Sudah DPO, Jumiatun Pernah Diantar Santoso ke Palu

Usai ditangkap aparat Satgas oprasi tinobala, istri kedua Santoso, Jumiatun alias Atun, alias Umi Delima mendapatkan perawatan intensif di Rs Bhayangkara Palu, tadi malam.

eQuator.co.id – PALU – Sedikit demi sedikit keterangan dari Jumiatun alias Umi Delima, istri Santoso yang menemani selama pelariannya, mulai dapat dikorek aparat

kepolisian. Jumiatun dan Santoso ternyata sempat memiliki seorang buah hati dari hasil perkawinan tersebut.

Yang lebih mengagetkan lagi, buah hati yang kini telah berumur 1 tahun 10 bulan tersebut, ternyata di lahirkan di salah satu rumah sakit di Kota Palu

dan Santoso sendiri yang mengantarkan Jumiatun ke rumah sakit. Hal itu disampaikan Jumiatun kepada sejumlah polisi wanita (Polwan) yang saat ini

mendapinginya di Rumah Sakit (RS) Bhayangkara Palu. “Katanya dia melahirkan bayinya 22 bulan yang lalu, dan itu anak Santoso, sementara Santoso sudah menjadi DPO sejak 2012 silam. Ini yang masih akan kita dalami lagi, karena bagaimana Santoso bisa masuk dengan mudah ke Palu mengantarkan istrinya melahirkan,” sebut Kapolda Sulteng, Brigjen Pol Rudy Sufahriadi, dalam keterangan persnya, Senin (25/7) kemarin.

Saat kontak tembak dengan Satgas Tinombala, Jumiatun melihat langsung saat Santoso tertembak. Santoso diketahui sempat mencoba melarikan diri, namun terjatuh dan senjata yang dipegang oleh Santoso langsung diambil alih Jumiatun untuk dibawa kabur. Saat melarikan diri, Jumiatun berpisah dengan Basri dan istrinya. “Mereka melarikan diri sendiri-sendiri, sekitar 4 hari memisahkan diri dari kelompok tersebut, Jumiatun kemudian bertemu dengan warga yang berkebun di dekat daerah pelarian kelompok Santoso,” kata Rudy.

Kapolda juga mengklarifikasi, bahwa sesungguhnya yang pertama kali bertemu dengan Jumiatun, adalah warga yang sedang berkebun. Kepada warga tersebut, Jumiatun mengakui jika dirinya adalah orang yang dicari petugas dan istri dari Santoso. Saat itu, warga sempat bertanya apakah dia membawa senjata atau bom, namun dijawab hanya membawa pisau. Senjata M16 milik Santoso sendiri sudah ditinggalkan Jumiatun di tengah hutan, karena tidak sanggup membawa beban berat. “Kemudian warga ikat tangannya, dan dia mau untuk menyerahkan diri kepada petugas, yang kebetulan saat itu bertemu dengan anggota dari TNI Angkatan Darat,” terang Rudy.

Pemeriksaan lanjutan kepada Jumiatun sendiri belum bisa dilakukan secara formil, dikarenakan kondisi kesehatannya yang belum stabil. Polwan yang

mendapinginya dalam perawatan, hanya mengorek keterangan melalui wawancara secara lisan. Wanita dengan tinggi 144 centimeter dan berat 34 kilogram tersebut, juga telah selesai diperiksa kesehatannya secara intensif oleh tim dokter dari Bid Dokkes Polda Sulteng. “Kita pastikan dahulu kondisinya benar-benar sehat, baru dilanjutkan pemeriksaan secara detail. Hasil pemeriksaan kesehatan, tidak ada yang serius, hanya fisik yang memang lemah serta penyakit kulit karena hidup lama di hutan,” tutur Kapolda.

Jika nanti yang bersangkutan terkait dengan aksi-aksi terorisme, maka pemeriksaan secara formal akan dilakukan oleh tim Densus 88 Anti Teror, setelah kondisinya membaik. Namun, yang jelas segala tindak-tanduk Santoso selama pelarian di gunung biru diketahui oleh Jumiatun. “Itu yang memungkinkan Jumiatun ini kena pidana (karena mengetahui). Terkait perannya itu nanti pemeriksaan secara formal, kita tunggu kondisinya membaik dahulu,” jelasnya.

Selama beberapa hari ini, kata Rudy, Jumiatun sangat kooperatif dan tidak nampak tertekan memberikan keterangan kepada para Polwan yang dalam

kesehariannya menggunakan hijab. Kapolda sendiri, Minggu malam juga menjeguk langsung Jumiatun untuk melihat kondisi fisiknya. “Saya lihat sendiri dia sudah tertawa dan bercerita lepas, meski memang belum pulih benar,” sebutnya.

Lebih jauh disampaikan Kapolda, pihaknya berencana akan menelusuri keluarga dari Jumiatun yang diketahui berada di Bima NTB. Namun itu bakal

dilakukan, setelah petugas mengetahui peran dari yang bersangkutan. Jika kemudian, Jumiatun terlibat aktif dalam aksi-aksi teror kelompok Santoso,

maka dapat dipastikan dirinya akan dibawa ke Jakarta untuk penyidikan di Mabes Polri.

Disinggung adanya warga yang bisa berkebun di sekitar tempat persembunyian kelompok Santoso, Rudy menegaskan, bahwa selama Operasi Tinombala tidak ada larangan kepada warga untuk berkebun, hanya diminta untuk waspada. Logistik dari kelompok ini pun, kerap didapat dari menjarah hasil kebun warga.

“Tidak ada lagi logistik yang khusus bisa mereka dapat, karena jalur logistik dari bawah sudah kita putus. Mereka sekarang, kami curigai bertahan

dengan menjarah hasil kebun warga. Ini terbukti dari penggrebekan di gubuk Santoso, kami temukan nangka yang sudah dipotong, kacang tanah, dan

pisang,” pungkas mantan Kapolres Poso ini. (agg)