Nunggak SPP Siswi SMK Dilarang UN

Siti Aisyah bersama cucunya Khairani di kontrakannya kavling Sagulung Lama blok D nomor 19, Sagulung, Jumat (1/4). F. Dalil Harahap/Batam Pos

eQuator.co.id –

Inilah rumah kontrakan Khairani di kavling Sagulung Lama blok d nomor 19, Sagulung, Jumat (1/4). F. Dalil Harahap/Batam Pos
Inilah rumah kontrakan Khairani di kavling Sagulung Lama blok d nomor 19, Sagulung, Jumat (1/4). F. Dalil Harahap/Batam Pos

Nunggak SPP, Siswi SMK Dilarang UN

BATAM (BP) – Seluruh siswa kelas tiga SMA/SMK sederajat di Batam kini tengah bersiap menghadapi ujian nasional (UN) pada Senin (4/4) mendatang. Namun tidak bagi Khairani. Siswi SMK Muhammadiyah Batam ini terancam tak bisa ikut UN karena dilarang pihak sekolah. Penyebabnya, pelajar yatim piatu itu masih menunggak pembayaran SPP.

Selain menunggak sumbangan penyelenggaraan pendidikan (SPP), Khairani juga belum membayar biaya pemantapan UN. Sehingga total tunggakan yang harus dibayar senilai Rp 4 juta. Jika tunggakan itu tak dilunasi, maka Khairani tak diizinkan ikut UN di sekolahnya.

“Sekolah memperbolehkan ikut UN asal ada kepastian kapan tunggakan itu dibayar,” kata Khairani, Jumat (1/4).

Bersama neneknya Siti Aisyah, 78, pelajar jurusan Teknik Komunikasi Jaringan (TKJ) ini sebenarnya sudah berupaya keras untuk melunasi tunggakan itu. Keduanya sudah pontang-panting mencari pinjaman. Tekat Khairani cuma satu, ia harus ikut UN tahun ini. Namun sayang, mereka hanya mampu mengumpulkan uang sebesar Rp 500 ribu dari pinjam sana-sini.

Anak asuh Lembaga Amil Zakat (LAZ) Masjid Raya Batam ini juga sudah mengadu ke pengurus LAZ Batam. Namun pihak LAZ Masjid Raya tak mampu membantu Khairani melunasi semua tunggakannya itu.

“Katanya (kas) LAZ lagi kosong,” kata remaja yang mengaku belum pernah melihat wajah ayah kandungnya ini.

Oleh LAZ Masjid Raya, Khairani diarahkan agar mengadukan persoalan ini ke DPRD Batam. Ditemani tetangganya, Endang, kemarin (1/4) Khairani mendatangi Komisi IV DPRD Batam.

Dia menceritakan, sikap tidak adil pihak sekolah ini bukan yang pertama kalinya ia dapatkan. Sebelumnya, dia sering mendapatkan perlakuan tak menyenangkan dari pihak sekolah dan guru jika ia telat membayar SPP.

Kata Khairani, selama ini SPP-nya ditanggung LAZ Masjid Raya Batam. Namun jika LAZ telat membayar atau mentransfer uang SPP ke sekolah, dia dipanggil oleh gurunya dan dipermalukan di depan teman-temannya.

“Ini pelajar yang belum membayar SPP,” kata Khairani menirukan ucapan gurunya, pada suatu ketika.

Tak hanya itu, saat ikut ujian semester, seorang guru juga merampas lembar soal Khairani. Guru itu melarangnya ikut ujian semester karena Khairani belum membayar SPP.

“Banyak juga (siswa) yang seperti saya, dipermalukan. Mereka terpaksa pulang,” ujar siswi yang bercita-cita ingin kuliah ini.

Karena perlakuan ini, semangat belajar Khairani menurun. Nilai akademisnya terus merosot. Padahal, sejak SMP, dia selalu langganan juara kelas. Dia tak pernah lepas dari predikat juara satu atau dua.

“Sekarang sepuluh besar saja,” katanya.

Khairani juga menceritakan, perlakuan diskriminatif pihak sekolah ini pernah dia rasakan sejak menjadi siswi SMPN 44. Bahkan sampai saat ini pihak SMPN 44 masih menahan ijazahnya karena Khairani masih memiliki sejumlah tunggakan biaya sekolah. Totalnya sekitar Rp 18 juta.

“Katanya gratis, pas mau ambil ijazah harus bayar Rp 18 juta,” tutur wanita yang ditinggal mati ibunya ketika masih SD ini.

Tetangga Khairani, Endang, mengatakan selama ini Khairani hidup bersama neneknya yang sudah berusia lanjut. Mereka hidup serba kekurangan. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, mereka mengandalkan pendapatan dari jasa pijat sang nenek.

“Ketika tinggal di Seipanas, dia sering ke rumah saya,” ungkapnya.

Menanggapi aduan ini, Wakil Ketua Komisi IV DPRD Kota Batam, Muhammad Yunus, meminta Dinas Pendidikan (Disdik) Kota Batam segera turun tangan. Dia juga meminta Disdik Kota Batam memberikan sanksi kepada sekolah yang semena-mena terhadap siswanya, terutama siswa yang kurang mampu. Misalnya, sanksi mencabut bantuan operasional sekolah (BOS) serta tunjangan guru.

“Bila perlu izinnya dicabut. Ada bantuan dari pemerintah, masa membantu orang miskin tak bisa,” ungkapnya.

Kemarin, Yunus langsung menghubungi pejabat teras Disdik hingga Kadisdik Kota Batam, Muslim Bidin. “Kata Pak Muslim bisa ikut ujian, kalau tak bisa lapor saya aja,” katanya.

Yunus juga menghubungi Kepala Sekolah Kepsek SMPN 44. Kata dia, Khairani bisa mengambil ijazahnya di sekolah tersebut. “Katanya ijazahnya bisa diambil, datang saja setelah UN,” sarannya.

Ketua Komisi IV DPRD Kota Batam, Riky Indrakari, mengatakan larangan ikut ujian atau UN merupakan pelanggaran berat yang dilakukan pihak sekolah. Sesuai dengan Undang Undang Sistem Pendidikan Nasional, seluruh pelajar harus mengikuti UN.

“Sekolah tak boleh melarang UN,” katanya.

Terpisah, sekretris Komisi IV DPRD Kota Batam, Udin P Sihaloho menyoroti penahanan ijazah di SMPN 44. Hal itu menandakan bahwa program belajar sembilan tahun tidak berjalan. Menurutnya apapun sistem yang diterapkan pihak sekolah, tidak ada bayaran dalam bentuk apapun.

“Namanya sekolah negeri, harus gratis,” tegasnya.

*Sekolah Membantah

Pihak Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Muhammadyah Batam di Batuaji membantah jika sekolah melarang Khairani ikut UN karena yang bersangkutan masih menunggak SPP. Pihak sekolah juga menilai langkah Khairani yang mengadukan masalah ini ke DPRD Batam merupakan tindakan yang berlebihan.

Wakil Kesiswaan SMK Muhammadiyah Batam, Agus, membenarkan jika Khairani memiliki tunggakan senilai Rp 4.110.000. Tunggakan itu terdiri dari uang SPP mulai September 2015 sebanyak Rp 2.445.000 dan sisanya adalah tunggakan administrasi sekolah.

Namun demikian, Agus menegaskan pihak sekolah sama sekali tak mengeluarkan larangan kepada Khairani untuk tidak mengikuti UN tahun ini. “Itu tidak benar. Kalau lah kami mau (melarang UN) sudah dari dulu waktu ujian semester atau ujian akhir sekolah (UAS),” kata Agus, kemarin (1/4).

Agus mengakui, selama ini pihak sekolah sudah berkali-kali mengeluarkan peringatan kepada Khairani agar segera melunasi tunggakan itu. Namun Agus kembali menegaskan, peringatan itu bukan berarti larangan ikut UN.

Menurut Agus, peringatan (waring) pihak sekolah itu dinilai masih wajar. Sebab sejak September 2015, Khairani belum membayar SPP. Bahkan Khairani dinilai tidak punya itikad baik untuk membayarnya.

“Ya itu wajarlah, dimanapun sekolahnya kalau dicuekin sama sekali begitu pasti ada warning-nya,” kata Agus.

Di SMK Muhammadiyah, kata Agus, bukan hanya Khairani yang mengalami persoalan ini. Ada beberapa siswa lain yang menunggak pembayaran SPP dan mendapatkan teguran dari sekolah. Namun mereka memiliki kemauan uantuk membayar tunggakan itu meskipun dengan cara mencicilnya.

“Berbeda dengan dia (Khairani, red). Hampir setahun ini sama sekali tak ada kabar. Neneknya memang sudah datang kasih tahu, tapi ya kami juga tak mungkin dong membiarkan begitu saja, makanya diingatkan lagi. Bukan melarang dia untuk ikut UN seperti yang diadukan itu,” bebernya.

Agus melanjutkan, pihak meski sering menunggak, pihak sekolah sudah memberikan kelonggaran kepada Khairani. Bahkan, pihak sekolah juga mencarikan donatur untuk Khairani.

“Tapi itulah, tak dibayar-bayar entah karena tak dibantu (oleh donatur) atau apa kami tak tahu,” tutur Agus.

Menurut Agus, tunggakan tersebut memang tak bisa dihapuskan begitu saja. Artinya, siswa yang menunggak wajib melunasinya. Konsekuensinya, meski boleh ikut UN, ijazah siswa yang masih memiliki tunggakan biaya sekolah akan ditahan.

“Itu sudah aturan tetap. Tapi untuk UN sekali lagi kami tekankan semua siswa wajib ikut,” ujarnya.

Sementara pihak Pondok Pesantren An Ni’mah yang menaungi SMPN 44 Batam di Dapur 12, Sagulung, juga membantah aduan Khairani tersebut. Pimpinan Pondok Pesantren An Ni’mah Dapur 12, Arianto, mengatakan aduan itu tidak benar. Dia bahkan kaget jika nominal tunggakan disebut mencapai angka Rp 18 juta.

“Yang ada hanya tunggakan uang makannya (selama di pondok pasantren) tapi tak sebanyak itu pak,” kata Arianto.

Arianto mengakui, sampai saat ini ijazah Khairani memang masih ditahan pihak sekolah sekolah. Namun itu bukan karena niat pihak sekolah yang menahan secara terus menerus. Arianto menuturkan, pihaknya mau memberikan ijazahnya dengan syarat siswa dan orangtua atau wali yang bersangkutan datang langsung mengambil ijazahnya ke pondok pesantren. Bahkan pihak pesantren tak akan menagih tunggakan uang makan Khairani, asalkan yang bersangkutan mau datang dengan baik-baik.

“Tapi sejak tamat, mereka tak pernah datang. Bagaimana mau kasih ijazah ini,” ujarnya. (hgt/eja)

LAZ MRB Bantu Rp 500 Ribu

Lembaga Amil Zakat (LAZ) Masjid Raya Batam (MRB) memberikan uang Rp 500 ribu langsung ke SMK Muhammadiyah Batuaji, Jumat (1/4). Dana itu untuk membantu melunasi tunggakan SPP Khairani, siswi SMK Muhammadiyah Batuaji.

“Uang itu diterima bendahara sekolah M Romadhon,” kata Direktur LAZ MRB, Ustaz Syarifuddin.

Ustaz Syarif mengatakan, bantuan itu diberikan lantaran Siti Aisyah – nenek Khairani, datang ke LAZ dan mengajukan permohonan dana. Wanita yang berprofesi sebagai tukang pijat keliling itu meminta bantuan sebesar Rp 900 ribu. Permohonan itu diajukan hampir sebulan lalu, Kamis (3/3). Dan LAZ baru meluluskan kemarin karena mereka membutuhkan waktu untuk melakukan survei.

“Jatuhnya, dia itu pemohon baru,” ujarnya.

Nama Khairani, menurut Ustaz Syarif, sebenarnya sudah lama berada dalam database LAZ MRB. Ia sempat tinggal di Rumah Anak Asuh (Ruas) LAZ MRB di daerah Batuaji. Waktu itu, Khairani baru duduk di bangku SMK Muhammadiyah.

Ketika tinggal di asrama tersebut, segala kebutuhan sekolah Khairani ditanggung LAZ MRB. Mulai dari makan dan minum, uang jajan, dan uang SPP, hingga transportasi tambahan jika sekolahnya berada jauh dari jalan raya. Sayang, Khairani memutuskan keluar dari RUAS ketika naik kelas XI.

Namun, meskipun tidak tinggal lagi di RUAS, Khairani tetap terdaftar sebagai penerima program beasiswa teladan dari LAZ MRB. Setiap bulan, LAZ MRB rutin memberikan uang SPP. Hingga kemudian berhenti total di tanggal 17 Juni 2015.

“Total dana yang sudah kami serahkan untuk dia itu Rp 1,535 juta,” kata Ustaz Syarif lagi.

Program beasiswa itu berhenti karena Khairani tidak lagi datang ke LAZ MRB. Sementara syarat wajib bantuan itu adalah siswa datang langsung ke LAZ MRB dan membawa kuitansi pembayaran SPP di bulan lalu. Nah, ketika siswa datang itulah, LAZ juga memberikan pembinaan kepada para siswa.

“Bentuk pembinaan itu ke hafalan Quran dan bacaan salatnya. Nambah atau tidak,” tambahnya.

Ternyata, menurut petugas LAZ MRB, hafalan Khairani tidak bertambah. Ustaz Syarif menduga, Khairani tidak lagi datang karena tidak berhasil menambah hafalan Quran ataupun bacaan salatnya. Dan akhirnya, ia terlupakan.

“Maklum, anak-anak kami ada ratusan. Jadi ketika dia tidak datang tidak terpantau juga,” ujarnya.

Namun, karena LAZ MRB telah meluluskan permohonan bantuan yang baru, LAZ kembali akan menanggung SPP Khairani hingga lulus SMK. Besarnya Rp 225 ribu per bulan. Dana itu akan langsung dikirim ke bendahara sekolah.

“Sepertinya, ada sesuatu dengan anak ini. Daripada terjadi apa-apa, kami langsung bayar ke sekolah saja,” katanya. (ceu)