Pontianak tidak sebesar kota-kota utama di Indonesia. Tak perlu melihat data statistik untuk membandingkannya. Hanya terdapat sebuah bioskop di Ibukota Kalimantan Barat itu saja sudah bisa jadi ukuran.
Iman Santosa, Pontianak
eQuator.co.id – Dengan cuma satu teater saja, jelas jumlah layar terbatas. Membuat pilihan film yang bisa ditonton tak seberapa banyak. Hal ini diakui Redy Akbar dari Komunitas Penggila Film Pontianak.
“Jumlah bioskop di Jakarta lebih banyak, jadi lebih banyak pilihan, kalau di sini kan nggak,” ujarnya ditemui Rakyat Kalbar, Jumat (10/2), di Jalan Gajahmada Pontianak.
Akibatnya, menurut dia, beberapa kali kelewatan film yang ingin ditontonnya karena sudah keburu turun dari layar bioskop. “Terakhir itu Lala Land, udah kepengen nonton nggak sempat-sempat, akhirnya keburu turun,” tutur Redy.
Pria yang sempat kuliah di salah satu universitas swasta di Jakarta itu pernah mengikuti sebuah komunitas penggemar film di sana. Saat menyelesaikan pendidikan dan kembali ke Pontianak pada 2013, ia memulai komunitas ini bersama sejumlah teman sekampung.
“Kita nggak resmi, ketuanya aja nggak jelas, cuma dulu sering ngumpul setiap ada premier film seru,” ujarnya.
Sayang, kata dia, komunitasnya sudah jarang aktif karena kesibukan masing-masing anggota. “Dulu kita admin (administrator)-nya berempat. Tiap gathering atau nobar (nonton bareng), kita biasanya bikin kuis berhadiah kecil-kecilan,” terang Redy.
Menonton pada premier atau hari pertama pemutaran dari film-film unggulan adalah salah satu kebiasaan rutin dia dan teman-teman. “Dulu sampai bela-belain suruh satu orang buat antri. Ada kebanggaan kalo kita bisa nonton duluan,” terangnya.
Redy sendiri memang hobi menonton film di bioskop. “Hanya sekarang tidak ngotot seperti dulu, sebisanya saja. Beberapa bahkan sampai telat karena keburu turun layar,” tambahnya.
Jika sudah begitu, mau tidak mau, ia menanti dengan super sabar untuk mengunduhnya dari situs Blue Ray. “Karena kalo kualitas jelek, saya malas nontonnya,” seloroh Redy, terkekeh.
Saat komunitasnya masih aktif, sering kali diajak secara resmi untuk menggelar nonton bareng oleh rumah produksi dalam negeri. “Dulu ada beberapa film kita gelar nobar, kita jualkan paket tiket dan merchandise-nya,” ungkapnya.
Pada Februari ini, ia tidak mengincar satupun film yang akan menyebabkan dia mengantre tiket untuk menontonnya. “Paling Batman Lego Movies sih, saya dari dulu suka animasi,” tuturnya.
Penggemar komik ini mengaku film Justice League yang paling ditunggunya tahun ini. “Selain itu Guradian Galaxy yang sebelumnya juga bagus, Star Wars juga, sama lanjutan Fast and Furious,” tukas Redy.
Sementara itu, Rahmad Hidayat, pendiri Komunitas Pencinta Film Islami (Kopfi) Pontianak mengaku perkumpulan yang digawanginya sebagai perpanjangan tangan dari komunitas serupa yang berbasis di Jogjakarta. “Suatu waktu saat berkunjung ke Jogja, saya dihubungi teman di sana lewat WA (whatsapp), kami janjian ketemu, nah dari sanalah inisiasi pembuatan Kopfi Pontianak,” jelasnya. “Kemudian saya hubungi teman-teman di Kalbar untuk membentuk Kopfi dan mereka setuju,” ia menambahkan.
Kopfi Pontianak dibentuk pada tahun 2015. Sesuai namanya, komunitas ini memilih ceruk terbatas. Yakni film bernafas Islami.
“Fokusnya memang film Islami, namun kita juga dukung film bermuatan yang baik-baik, seperti Laskar Pelangi, Sang Pemimpi, HOS Tjokroaminoto (Guru Bangsa), dan lain-lain. Kita dukung film-film yang baik seperti itu,” tukasnya.
Ia menceritakan bahwa sebelum membentuk Kopfi sendiri ia dan rekan-rekannya memang sudah cukup gandrung menonton film. “Dulu kami suka nonton film sama-sama, setiap kali ada film baru, kami pasti janjian untuk menonton, drama, aksi, dalam maupun luar negeri,” jelas Rahmat.
Meski tidak anti terhadap film asing, Rahmat ingin agar komunitas ini bisa lebih dominan mendukung perkembangan film Islami khususnya dan film Indonesia pada umumnya. “Karena film Indonesia ini belum jadi tuan di rumahnya sendiri, masih kurang mendapat apresiasi penonton dan kurang dipromosikan,” tukasnya.
Rahmat, yang dalam beberapa kesempatan mengaku pernah bertukar pikiran dengan para sineas dalam negeri, menilai kapitalisme dunia perfilman membuat film-film Indonesia yang bagus sering tidak bertahan lama di bioskop. “Bahkan film-film kita jadwal tayangnya seringkali harus mengalah dan bergeser ketika ada film dari luar,” tambahnya.
Karena itulah, komunitas yang dibentuknya itu bisa menjadi ajang untuk mendukung film-film lokal berkualitas dan bermuatan pesan yang bagus. Tentu agar ditonton lebih luas.
Kopfi beberapa kali mengadakan Nobar. Bahkan mereka juga sempat membuat Nokbar akbar dengan dihadiri oleh bintang filmnya langsung.
“Kita kerja sama dengan pembuat filmnya, sudah ada beberapa kali kita adakan, terakhir 28 januari kemarin,” ungkap Rahmat.
Ia mengaku menanti beberapa film yang ditayangkan dalam waktu dekat ini. “Kita pengen bikin Nobar akbar Cahaya Cinta Pesantren sekalian mendatangkan cast-nya ke sini, kalau Surga Yang Tak Dirindukan 2 juga insyaAllah, minimal kalau nggak nobar akbar, kita biasanya janjian nobar komunitas jak,” pungkasnya. (*)