“Tidak ada, saya tidak mengetahui itu, saya pikir tidak ada lah transfer apa, saya tidak pernah menitipkan aspirasi, apalagi ke anggota Dewan, jadi saya pikir kita selalu melalui mekanisme yang sesuai” Martin Rantan, Bupati Ketapang
eQuator.co.id – Ketapang-RK. Akhirnya Ketua DPRD Ketapang, Hadi Mulyono Upas (HMU), buka mulut mengapa dirinya dijadikan tersangka. Lewat konferensi pers, Senin (19/8), di Mapolres Ketapang, HMU mencurigai ada yang sentimen kepadanya perihal hubungan kelembagaan.
“Suratnya resmi keterangan saya sakit, kita serahkan ke Sekretariat Dewan maupun ajudan saya, saya heran, kok saya ditetapkan menjadi tersangka, itulah yang menyebabkan saya keberatan, karena saya memberikan keterangan dalam kondisi sakit,” jelas Hadi dalam konferensi pers, di Mapolres Ketapang, Senin (19/8).
HMU mengaku, saat diperiksa Kejaksaan Negeri (Kejari) Ketapang kondisinya sakit dan dalam proses pengobatan. Kejaksaan katanya tahu saat diperiksa sebagai saksi baik secara lisan maupun surat, yang menyatakan dirinya sakit.
“Status tersangka yang ditetapkan kepada saya terindikasi dipaksakan oleh Kejaksaan Ketapang,” tudingnya.
Ia mengatakan, jika seseorang dalam keadaan sakit, tidak dibenarkan statusnya ditetapkan sebagai tersangka. “Saya taat hukum dan kooperatif dalam memberikan penjelasan kepada instansi terkait yang menangani kasus ini,” tegas HMU.
Selain soal sakit, HMU sempat mengatakan beberapa indikasi dirinya menjadi tersangka. Ia mengatakan ada ketersingungan pihak tertentu lantaran diriya jarang menghadiri kegiatan kejaksaan, dan diwakili oleh Wakil Ketua DPRD.
Ketidak hadiran dirinya dalam beberapa kegiatan Kejari Ketapang, diakuinya karena kondisinya sedang tidak sehat. “Ada keterkaitan seperti itu, keharmonisan di suatu kelembagaan suatu daerah, sebelum menjabat Ketua DPRD, saya juga menjabat Wakil Ketua DPRD, jabatan sehari-hari Ketua Komisi 1, artinya harus ada hubungan harmonis dengan semua institusi yang ada di Kabupaten Ketapang, baik kepolisian, kejaksaan, pihak Kodim, maupun pengadilan, namanya Forkopinda,” paparnya.
Sambung HMU, “Selama ini tidak ada masalah bagi saya, ketersinggungan ini saya dengar, saya dapat informasi dari pihak tertentu seolah-olah saya mau dikondisikan oleh kejaksaan, atas kode dari Pak Kajati”.
Karena itu, ia mengaku terkejut dapat kabar ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejari Ketapang. Bahkan penggeledahan ruang kerjanya di DPRD dan adanya wacana pembongkaran rumah dinasnya tidak ada pemberitahuan terlebih dahulu.
“Saya tidak mengetahui, hanya saya telepon Pak Kasat, supaya rumah saya jangan digeledah, pemberitahuan pun tidak ada, rumah saya mau dibengkas, itu infonya dari kejaksaan, saya bukan teroris, kalau memang mengancam Negara, silahkan saja (periksa rumah saya,red),” tukasnya.
Terkait tuduhan jual beli proyek kepadanya hingga kerugian Negara mencapai Rp4 miliar lebih tahun anggaran 2017-2018, HMU mengaku aspirasi tersebut bukan murni miliknya. Tak mau sakit sendiri, ia menyeret nama kepala daerah pada periode itu, Bupati Ketapang dijabat Martin Rantan.
Kata HMU, dana ABPD 2017-2018 yang masuk lewat dana aspirasi miliknya itu sengaja dititipkan kepala daerah, untuk membantu biaya kegiatan di luar APBD tahun tersebut. Sehingga, ia menamakan dana tersebut sebagai dana kebijakan.
“Uang ini harus saya klarifikasi untuk apa saja, ini bukan untuk saya pribadi, ini untuk uang kebijakan, ini langsung Bupati, karena ada suatu kegiatan yang tidak bisa dikelola dalam APBD,” bebernya.
Kegiatan dimaksud, menurutnya, seperti pemberian sesuatu, tidak tahulah siapa, pejabat tertentu siapa yang berkunjung ke daerah. “Setiap pejabat tinggi yang berkunjung ke daerah ini, maaf omong, termasuk pemeriksa keuangan, pemeriksa kebijakan daerah, tidak mungkin tidak ada imbalan tertentu, ada amplop, ada bingkisan tertentu,” ungkap HMU.
Imbuh dia cukup detil, ”Bingkisan itu apa lagi kalau tidak uang, itu tidak mungkin, itu namanya kebijakan, saya diminta untuk mengumpulkan uang itu, tapi bukan saya menyerahkan itu”.
Diserahkan ke Bupati
Perihal dana ini itu untuk kepentingan pejabat siapa saja yang datang ke Ketapang, HMU menyatakan, itulah gambaran buruknya sistem yang ada di Indonesia. Khususnya di Kabupaten Ketapang.
“Dana yang besar ini seharusnya dapat dianggarkan kepada kegiatan yang lebih penting daripada harus memberikan kepada pihak tertentu, di luar kepentingan masyarakat,” ujarnya.
Dana titipan, diakuinya, hanya untuk mengamankan dana kebijakan pimpinan dalam hal ini Bupati Ketapang. Dana titipan oleh bupati pada masa itu, dijelaskannya, hanya diketahui olehnya, bupati, dan bagian keuangan Pemda saat itu.
“Hanya saya, Bupati dan Keuangan yang tahu, yang lain tidak, uang itu melalui kegiatan proyek, saya serahkan, di luar pengaturan APBD,” jelas HMU.
Karena untuk bingkisan kepada setiap pejabat yang datang ke Ketapang, ataupun kegiatan yang sifatnya tidak formal, tidak mungkin diambil dari kegiatan APBD. Tidak dibenarkan.
“Saya tidak ada dapat apa-apa, saya hanya membantu, hanya (dana) aspirasi saya dikasih lebih saja, Ketua kan tiga kali, harusnya anggota satu kali saja, demikian juga waktu saya Ketua Komisi 1, anggota biasa satu kali, saya bisa dua kali,” tambahnya.
Dana APBD yang dititipkan melalui aspirasi pada 2017 -2018 ini, HMU menyebut, akhirnya diserahkan kepada kepala daerah. Dalam hal ini Bupati Martin Rantan.
Ia pun menjelaskan bahwa uang aspirasi dalam kegiatan proyek ini merupakan hasil keuntungan dalam proyek dari pelaksana. Yang mana uang proyek dari fee tersebut diserahkan kembali kepada kepala daerah. Karena diakuinya dana tersebut hanyalah titipan melalui aspirasi miliknya.
HMU juga menjelaskan bahwa dana tersebut diberikan beberapa tahap, bahkan sebagian diberikan langsung kepada Kepala Daerah saat itu. “Catatan (menyerahkan uang) saya waktu Ketua Komisi ada yang dapat dipertanggungjawabkan, dan ada saksi. Saya tidak mau menyerahkan (uang) begitu saja, ada saksi waktu saya menyerahkan (uang),” bebernya lagi.
Masih kata HMU, rata-rata ia menyerahkannya di Pemda, Kantor Bupati, tapi di rumah Bupati juga ada. “Ditambah lagi ada Rp200 juta saya serahkan waktu yang terakhir ini, itu ada skalanya pengurus aspirasi, Rp150 juta kontan, Rp50 jutanya melalui cek, dan hitungannya bisa ditelusuri, saya tidak tahu masuk ke rekening siapa, tapi (Bupati) pernah terima langsung, cuma saya tidak mau menyebutkan nama Bupatinya siapa ya,” ungkapnya. Selain memberikan melalui kepala daerah, sebagian dana tersebut juga diberikan kepada Bagian Keuangan Pemda, dengan beberapa tahap penyaluran. Dari puluhan juta hingga ratusan juta rupiah.
Pada pemanggilan besok, Selasa (20/8), oleh kejaksaan, HMU mengaku akan memberikan keterangan secara detil kemana saja dana tersebut disalurkan. Sebab, dia merasa hanya sebagai korban dari kepentingan oknum tertentu.
“Di keuangan pertama 500 juta, kedua 35 juta, berikutnya 150 juta, bagian keuangan. Saya akan buka di Kejaksaan, apabila pemerintah daerah dalam hal ini dimana saya menjalankan kebijakan tidak di back up. Seolah-olah saya yang harus bertanggungjawab. Sedangkan uangnya bukan untuk saya maka saya akan buka siapa-siapa yang menerima itu,” tandasnya.
Dikonfirmasi di kediamannya, Bupati Martin Rantan membantah pernyataan Ketua DPRD Ketapang. Ia mengaku tidak mengetahui fee yang disebutkan Ketua DPRD.
“Tidak ada, saya tidak mengetahui itu, saya pikir tidak ada lah transfer apa, saya tidak pernah menitipkan aspirasi, apalagi ke anggota Dewan, jadi saya pikir kita selalu melalui mekanisme yang sesuai,” jawab Martin.
Terkait besaran dana aspirasi yang diperoleh Hadi Mulyono Upas ketika menjabat Ketua Komisi 1, bupati pun membantah mengetahui secara pasti. Karena hal tersebut di luar kontrolnya sebagai Bupati kala itu.
“Sebenarnya tahu, cuma kadang-kadang ada hal-hal, lobi-lobi hingga lainnya, lain dengan anggota, dan itu di luar batas kontrol sayalah. Kalau saya sih sesuai yang berapa itulah,” terangnya.
Terkait besaran dana aspirasi, ia mengaku dana yang didapat masing-masing anggota dan Ketua DPRD bervariasi. “Setiap tahun tidak pasti, kadang ada Rp3 miliar, bahkan kurang, dana aspirasi ini bervariasi,” pungkas Martin.
Laporan: Muhammad Fauzi
Editor: Mohamad iQbaL