Modus-modus ‘Nakal’ Kejaksaan Tinggi

Ilustrasi : Internet

eQuator.co.id – Surabaya-RK. Anggapan bahwa penegakan hukum oleh Kejaksaan Tinggi Jawa Timur (Kejati Jatim) membingungkan –seperti yang disampaikan dalam eksepsi Dahlan Iskan– bukannya tak berdasar.

Contoh konkretnya adalah pengusutan dugaan penyelewengan pengadaan batik di Pemkab Nganjuk, Jatim. Bupati Nganjuk Taufiqurrahman yang sudah jelas menjadi otak belum diperiksa sama sekali. Pejabat di bawahnya yang hanya disuruh malah sudah diadili di pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor).

Karena itulah, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akhirnya turun tangan menetapkan Taufiqurrahman sebagai tersangka. Sebab, dia termasuk pejabat yang diistimewakan Kejati Jatim.

Peran Taufiq –sapaan Taufiqurrahman– sebagai otak korupsi terungkap gamblang dalam penyidikan yang dilakukan kejaksaan. Hal tersebut diketahui dalam sidang di Pengadilan Tipikor Surabaya. Terkait kasus itu, empat orang sudah diseret ke pengadilan. Mereka adalah Sekda Nganjuk Masduqi, Sunartoyo (rekanan), Mashudi Satriya Santoso (rekanan), dan Edy Purwanto (rekanan). Dalam berkas dakwaan Sekda Nganjuk Masduqi, nama Taufiqurrahman disebut sejak awal.

Sebab, kasus tersebut muncul karena adanya perintah Taufiq untuk menyelundupkan anggaran. Penyelewengan itu bermula dari hasil penyusunan dan pembahasan RAPBD Nganjuk 2015. Dalam pembahasan antara Pemkab dan DPRD Nganjuk tersebut, pengadaan batik tradisional untuk seragam PNS di Nganjuk tidak disetujui. Penolakan penganggaran itu juga sejalan dengan hasil evaluasi gubernur Jatim terhadap RAPBD Nganjuk. Intinya, gubernur tidak merekomendasikan adanya penambahan anggaran untuk pengadaan seragam batik di Nganjuk.

Meski tidak disetujui, Taufiq tak menyerah. Dia tetap memaksakan adanya anggaran pengadaan batik. Karena itulah, sebagai pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan, dia menelepon Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Nganjuk Bambang Eko Suharto. Dia memerintah pria yang juga menjabat sekretaris tim anggaran pemerintah daerah (TPAD) itu menyisipkan anggaran pengadaan batik tradisional dalam APBD 2015 pada rencana belanja yang sudah dievaluasi gubernur tersebut.

Bambang kemudian memberitahukan perintah itu kepada Masduqi selaku ketua TPAD dan Mukhasanah sebagai kepala dinas pendapatan. Untuk dapat meloloskan anggaran pengadaan batik itu, Taufiq memasukkan alokasi anggaran pengadaan batik tersebut ke dalam tanggapan hasil evaluasi gubernur sebelum diserahkan ke DPRD Nganjuk. Nilainya Rp 6,262 miliar. Hal itu dilakukan dengan sepengetahuan Masduqi dan Mukhasanah.

Tanggapan tersebut kemudian diserahkan ke DPRD Nganjuk untuk dibahas di badan anggaran. Pimpinan DPRD langsung menyetujui rancangan APBD yang sudah ada perubahan itu. Mereka mengesahkan rencana anggaran dan pengadaan batik resmi masuk dalam anggaran.

Peran Taufiq bukan itu saja. Dia juga menyerahkan pekerjaan pengadaan batik tersebut kepada Sunartoyo. Sebab, Sunartoyo telah mengijon dengan memberikan uang Rp 500 juta di depan. Tujuannya, dia yang dipilih untuk mendapat tender pengadaan batik tersebut. Karena itulah, dalam dakwaan disebutkan secara jelas, Taufiq bersama-sama dengan Masduqi secara sengaja menyisipkan anggaran pakaian batik.

Sunartoyo kemudian melakukan serangkaian kegiatan pengaturan lelang. Misalnya meng-upload kegiatan lelang di sistem LPSE (layanan pengadaan secara elektronik). Penawaran diatur sedemikian rupa sehingga hanya ada tiga peserta lelang. Ketiganya dikendalikan Sunartoyo.

Dalam dakwaan Masduqi juga disebutkan, pelaksanaan pengadaan pakaian batik itu memperkaya lima orang. Salah satunya Taufiq yang menerima Rp 500 juta. Bukan itu saja, di dakwaan juga ada enam kali penyebutan peran Taufiq yang memerintahkan agar menyisipkan anggaran pengadaan batik.

Meskipun perannya diungkap secara jelas di dakwaan, Taufiq belum pernah sekali pun dimintai keterangan oleh kejaksaan. Yang menjadi tersangka justru orang-orang yang menjalankan perintah bupati. Otaknya sampai sekarang malah masih aman.

Sumber Jawa Pos di internal Kejati Jatim mengatakan, Taufiq aman karena ada campur tangan petinggi kejaksaan. Bahkan, tim penyidik kasus itu sempat dimarahi berjam-jam dalam ekspose karena menguraikan peran Taufiq. ”Ada intervensi supaya Nganjuk 1 tidak disentuh,” kata sumber tersebut.

Intervensi itu memicu perpecahan di internal kejaksaan. Terbukti, meski tidak menyebut sebagai tersangka, penyidik memasukkan peran Taufiq dalam dakwaan Masduqi. Pada saat surat dakwaan dibacakan di pengadilan, petinggi kejaksaan sempat marah besar. Sebab, petinggi itu sudah mewanti-wanti agar menjauhkan Taufiq dari kasus tersebut.

Pengistimewaan sejumlah pihak dalam penanganan kasus korupsi di Kejati Jatim sebenarnya sudah lama tercium para aktivis antirasuah. Peneliti Malang Corruption Watch (MCW) Hayik Ali Muntahamansur mengungkapkan, ada sejumlah modus pengamanan yang digunakan kejaksaan untuk mengamankan pihak tertentu.

Misalnya, mereka buru-buru menangani perkara korupsi yang sedang dilaporkan ke KPK. ”Kasus pengadaan lahan untuk RSUD Malang modusnya juga seperti itu. Ketika kami laporkan ke KPK, kejaksaan langsung turun. Tapi, dalam perjalanan malah dihentikan perkaranya,” beber Hayik.

Modus lainnya, Kejati Jatim menarik kasus-kasus tertentu yang sebenarnya mampu ditangani kejaksaan negeri (kejari) di daerah. MCW mencatat setidaknya ada tiga kasus di Kabupaten Malang dan Kota Batu yang penanganannya terindikasi mengamankan nama-nama tertentu. Antara lain kasus dana promosi wisata Kota Batu. Kasus yang ditangani Kejari Batu itu menjerat beberapa tersangka dan perkaranya sudah diputus.

”Dalam putusan para terdakwa ada peran pejabat lain. Pengembangan perkara itu kemudian diambil alih Kejati Jatim, tapi sampai sekarang tidak jelas perkembangannya,” papar Hayik. Atas dasar itu, MCW akan melapor ke KPK. Mereka berharap lembaga antirasuah tersebut serius melakukan koordinasi dan supervisi (korsup) terhadap kasus-kasus korupsi yang ditangani Kejati Jatim.

Dikonfirmasi soal dugaan pengistimewaan terhadap Taufiqurrahman, Kasipenkum Kejati Jatim Richard Marpaung tidak mau merespons. WhatsApp yang disampaikan kepada dia hanya dibaca tanpa ada jawaban apa pun. Sebelumnya Richard pernah menanggapi akan mengecek informasi itu. Namun, hingga kini dia masih enggan dikonfirmasi.

Bukan hanya Richard Marpaung, Kapuspenkum Kejaksaan Agung M. Rum setali tiga uang. Pertanyaan yang dilayangkan Jawa Pos tidak mendapat tanggapan. (Jawa Pos/JPG)