Persengkongkolan antara Penguasa dan Pengusaha

Penyebab Maraknya Korupsi di Indonesia

TEKEN ANTIKORUPSI. PJ. Gubernur Kalbar Dodi Riyadmadji disaksikan Wakil Ketua KPK Alexander Marwata (kanan) menandatangani Komitmen Bersama Program Pemberantasan Korupsi Terintegrasi Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat di Kantor Gubernur Kalbar, Kamis (8/3). Rizka Nanda-RK

eQuator.co.id-PONTIANAK-RK. Tindak pidana korupsi yang terjadi di seluruh Indonesia yang ditangani KPK merupakan hasil persekongkolan antara penguasa dan pengusaha. Di mana pihak pengusaha sebagai pemberi suap kepada penguasa.

“Dari hasil evaluasi dan perkara yang ada di KPK, korupsi tindak pidana terjadi karena adanya persekongkolan antara penguasa dan pengusaha kita sebagai pihak yang menyuap,” ungkap Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata saat acara Rapat Koordinasi (Rakor) yang digelar KPK dan Penandatangan Komitmen Bersama Program Pemberantasan Korupsi Terintegrasi Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat di Kantor Gubernur Kalbar, Kamis (8/3).

Alexander mengibaratkan, tak mungkin penari sendiri menarik tangan tamu yang datang. Pasti berdua, karena ada yang menerima dan ada yang menyuap. “KPK hadir untuk mengantisipasi hal ini agar ada efek jera,” tegasnya.

Mengantisipasi agar tindak pidana korupsi tak terjadi di kalangan pemerintah, KPK bekerja sama dengan pemerintahan baik di pusat maupun di daerah melalui penandatanganan komitmen bersama untuk tidak melakukan korupsi. Karena berdasarkan hasil kajian KPK, ada titik rawan dibeberapa bidang tindak pidana korupsi, salah satunya melalui penganggaran penyusunan APBD. Mereka yang terlibat dalam tindak pidana korupsi, paling banyak dilakukan pengusaha diikuti pejabat eselon 1 sampai ke tingkat kepala daerah.
“Kasus yang sudah terjadi beberapa dilakukan oleh kepala daerah dan pemangku jabatan yang masuk dalam tindak pidana korupsi,” tuturnya.

Menurutnya, terdapat proses penganggaran yang tidak sesuai kebutuhan, namun mengamodasi pihak tertentu. Sehingga tindak pidana korupsi terjadi. 80 persen menyangkut barang dan jasa. “Tindak pidana UU Nomor 20 ada 17 lokasi menyangkut keuangan negara Pasal 2 dan 3 yaitu penggelembungan ATS yang tidak sesuai spesifikasi, suap, masalah gratifikasi yang menjadi perhatian KPK,” paparnya.

Pengawasan KPK kata Alexander, termasuk tindak pidana yang berkaitan dengan korupsi seperti menghalangi proses di pengadilan.
“Menjadi pembelajaran dan pemahaman agar menjauhi tindak pidana korupsi kepada pemangku jabatan di pemerintahan,” jelasnya.

Terkait dengan pengaduan di Kalbar, Alexander mengatakan, KPK berinisiatif mendorong unit gratifikasi di setiap daerah. Unit ini yang akan menerima laporan di daerah terkait tindak pidana korupsi.”Harapan kami sebelum diterima, pemangku jabatan menolak gratifikasi dari pihak manapun. Menolak tidak menerima bentuk pemberian melalui bentuk papan plang yang dipasang di depan kantor disetiap instansi mencantumkan papan tersebut,” terangnya.

Terkait tindak pidana korupsi, seluruh pemangku jabatan harus patuh akan integrasi dan benar-benar memahami serta mengikuti peraturan yang ada. “Jika integrasi tidak diterapkan, maka tindak pidana korupsi yang akhirnya dijalankan,” tandas Alexander.
Sementara itu, PJ Gubernur Kalbar Dodi Riyadmadji menyatakan, di satu sisi otonomi daerah dan desentralisasi memberikan penguatan kewenangan kepada Pemda. Namun di sisi lain juga berdampak pada makin maraknya praktik korupsi di daerah.

“Tentunya kita harus punya komitmen untuk mencegah dampak negatif yang terjadi sebab praktik korupsi yang dilakukan tidak hanya meruginya hak-hak ekonomi masyarakat di daerah, namun secara nasional memberikan pengaruh negatif terhadap citra Indonesia di mata dunia Internasional,” tegasnya.

Maraknya pejabat daerah yang terjerat kasus korupsi mengindikasikan bahwa pembangunan sistem pengawasan di dalam pemerintah perlu lebih ditingkatkan. Untuk itu, Dodi mengapresiasi atas langkah-langkah KPK yang tidak hanya gencar dalam melakukan penindakan, tetapi juga berperan sebagai pencegah. Program tersebut tentu dapat mendorong perbaikan pengelolaan sistem untuk menciptakan tata kelola pemerintahan yang baik di lingkungan Pemda.

“Dengan sistem yang di bangun ini, agar kedepannya tidak ada satupun pejabat daerah di Provinsi Kalbar ini yang terjerat tindak pidana korupsi,” harapnya.
Dodi menjelaskan, Pemda khususnya di Pemprov Kalbar telah melakukan upaya pencegahan terjadinya tindak pidana korupsi dengan menerbitkan beberapa komitmen hukum. Diantaranya, Peraturan Gubernur Nomor 56 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengendalian Gratifikasi di Lingkungan Pemprov Kalbar, keputusan Gubernur Nomor 341/BKD/2015 tentang Penetapan Wajib Lapor Harta Kekayaan Penyelenggara Negara di Lingkungan Pemprov Kalbar, Keputusan Gubernur Kalbar Nomor 757/ITPROV/2017 terkait Pembentukan Tim Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar Provinsi Kalbar.

“Seluruh Pemda di Provinsi Kalbar sangat berperan aktif dalam mendukung dan melaksanakan program kerja KPK dalam upaya pencegahan praktik korupsi, khususnya yang terkait dengan permasalahan yang dituangkan dalam rencana aksi program pencegahan dan penindakan korupsi terintegritas,” tutur Dodi.

Pembentukan KAD Antikorupsi
Di tempat sama, dibentuk Komite Advokasi Daerah (KAD) Antikorupsi. KAD ini yang dibangun ini dapat menjadi gerakan bersama antara Pemda dan pelaku usaha dalam memperkuat komitmen antikorupsi. Sebab KAD bisa membuat komunikasi antara Pemda di Provinsi Kalbar selaku regulator dengan para pelaku usaha berjalan dengan efektif.

Untuk peningkatan kualitas pelayanan publik mesti diiringi dengan semangat dan komitmen yang kuat. “Hal itu diperlukan untuk mencegah segala bentuk praktik di setiap kegiatan dan usaha yang kita lakukan,” jelas Pj. Gubernur Kalbar Dodi Riyadmadji pada acara pembentukan KAD Antikorupsi di Balai Petitih Kantor Gubernur Kalbar, Kamis (8/3).
Dodi mengatakan, praktik suap, gratifikasi dan pungutan liar merupakan contoh tindakan melawan hukum yang sering dilakukan oknum pelaku usaha untuk memuluskan kepentingan dan bisnisnya.

Pada akhirnya menciptakan persaingan usaha yang tidak sehat dan menimbulkan stigma negatif terhadap pelayanan birokrasi di daerah. “Adanya anggapan bahwa untuk berinvestasi, maka para investor harus mempersiapkan tambahan biaya yang sangat besar,” sebutnya.

Ditegaskannya, hal itu tidak boleh terjadi di tengah upaya dan semangat pemerintah dalam membangun perekonomian yang kuat di persaingan global. Pasalnya, iklim persaingan usaha yang sehat sangat dibutuhkan. “Krena hal tersebut dapat menciptakan kondisi yang kondusif bagi peningkatan investasi baik domestik maupun asing,” lugasnya.

Investasi merupakan faktor penting yang memainkan peran strategis terhadap pertumbuhan dan pembangunan ekonomi suatu negara. Oleh karenanya, telah diterbitkan Peraturan Presiden Nomor 91 Tahun 2017 tentang Percepatan Pelaksanaan Berusaha. Perpres ini intinya mengamanatkan kepada daerah untuk melaksanakan peraturan perizinan berusaha sesuai kewenangan masing-masing.

Dalam proses investasi, khusus pelayanan perizinan dapat semakin disederhanakan. Sehingga berdampak pada tercapainya iklim investasi yang kondusif. Untuk itu, Dodi mengintruksikan kepada seluruh organisasi perangkat daerah (OPD) yang mengurusi izin usaha atau kegiatannya terkait dengan kerja sama dengan pihak swasta, agar memberikan pelayanan terbaik. “Memberikan kemudahan dalam usaha urusan perizinan sesuai dengan aturan yang berlaku, serta bersih dan tindakan korupsi, kolusi dan nepotisme,” tegas Dodi.

Laporan: Rizka Nanda
Editor: Arman Hairiadi