Ironi 57 Tahun Peringatan Hari Pendidikan Nasional

Satu diantara sekian banyak kesusahan yang dialami pelajar Indonesia untuk menggapai pendidikan layak. Ini potret dunia pendidikan dan fasilitas infrastruktur di Desa Banjarsari, Sumberasih, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur. Foto diabadikan bulan lalu. Zaenal Arifin-Radar Bromo

eQuator.co.id – Negeri ini sudah merayakan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) selama 57 tahun. Peringatan Hardiknas terkesan seperti kegiatan seremonial belaka. Peringatan yang dikatikan dengan ulang tahun Ki Hajar Dewantara (2 Mei) ini, belum bisa menjadi titik balik pembangunan pendidikan nasional. Masalah klasik seperti akses dan infrastruktur pendidikan, masih jamak ditemukan.

KONSTITUSI mengamanatkan porsi anggaran fungsi pendidikan minimal 20 persen dari total anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Meskipun secara kasat mata anggaran itu besar, tapi belum bisa dinikmati seluruh insane pendidikan di pelosok negeri ini.

Sekolah rusak, gaji guru honorer kecil, akses ke sekolah membahayakan, seakan menjadi masalah laten republik ini. Seperti yang dialami anak-anak di Dusun Sambas, Desa Pematang, Kecamatan Kapuas Kuala, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah.

Untuk bisa sampai di sekolah, anak-anak di Dusun Sambas itu harus menantang maut. Mereka menyeberangi sungai yang membelah kampung mereka dengan berjalan kaki. Pengalaman tragis menyeberangi sungai untuk berangkat ke sekolah itu diceritakan Arifin dan Hendra, murid kelas 3 sekolah gubuk Dusun Sambas.

Beberapa bulan lalu, seperti biasa mereka pulang sekolah menuju rumah dengan menyeberang sungai. Arifin dan Hendra siang itu menerjang arus sungai bersama Santi, Amin, dan kawan-kawannya. Sambil menenteng tas, mereka berusaha berenang menyeberangi sungai.

Hampir mendekati pinggir sungai, Arifin dan Hendra dikejutkan teriakan minta tolong dari belakang. Setelah ditengok, ternyata Amin yang teriak-teriak minta tolong. “Saya langsung melempar tas, kemudian memegang dan menarik Amin yang hampir tenggelam,” kenang Hendra kepada Kalteng Pos, Jumat (29/4).

Ketika Hendra menyelamatkan badan Amin, Arifin dengan bergegas menyelamatkan tas Amin yang nyaris hanyut terbawa arus. Menurut Arifik, buku-buku Amin saat itu sudah terlanjur basah. Arifin mengatakan saat itu dia sempat gugup, karena mengetahui Amin yang terus menangis nyaris hanyur di sungai.

Imbas dari insiden siang itu, Amin terlihat trauma. Dia sekarang jarang berangkat ke sekolah. Ketika dikunjungi Kalteng Pos, Amin lebih memilih ikut orangtuanya ke sawah ketimbang berangkat menyusuri sungai ke sekolah.

“Kadang-kadang dia (Amin, red) sekolah, kadang-kadang tidak setelah kejadian itu. Sekolahnya agak macet,” kata Kakek Atah, salah seorang guru di sekolah Amin dan kawan-kawan.

Atah mengatakan, anak-anak di dusun Sambas terpaksa harus berenang menyeberangi sungai karena satu-satunya jembatan yang ada runtuh tahun lalu. Dia menuturkan siswanya terpaksa berenang di sungai saat pulang sekolah saja. Ketika berangkat sekolah, mereka masih diantarkan orangtua dengan perahu. Tetapi ketika jam pulang sekolah, orangtua masih di sawah. Sehingga tidak ada orangtua yang menjemput anak-anak itu.

Tidak adanya jembatan di dusun yang terisolasi itu memang sangat dirasakan dampaknya oleh masyarakat setempat. “Buatkan kami jembatan. Tidak perlu bagus, yang penting bisa dilalui pejalan kaki, karena di dusun ini tidak ada yang punya sepeda apalagi motor,” tambah Kakek Atah.

Harapan masyarakat Dusun Sambas untuk dibangunkan jembatan itu mulai dijawab Pemerintah Kabupaten Kapuas. “Kami masih merancang konstruksi jembatan yang tepat, dan sesuai arahan Pak Bupati itu menjadi salah satu prioritas kami,” kata Kabid Bina Marga, Dinas Pekerjaan Umum Kapuas, Teras ST.

Dusun Sambas yang terletak di antara Desa Sungai Teras dan Desa Pemtang itu memang terisolasi. Untuk sampai di dusun tersebut memang bisa ditempuh melalui jalur darat. Namun setelah sampai di Desa Sungai Teras perjalanan harus dilanjutkan melalui jalur sungai.

Namun saat ini jalur darat dari Kota Kuala Kapuas menuju Desa Sungai Teras harus menempuh jarak sekitar 70 kilometer. Saat Kalteng Pos hendak ke dusun tersebut, sejumlah masyarakat menyarankan agar tidak menempuh perjalanan darat menggunakan mobil. Alasannya ada kerusakkan jalan yang cukup serius.

Sekolah Ambruk di Dekat Jakarta

Sekolah rusak berat di Indonesia jumlahnya begitu banyak. Tetapi jika sekolah rusak berat itu dibiarkan sampai akhirnya rubuh, merugikan siswa. Seperti yang dialami siswa SDN 2 Dunguswiru, Kecamatan Balubur Limbangan, Kab. Garut. Sebagai catatan, Kecamatan Balubur Limbangan adalah kampung halaman Kepala Kantor Staf Kepresidenan (KSP) Teten Masduki.

Rabu sore (20/4) sekitar pukul 16.00 mendadak masyarakat di sekitar SDN 2 Dunguswiru digemparkan bunyi bangunan roboh yang begitu keras. Setelah ditelusuri, ternyata pusat bunyi ini ada di ujung bangunan SDN 2 Dunguswiru.

Titik bangunan yang roboh itu ada di bangunan paling ujung. Bangunan itu merupakan ruang kelas siswa kelas I. Dari luar bangunan kelas itu terlihat masih berdiri. Sebab tembok muka sekolah tidak ikut roboh. Tetapi saat dilihat dari samping, ruang kelas terlihat roboh berkeping-keping.

Kepala SDN 2 Dunguswiru Haliman mengatakan insiden robohnya ruang kelas itu tidak memakan korban. “Kejadiannya kan sore, sekolah sudah sepi,” katanya ditemui Rabu lalu (27/4). Dia mengatakan kejadian robohnya bangunan kelas itu seperti ironi menyambut perayaan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) 2016.

“Garut itu bukan daerah antah berantah. Masih di pulau Jawa. Juga dekat dengan Jakarta. Tetapi nyatanya ada sekolah roboh,” tutur perempuan berusia 53 tahun itu.

Dia mengaku belum lama menjabat sebagai kepala SDN 2 Dungsuwiru. Selama ini mereka sudah mengajukan permohonan uang rehabilitasi ruang kelas rusak berat.

Tetapi meskipun setiap tahun mengajukan anggaran, Pemerintah Kabupaten Garut tidak kunjung menyetujuinya. Halimah menyebut pemda beralasan masih banyak sekolah lain yang membutuhkan anggaran rehab. Dia mengaku tidak habis pikir, karena sekolahnya kondisinya sudah sekarang tetapi tidak masuk prioritas.

Akibat ambruknya ruang kelas itu, SDN Dunguswiru kini tidak lagi memiliki perpustakaan. Sebab ruang perpustakaan lokasinya persis di samping kelas yang roboh. Untuk keselamatan siswa, ruang perpustakaan itu ditutup entah sampai kapan. Kemudian ruang belajar siswa kelas II juga ditutup. Sebab rangka bagian atas dan temboknya terlihat retak-retak. Ruang kelas II rusak seperti ditarik ruang kelas I yang roboh.

Halimah menceritakan ruang kelas yang ambruk itu sejatinya sudah satu semester tidak difungsikan. Sebab sebelum akhirnya roboh, bangunan itu sudah tidak layak pakai. Plafonnya jebol, lantai dan dindingnya retak-retak, diperparah dengan kondisi tanah yang gampang labil saat musim hujan.

“Setelah ruang kelas I itu roboh dan ruang kelas II tidak bisa dipakai, pembelajaran kami gabung,” tuturnya.

Belajarnya saling adu punggung antara siswa kelas yang satu dengan lainnya. Halimah menjelaskan saat ini siswa kelas I belajar berasma anak-anak kelas III. Sedangkan siswa kelas II belajar nebeng di ruang kelas IV.

Pembelajaran dua rombongan belajar (rombel) dalam satu kelas baginya tidak efektif. Misalnya ketika kelas satunya belajar bernyanyi kemudian kelas satunya lagi belajar matematika. Tentu ada anak-anak yang konsentrasinya menjadi terganggu.

Halimah sempat mengusulkan pembelajaran menggunakan dua sift, pagi dan siang hari. Namun usulan itu diberatkan para orangtua siswa. Alasannya hampir seluruh siswa sore harinya harus belajar mengaji di TPA (taman pendidikan Alquran).

Menurut perhitungan Halimah, biaya membangun ruang kelas baru yang layak digunakan, sekitar Rp 170 juta. Dia berharap anggaran yang tidak terlalu besar itu, bisa segera dikucurkan. Supaya mulai tahun depan siswanya bisa belajar dengan nyaman dan memiliki perpustakaan.

Sekjen Garut Governance Watch (GGW) Dedi Rosyadi mengatakan sebagian besar dana pendidikan di Garut, habis untuk biaya tidak langsung. “Biaya tidak langsung itu meliputi gaji dan tunjangan guru,” jelasnya. Sedangkan untuk biaya langsung, dimana diantaranya untuk rehab sekolah, tidak seberapa besar.

Meskipun ada anggaran untuk rehab sekolah, Dedi mengatakan akses untuk mendapatkannya cukup susah. Dia mengatakan kepala sekolah, harus memiliki channel atau link di internal dinas pendidikan setempat, untuk bisa mendapatkan kucuran dana rehab sekolah. Dia sangat menyayangkan SDN 2 Dunguswiru yang nyata-nyata rusak berat bahkan sampai roboh bangunannya, tidak mendapatkan alokasi anggaran rehab.

Menurut Dedi, saat ini sistem pengucuran dana rehab sekolah sudah cukup baik. Yakni dana langsung ditransfer ke sekolah kemudian dibelanjakan dengan model swakelola. Tetapi dia mengatakan masih ada jebakan-jebakan yang membuat uang itu tidak untuk untuk pembangunan sekolah.

Jebakan itu diantaranya adalah sekolah tetap diminta untuk setor ke oknum di dinas pendidikan. “Jika tidak begitu, ada oknum LSM dan oknum wartawan yang ikut-ikutan minta uang ke sekolah-sekolah,” katanya.

Meskipun pengelolaan perbaikan sekolah adalah kewenangan pemerintah daerah, Dedi berharap Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) ikut aktif memantau realisasi pengucurannya. (Jawa Pos/JPG)