eQuator.co.id – Jakarta–RK. Ketidakpatuhan Kejati Jatim, Maruli Hutagalung, dalam melaporkan harta kekayaannya kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi sorotan banyak pihak. Desakan agar Maruli dicopot dari jabatannya sebagai menguat. Apalagi dia juga diduga menerima suap dari mantan Gubernur Sumut Gatot Pujo Nugroho.
Pakar Pencucian Uang, Yenti Garnasih menyatakan, menyerahkan laporan harta kekayaan penyelanggara negara (LHKPN) kepada KPK wajib hukumnya bagi pejabat negara. Baik ketika dia baru menjabat dan ketika meletakkan jabatannya.
“Ketika dilantik jabatan baru dia harus lapor. Saat selesai tuga, dia juga harus lapor. Dari situ akan diketahui berapa nilai harta kekayaannya selama menjabat,” terang dia, kemarin.
Apakah orang yang tidak lapor LHKPN ada kemungkinan sengaja menyembunyikan nilai hartanya? Menurut dosen fakultas hukum Universitas Trisakti itu menyatakan, ada banyak faktor kenapa pejabat tidak melaporkan hartanya. Mungkin dia malas, kesulitan mengisi, dan bisa saja memang dia sengaja menyembunyikan hartanya.
Namun, lanjut dia, tidak bisa secara langsung dikatakan harta itu diperoleh secara tidak benar. Jadi, butuh penelusuran untuk memastikan apakah harta itu didapat secara benar atau hasil dari kejahatan. Menurut Yenti, aturan LHKPN setengah hati. Pejabat negara diwajibkan menyerahkan laporan harta kekayaan, tapi tidak diikuti dengan pemberian sanksi.
Ketika ada penyelenggara negara yang tidak menyerahkan LHKPN, dia dibiarkan saja. Tidak ada sanksi bagi yang melanggar. Terkait dengan kasus Maruli, terang Yenti, sebagai pejabat negara seharusnya dia melaporkan harta kekayaannya. Apalagi sejak 2013 mantan direktur penyidikan Jampidsus Kejagung itu tidak pernah melaporkan harta kekayaannya.
Dia menambahkan, sudah saatnya ada perubahan dalam aturan LHKPN. Dia pun mengusulkan kepada Presiden Joko Widodo agar ada sanksi tegas bagi pejabat yang tidak lapor harta mereka. Salah satunya sanksi administratif. Jika pejabat itu diketahui tidak melapor, maka dia bisa dicopot dari jabatannya, karena dianggap tidak patuh dan tidak layak menduduki jabatan strategis.
Penerapan sanksi itu bisa dimasukkan dalam paket kebijakan reformasi hukum yang sekarang sedang digodok pemerintah. “Sanksi bagi tidak melapor sangat penting agar pejabat patuh melapor,” papar Yenti dihubungi Jawa Pos, Sabtu (29/10).
Sebenarnya, sudah lama dia mengusulkan sanksi. Sejak Abraham Samad menjabat sebagai ketua KPK, dia sudah pernah mengusulkan. Bahkan, usulan itu sudah dibahas dengan KPK. Tapi setelah itu tidak ada lagi tidak lanjutnya. Yenti berharap, kali ini usulan itu bisa diterima dan diterapkan. Kalau ada yang tidak melapor, maka harus siap-siap kehilangan jabatannya.
Doktor pencucian uang dari Universitas Indonesia itu menyatakan, setiap pejabat harus jujur dalam melaporkan LHKPN. Mereka juga harus menyertakan materai dalam laporannya. Hal itu bisa menjadi bukti kalau mereka jujur dalam melaporkan. Jika suatu saat pejabat itu diketahui tidak melaporkan hartanya secara jujur, maka surat bermaterai itu bisa menjadi bukti awal. Kasus itu bisa masuk pidana.
“Itu sama saja dengan melakukan kebohongan. Membuat surat palsu. Bisa dipidana,” terang dia.
Selama ini, Yenti menjelaskan, KPK tidak bisa memastikan apakah harta yang dilaporkan itu sudah sesuai dengan kenyataan. Apakah para pejabat sudah jujur dalam melaporkan. Tidak ada mekanisme bagaimana mengecek kebenaran laporan itu. Jadi, bisa saja para pelapor tidak jujur. Maka, surat laporan harus disertai materai.
Akademisi kelahiran Sukabumi itu menyatakan, LHKPN sangat penting bagi pencegahan korupsi. Harta penyelenggara negara bisa diketahui dari laporan itu. Jika selama menjabat itu harta kekayaannya tidak wajar, maka dilakukan pengusutan. Pejabat negara harus menjadi contoh bagi masyarakat. Apalagi penegak hukum seperti kejaksaan. Mereka harus mematuhi aturan LHKPN dan melaporkan kekayaan sesuai dengan aturan yang baru. Setiap memegang dan melepas jabatan harus lapor ke KPK.
Plh Kabiro Humas KPK Yuyuk Andriati Iskak menyatakan, sebagai penyelenggara negara yang baik, Maruli seharusnya melaporkan harta kekayaannya secara rutin.
“Seharusnya dia memenuhi kewajibannya sebagai pejabat negara,” terang dia.
Kewajiban penyelenggara negara menyerahkan LHKPN tercantum dalam Undang-Undang Nomor 28/1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme serta Undang-Undang Nomor 30/2002 tentang KPK.
Peneliti Indonesian Legal Roundtable (ILP) Erwin Natosmal Oemar menyatakan, Jaksa Agung harus tegas dalam menindak anak buahnya yang tidak patuh melaporkan harta kekayaannya. Dia pun mendesak Jaksa Agung harus mencopot Maruli dari jabatannnya sebagai Kajati Jatim. Sebagai pejabat dia tidak memberi contoh.
Selain tidak melaporkan kekayaan, Maruli juga terbelit kasus dugaan suap dari mantan Gubernur Sumut Gatot Pujo. Menurut dia, pejabat yang mempunyai nama asli Elieser S.M Hutagalung itu harus dinonaktifkan dan ditarik ke Kejagung.
“Agar dia fokus menghadapi kasus yang membelitnya,” paparnya.
Dugaan keterlibatan Maruli dalam kasus suap penanganan korupsi dana bansos terungkap dari pernyataan Evy Susanti, istri Gatot Pujo. Evy pernah menyebutkan secara jelas ada uang yang mengalir kepada Maruli. Kesaksian itu diungkap dalam sidang di Pengadilan Tipikor pada 16 November 2015. Kala itu, Evy menjadi saksi untuk kasus suap yang menjerat mantan Sekjen Partai Nasdem Patrice Rio Capella. Evy menyatakan, dirinya pernah mendengar dari pengacaranya, O.C. Kaligis, bahwa ada uang yang sudah diserahkan pada Maruli Hutagalung yang saat itu menjabat sebagai direktur penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung. Kini Maruli menjabat sebagai Kajati Jatim.
Pernyataan Evy diungkapkan ketika dia menjawab pertanyaan Ketua Majelis Hakim Artha Theresia soal uang yang pernah digelontorkan untuk mengamankan kasus Pemprov Sumut. Evy mengatakan, dia mendengar dari O.C. Kaligis ada uang yang diberikan kepada pejabat Kejagung.
Hakim Artha pun bertanya, siapa pejabat kejagung yang menerima uang itu. Evy dengan tegas menyebutkan nama Maruli yang diduga menerima uang suap Rp 300 juta dari O.C Kaligis.
Erwin, peneliti yang Alumnus Universitas Gadjah Mada (UGM) itu selanjutnya menyatakan, KPK harus serius mengusut dugaan suap yang menjerat pejabat kejaksaan itu. Komisi antirasuah tidak boleh takut dalam menindak penegak hukum yang diduga melakukan tindak pidana. Penyelidikan harus terus dilakukan untuk mencari alat bukti yang cukup untuk menjerat Maruli.
Terpisah, anggota Komisi III DPR M. Syafii mengkritisi lambannya proses penyelidikan KPK terkait kasus dugaan suap Maruli Hutagalung. Legislator Partai Gerindra itu menduga, lamanya penyelidikan dugaan suap Kajati Jatim itu ada kaitannya dengan kekuasaan.
“KPK saat ini bekerja tidak hanya dengan hukum, tetapi juga sebagai alat kekuasaan,” kata Syafii saat dihubungi.
Syafii yang juga Ketua Pansus RUU Terorisme itu mengingatkan, publik menaruh kepercayaan tinggi kepada KPK. Namun, saat ini banyak kasus yang menggantung dalam proses penyelidikan KPK. Menurut dia, hal tersebut merupakan ujian tersendiri bagi KPK. “Jangan sampai KPK tebang pilih dalam menyelesaikan kasus,” ujarnya. (Jawa Pos/JPG)