Pusaran Korupsi Seret Politisi

Stigma Politik Praktis, Transaksional dan Pragmatisme

NARASUMBER Diskusi Bertajuk ‘Sistem Pemilu Proporsional Terbuka, Berimplikasi Terhadap Mahalnya Harga Kursi Parlemen’ di Rakyat Kopi, Graha Pena Kalbar, Sabtu (6/4). Hadir empat narasumber, yakni Maman Abdurahman, politisi Partai Golkar Kalbar, Komisioner Bawaslu Kalbar Muhammad, anggota DPRD Kubu Raya Suharso dan caleg DPD RI Beny Sulastio. Abdul Halikurrahman/Rakyat Kalbar

eQuator.co.id – PONTIANAK-RK. Perkara korupsi umumnya menyeret orang-orang berlatarbelakang partai politik. Mulai dari kepala daerah, anggota DPRD, sampai menteri yang menjadi anggota partai tertentu.

Begitulah faktanya. Memang tidak bisa dibantah lagi. Pusaran kasus korupsi menyeret politisi, bak senyawa yang sulit dipisahkan. Cost (biaya) politik yang begitu mahal, dituding menjadi biang perilaku koruptif.

Sebab, untuk menjadi kepala daerah atau anggota dewan, tak sedikit biaya yang harus dikeluarkan. Maka, tak jarang ada yang ambil jalan pintas. Kembalikan modal dengan cara korupsi, begitu terpilih di parlemen. “Sistem politik hari ini, memang menjadi penyumbang kerusakan negara,” kata Maman Abdurahman, politisi Partai Golkar Kalbar dalam Diskusi Bertajuk ‘Sistem Pemilu Proporsional Terbuka, Berimplikasi Terhadap Mahalnya Harga Kursi Parlemen’ yang digelar di Rakyat Kopi, Graha Pena Kalbar, Sabtu (6/4).

Diskusi tersebut turut menghadirkan Komisioner Bawaslu Kalbar Muhammad, anggota DPRD Kubu Raya Suharso dan caleg DPD RI Beny Sulastio.

Dalam diskusi itu, Maman berpendapat, politik uang dengan cost politik adalah dua hal yang berbeda. Di sistem pemilu yang terbuka, cost politik yang besar tak bisa dihindari.

Sebab, cost politik diperlukan untuk operasional kampanye dan sebagainya bagi peserta pemilu. Tanpa terkecuali. “Itu lah konsekuensi sistem pemilu kita hari ini. Dan kegagalan pemberantasan korupsi, karena sistem politik yang rusak oleh ongkos politik yang besar,” katanya.

Menurutnya, sistem pemilu terbuka, juga cenderung melahirkan wakil rakyat yang instan. Yang bisa jadi bukan kader terbaik partai. Selain itu, sistem pemilu langsung juga cenderung menimbulkan stigma politik praktis, transaksional dan pragmatisme.

Namun disisi lain, lewat pemilu terbuka, rakyat berdaulat penuh dalam menentukan wakil-wakilnya di parlemen. Sebab, sistem pemilu terbuka menjamin suara rakyat sebagai penentu, siapa yang akan duduk di kursi parlemen.

Terlepas dari semua itu, Maman optimis, masyarakat khususnya di wilayah Kalbar semakin cerdas dalam memilih calon wakil rakyatnya. Baik pemilu legislatif (Pileg) maupun pemilu presiden (Pilpres). “Saya melihat masyarakat Kalbar jauh lebih idealis. Teguh terhadap pilihan politiknya,” pungkasnya.

Anggota DPRD Kubu Raya, Suharso pun mengakui, sistem pemilu langsung memang membutuhkan biaya politik yang besar. Biaya politik itu bukan untuk membeli suara rakyat. Tapi untuk kebutuhan operasioal selama berkampanye, menemui konstituen. “Dampak dari politik yang mahal, justru menimbulkan semangat demokrasi kita menjadi lemah,” katanya.

Sedangkan Beni Sulastiyo, Caleg DPD RI Dapil Kalbar mengatakan, partai politik mestinya melahirkan pemimpin dan negarawan yang hebat melalui pemilu langsung. Sayangnya, harapan itu sepertinya pupus. Sebab, di internal partai politik sendiri justru tak solid, dan saling berebut kursi. “Tidak ada keinginan petinggi partai memperkuat kader. Makanya, tidak bisa melahirkan pemimpin hebat,” katanya.

Soal cost politik yang besar sebagai konsekuensi sistem pemilu langsung, Beni menilai, dampaknya sangat buruk bagi sistem pemerintahan kedepan.

Sebab, cost politik membuka ruang bagi pejabat poltik nekat berbuat korupsi, untuk mengembalikan modal pacsapemilu. “Sistem politik yang terjadi saat ini, tak sedikit menyeret politisi ke penjara, karena korupsi. Di Kalbar ada empat orang politisi cerdas. Yang akhirnya tragis terseret korupsi,” katanya.

Sebagai caleg DPD, dia berkomitmen ingin berjuang mengubah sistem politik tanah air. Agar kedepan sistem pemilu secara langsung betul-betul melahirkan pemimpin hebat. Bukan pemimpin transaksional dan pragmatis. “Saya mencalonkan DPD dalam rangka ingin membuat kekuatan rakyat,” pungkasnya.

Sementara itu, Komisioner Bawaslu Kalbar, Muhammad memastikan, jajaran Bawaslu sampai tingkat bawah akan bekerja mengawasi secara ketat, mencegah potensi-potensi politik transaksional di menit-menit akhir.

Mengawasi politik uang memang tidak mudah. Apalagi di pileg yang banyak pesertanya. Muhammad berpendapat, politik uang bisa dicegah secara total, melalui pendidikan politik kepada masyarakat. “Soal pencegahan politik uang, mesti dimulai dari kesadaran politik. Ini menjadi kunci membangun sistem pemilu yang baik. Karena itu, kami mendorong masyarakat semakin cerdas. Menolak politik uang,” pintanya.

Dikesempatan itu, Muhammad merinci, penanganan perkara pemilu yang dilakukan oleh jajaran Bawaslu Kalbar, umumnya adalah pelanggaran administrasi.

Penanganan pelanggaran pemilu, kata dia, dapat dilakukan melalui laporan masyarakat, atau temuan oleh petugas Bawaslu.

Dalam penanganan laporan atau temuan, Bawaslu diberi waktu 14 hari untuk memproses temuan tersebut. “Karena itu, kami membuka diri kepada masyarakat agar berani membuat laporan yang benar, jika memang ditemukan pelanggaran di lapangan,” pungkasnya.

 

Laporan: Abdul Halikurrahman

Editor: Yuni Kurniyanto