Bisnis Haram Bangku Ekstra

Akibat Ribuan Siswa Tak Dapat Sekolah

Para calon siswa baru sedang mendaftar di sebuah sekolah.

eQuator.co.id – Sebenarnya Dinas Pendidikan (Disdik) Samarinda sudah berupaya keras menekan praktik nakal pihak sekolah. Salah satunya metode penerimaan siswa baru berbasis online (PSB online).

DENGAN menerapkan PSB online, para siswa hingga orangtua bisa meng-update terus proses penerimaan melalui website sesuai nilai hingga jalur yang mereka pilih.

Praktis kesempatan para “mafia pendidikan” untuk “berbisnis” pada PSB tahun ini semakin sempit. Yang biasanya merangkap jadi calo untuk memuluskan calon siswa agar mendapatkan bangku di sekolah tertentu, kini tidak berkutik lantaran transparansi data.

Walau demikian, masih ada celah bagi oknum penggiat pendidikan untuk menjadikan kesempatan itu sebagai sarana mendulang keuntungan pribadi. Salah satunya memanfaatkan bangku ekstra di luar kuota yang telah ditentukan. Karena dari data yang dihimpun Sapos, ada sekitar 3.813 calon siswa SMA sederajat yang terancam tidak mendapat sekolah tahun ini.

Jika celah itu digunakan, tentu akan berdampak bagi proses belajar mengajar nantinya. Karena jumlah kuota yang ditetapkan di setiap sekolah sudah diukur sesuai daya tampung hingga kapasitas per kelas. Jika jumlah siswa terlalu banyak, kemungkinan suasana belajar mengajar menjadi tidak nyaman.

Ditemui di ruang kerjanya, Senin (18/7), Kepala Disdik Kota Samarinda Asli Nuryadin menjelaskan, penetapan kuota berdasarkan rekomendasi yang diajukan pihak sekolah. Menurutnya usulan kembali disesuaikan dengan kapasitas sekolah. Jika kuota yang diajukan dinilai layak, maka dia akan memberikan izin untuk menerima siswa baru sesuai usulan yang diajukan.

“Mereka yang ajukan, kami yang setujui. Makanya di web PSB online ada jumlah kuota yang ditetapkan di setiap sekolah,” ulas Asli.

Angka perkiraan jumlah siswa yang terancam tidak mendapatkan sekolah itu mengacu pada data Ujian Nasional (UN). Berdasarkan data Disdik Samarinda, pelajar SMP dan MTs baik swasta maupun negeri yang mengikuti UN tahun ini sebanyak 21.176 pelajar. Sementara siswa SMA, SMK hingga MA baik swasta maupun negeri yang menjadi peserta UN hanya 17.363 orang. Angka tersebut sedikit banyak bisa menjadi gambaran daya serap SMA jauh lebih sedikit ketimbang jumlah pelajar yang lulus dari SMP sederajat tahun ini.

Ditanya mengenai hal itu, Asli tak membantah. Menurutnya setiap jenjang pasti memiliki penurunan jumlah sekolah yang berimbas pada kuota atau daya serap siswa. Bahkan dia menyebut hal itu hampir setiap terjadi tahun. Dari data yang dimiliki Asli, rata-rata terjadi kekurangan “bangku” sekitar 2 ribu untuk siswa baru di Kota Tepian.

“Begitu lulus SMP ada yang tetap sekolah di Samarinda. Tapi ada juga yang sekolah ke luar kota. Itu yang membuat selama ini tidak menjadi masalah. Karena sebagian siswa ada yang melanjutkan sekolahnya di luar kota,” ulasnya menjabarkan.

Fakta itu membuka celah bisnis bagi oknum penggiat pendidikan untuk meraup rupiah pada momen PSB tahun ini. Karena bisa saja mereka menyodorkan kursi cadangan bagi siswa yang tidak mendapatkan sekolah, dengan syarat dan ketentuan. Yang pasti ujung-ujungnya tak jauh dari uang.

Menjawab hal itu, Asli menyebut penambahan bangku sekolah di luar kuota memang diperkenankan. Namun ada syarat yang harus dilakukan pihak sekolah sebelum memutuskan hal itu. Salah satunya melaporkannya ke instansinya untuk diuji alasannya.

“Misalkan di sekolah A mau menambah (bangku, Red) karena beberapa anak yang tinggal di sekitar sekolah itu tidak mendapat sekolah. Itu boleh, asal data-data siswa diberikan kepada kami untuk di cek ulang. Tujuannya agar menyamakan alasan dan fakta di lapangan,” ujarnya.

Selain potensi bisnis bangku ekstra, pelanggaran yang mungkin terjadi selama penerimaan siswa baru terjadinya pungutan liar (Pungli) yang dilakukan pihak sekolah. Asli menyebut ada tiga indikator yang bisa disebut sebagai pungli. “Yang pertama jumlah pungutan sama, kemudian sifatnya memaksa dan ada sanksi jika siswa tidak mau menuruti hal itu. Itu baru bisa dikatakan sebagai pungli,” ulas Asli.

Walau demikian, bagi orangtua siswa yang ingin membantu sekolah dalam melakukan pembangunan, menurut Asli, tetap diperkenankan, asal sifatnya tidak dipaksa alias suka rela. Kemudian pungutan lain yang dianggap legal adalah yang sifatnya sudah dibicarakan melalui komite. Sehingga menjadi kesepakatan bersama. “Kalau sudah menjadi kesepakatan dan dibahas bersama komite sekolah, saya kira sah-sah saja,” katanya.

Menurutnya, jika dalam perjalanannya warga menemukan ada pihak sekolah yang diduga melakukan pungli, sebaiknya ditelaah lebih dalam agar tidak menimbulkan paradigma buruk secara luas. Jika bukti yang dimiliki cukup lengkap untuk menyatakan tindakan sekolah tersebut adalah pungli, orangtua bisa menempuh beberapa jalur yang telah disediakan.

“Untuk SD bisa melapor ke UPTD yang ada di setiap kecamatan. Nah kalau untuk SMP dan SMA orangtua bisa melapor ke pengawas yang kantornya terletak di SMK Negeri 1. Dari situ kita telaah. Kalau terbukti melakukan pungli, jabatan kepala sekolah jadi taruhannya,” tutupnya tegas. (aya/nin)