eQuator.co.id – Sambas-RK. Entah lahan di negaranya habis terpakai atau memang punya maksud tertentu, 20 meter dari patok A52 di tapal batas Sambas-Sematan, sejumlah pengusaha Malaysia sedang membangun 14 vila. Pembangunan itu selaras dengan pembuatan kebun matoa, karet, dan lada, yang mereka kerjakan sejak tahun lalu.
Lokasi tersebut disebut sebagai zona bebas. Letaknya tepat di Dusun Sempadan, Desa Temajok, Kabupaten Sambas, Kalbar, yang berbatasan langsung dengan Sematan, Sarawak, Malaysia.
Salah seorang tokoh masyarakat Desa Temajok, Muriadi mengatakan, sebelumnya ia pernah berbicara dengan seorang pengusaha Malaysia yang akrab disapa Kak Nur. Ia diketahui satu dari beberapa pengusaha Malaysia yang membangun vila di lokasi tersebut.
“Saat kami tegur, dia menjawab sah-sah saja membangun di dekat garis batas Sempadan perbatasan,” tuturnya, dihubungi awak media, Selasa (22/11) sore.
Dari pantauannya, pengerjaan vila yang pembangunannya mempekerjakan warga setempat itu hampir rampung. “Yang saya ketahui, selama masa pembersihan lahan dan pembangunan vila, pengusaha asal Malaysia tersebut sama sekali tidak pernah berkoordinasi, baik dengan Kepala Desa Temajok maupun warga setempat,” ucap Muriadi.
Menurut dia, mungkin bagi pemerintah Malaysia, pembangunan vila yang jaraknya hanya 20 meter dari batas negara itu dianggap tidak masalah. “Tapi, bagi kami, itu menjadi masalah. Karena dibangun dekat garis perbatasan. Jika dibangun jauh, misalnya seratus meter tentu kami tidak akan protes,” terangnya.
Lagipula, pembangunan itu memang melanggar ketentuan. Sebab, kata dia, ketika masyarakat setempat bersama TNI hendak membangun jalan di sepanjang garis perbatasan saja sejauh 50 meter dari patok tapal batas.
Muriadi juga menjelaskan, pembangunan vila Malaysia itu sudah pernah disampaikan kepada Pemkab Sambas maupun Pemprov Kalbar. “Tapi tidak ada tanggapan sama sekali sampai sekarang,” bebernya.
Maka dari itu, ia meminta pemerintah pusat menyikapi hal ini. “Kami siap mendukung langkah-langkah yang akan diambil oleh pemerintah Indonesia,” tegas Muriadi.
Salah seorang WNI setempat yang ikut membangun vila, Tomy menyatakan, ia bekerja bersama 12 rekannya. “Sejak beberapa bulan yang lalu. Tetapi, secara bertahap berkurang karena kekurangan bahan bangunan. Sekarang tinggal berlima yang kerja,” ungkapnya.
Dalam proyek pembangunan vila itu, Tomy bertindak sebagai pembuat batako. Ia diupah Rp100 ribu per hari.
“Semua bangunan vila ini menggunakan kayu yang diambil dari hutan sekitar, di batas tanah milik Indonesia. Ada juga yang beli bahan material di Temajuk,” bebernya.
Yang mengejutkan, masih dituturkan Tomy, selain pengusaha yang datang meninjau, sesekali pembangunan vila juga dipantau oleh anggota Tentara Diraja Malaysia yang bertugas menjaga perbatasan Melano. “Memang mereka datang tidak mengenakan seragam dinas, tetapi saya kenal mereka adalah Tentara Malaysia. Kalau tidak salah, ada delapan orang,” katanya.
Meski demikian, ia mengaku tak begitu paham berapa luasan lahan vila dan perkebunan itu. “Kami hanya kerja. Yang paham betul hanya kepala tukang,” tukas Tomy.
Laporan: Ocsya Ade CP
Editor: Mohamad iQbaL