Gelombang penolakan masyarakat terkait proses revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus bergulir di beberapa daerah se-Indonesia. Di Kalbar, Senin (22/2), seratusan massa yang tergabung dalam Masyarakat Sipil Anti Korupsi membuka ‘Mimbar Bebas’ di Bundaran Digulis Universitas Tanjungpura (Untan), Jalan A. Yani Pontianak.

Aksi tersebut didukung tak kurang dari 36 unsur. Kalangan akademisi, LSM, mahasiswa, kelompok agama, perempuan, seniman, dan lainnya bersikap bulat menolak revisi itu. Dan, mendesak pemerintah segera menghentikan prosesnya yang dianggap sebagai upaya pelemahan lembaga antirasuah Indonesia.

Koordinator ‘Mimbar Bebas’, Dr. Hermansyah, menilai revisi tersebut sengaja digulirkan oleh musuh-musuh negara bernama koruptor yang mencoba menghancurkan Indonesia dari dalam secara terencana dan sistematis. “Dengan cara-cara yang terkesan konstitusional,” serunya.

Sehingga, esensi penolakan yang dilakukan oleh berbagai perwakilan masyarakat Kalbar ini, kata akademisi Untan Pontianak itu, pertama karena KPK merupakan satu-satunya lembaga yang masih dipercayai saat ini untuk melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi.

“Menariknya, mereka, para koruptor, ini sudah berhasil mengalihkan isu, membalikkan fakta bahwa musuh negara ini bukan korupsi, tapi KPK,” papar Hermansyah.

Perubahan atau revisi itu, sebenarnya, menurut dia, lebih mencerminkan kegelisahan para ‘Sengkuni’ yang menyusup dalam tatanan pemerintahan Indonesia. Dengan tujuan, mengamankan kepentingan pribadi atau kelompoknya.

“Tidak dapat dibayangkan seandainya ini (revisi UU KPK,red) berhasil, Indonesia akan menjadi negara yang terkorup karena KPK tidak bisa berbuat banyak,” ujarnya.

Sengkuni merupakan karakter terkenal dalam wayang Jawa dengan lakon Mahabarata. Dia seorang patih di Astina, negara yang diperintah Kurawa. Potret Sengkuni berbadan kurus, bermuka tirus, dan berbicara lemah lembut tapi bikin kesal. Watak Sengkuni pun dikisahkan licik, senang menipu, menghasut, memfitnah, dan tentu saja munafik. Intinya orang yang ingin orang lain celaka.

Istilah Sengkuni mulai akrab di dunia politik pada tahun 2013, sejak bekas Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum membuat status blackberry messenger “Politik Para Sengkuni”. Status itu muncul tak berapa lama setelah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meminta KPK menuntaskan korupsi yang diduga melibatkan kader partai berlambang bintang Mercy itu.

Nah, di ‘Mimbar Bebas’ kemarin, menurut Dr. Hermansyah, menjadi masuk akal jika revisi yang diusulkan pun lebih kepada ‘menyerang’ kewenangan-kewenangan KPK yang saat ini dianggap mengancam. Seperti membentuk dewan pengawas, regulasi penyadapan yang harus mengantongi izin dari kejaksaan, maupun pemberlakuan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3).

“Dapatkah kita percaya dengan pengawasan-pengawasan tadi, ijin-ijin tadi? Apakah tidak bocor dan sebagainya? Soal SP3, akan membuka ruang untuk dilakukan bargaining-bargaining lain. Ini justru bukan penguatan tapi pelemahan pemberantasan korupsi,” tuturnya.

Imbuh Hermansyah, “Pansel (panitia seleksi,red) juga harus kita curigai, karena tidak sedikit pada pemilihan waktu itu, mereka (calon anggota KPK,red) yang memiliki integritas yang baik malah tidak lulus”.

Dalam aksi ini, ia melanjutkan, rakyat sekaligus ingin menagih janji revolusi mental yang kerap didengung-dengungkan pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla tentang pentingnya pemberantasan korupsi.

“Kita tidak bisa bayangkan kalau presiden tidak memiliki komitmen ini. Kita juga meminta DPR tidak menjalankan logika politik yang di luar logika-logika politik masyarakatnya. Artinya, kalau masyarakatnya menolak, seharusnya tidak ada alternatif lain bagi Dewan, ya menolak,” tegas Hermansyah.

Senada, akademisi dari IAIN Pontianak, Rusdi Sulaiman. Kata dia, alasan penolakan yang dilakukannya mengingat bahwa pemberantasan korupsi masih jauh dari harapan dan harus disikapi. Dan sikap yang paling realistis hari ini yakni tidak memberlakukan revisi atas UU KPK.

“Walaupun, pada prinsipnya lebih jauh saya setuju dengan revisi, tapi untuk saat ini saya tidak melihat ada keharusan untuk revisi,” ujarnya.

Dosen Hukum Islam pada Fakultas Hukum Syariah IAIN Pontianak ini memandang terdapat dua hal vital yang harus ditolak dalam poin revisi tersebut, yakni pengawasan dan regulasi penyadapan yang harus izin kejaksaan. Di balik ngotot-ngototan adanya keharusan revisi inipun, Rusdi juga mencium keberadaan ‘Sengkuni’.

“Sejarah aneh pemberantasan korupsi mulai tahun 70 dan kebawahnya, pemberantasan korupsi selalu dimusuhi dua lembaga, legislatif dan eksekutif. Saya kira ada koalisi secara diam-diam antara pemerintah dan legislatif mencoba melemahkan pemberantasan korupsi ini. Pertanyaannya bukan pemerintah mau apa, tapi cara berpikir kita yang masih korup,” tegas Rusdi.

Koordinator lapangan (Korlap) aksi, Lutarip menjelaskan, gerakan ini diinisiasi agar revisi UU KPK dihentikan. Sebab, perkembangan terakhir yang terjadi hari ini, kata dia, revisi yang diajukan bukan untuk menguatkan tapi untuk melemahkan dari sisi peran dan fungsi KPK sebagai pemberantas korupsi.

“Saya yakin masyarakat se-Indonesia akan terus bergerak. Kita berharap semua elemen terus menyatakan menolak, dan kawan-kawan di tingkat nasional bisa mengawal, kita di Kalbar akan support habis-habisan tuntutan ini, akan terus bergulir sampai berhasil,” janjinya.

Kendati, pada akhirnya, jika revisi ini terus dilanjutkan atau disahkan sebagai Undang-Undang, maka seluruh elemen di Kalbar mengancam akan membuat gerakan yang lebih besar lagi. “Segala asumsi perkiraan akan kita kaji lebih dalam untuk menjadikan gerakan ini menjadi lebih besar,” terang Lutarip.

Selain orasi, ‘Mimbar Bebas’ ini juga diisi dengan beberapa kegiatan lainnya seperti pembacaan puisi, akustik, teatrikal, pemutaran film gerakan antikorupsi, dan lainnya. Aksi diakhiri dengan penandatanganan dukungan oleh masyarakat Kalbar terhadap penolakan revisi UU KPK.

Laporan: Fikri Akbar

Editor: Mohamad iQbaL