eQuator – Proses seleksi calon hakim adhoc Pengadilan Tipikor disorot. Koalisi Pemantau Peradilan menemukan 37 calon yang integritasnya patut diragukan. Mereka pun mendesak calon-calon yang tak layak agar tidak dipilih.
Ke-37 calon hakim adhoc itu telah lolos seleksi bersama 58 orang lainnya. Mereka telah menjalani tes administrasi dan tertulis. ”Calon tersebut integritasnya tidak teruji. Beberapa calon bahkan kedapatan melakukan pelanggaran etika profesi dan pidana,” ujar peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Aradila Caesar. Temuan Koalisi Pemantau Peradilan juga menunjukkan ada 18 calon yang terindikasi sebagai ”pencari kerja”.
Yang tak kalah merisaukan ialah para calon rata-rata tidak terlalu memahami persoalan korupsi. Baik dari kerangka teori, praktik dan normatif hukum. Koalisi Pemantau Peradian juga mengindikasikan tujuh calon hakim adhoc berafiliasi dengan partai politik.
”Pemantauan yang kami lakukan ini tidak hanya mengecek latar belakang, tapi juga saat proses wawancara,” imbuh Aradila.
Dalam seleksi wawancara, banyak peserta yang kesulitan menjelaskan perbedaan tindak pidana korupsi yang diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor. Pertanyaan-pertanyaan yang menyangkut hasil penelusuran rekam jejak justru tak banyak disampaikan.
”Kami mengapreasiasi kinerja pansel yang diketuai Pak Artidjo Alkostar. Seleksinya sudah terbuka, tapi ya itu sistemnya yang kurang,” ujarnya. Koalisi awalnya berharap penelusuran rekam jejak melibatkan KPK dan PPATK. Namun hal itu justru tak dilakukan.
Julius Ibrani dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mengatakan kebutuhan hakim tipikor di Indonesia memang mendesak. Banyak pengadilan-pengadilan negeri yang kekurangan hakim tipikor. Termasuk hakim adhoc. Namun hal tersebut menurut Julius tak serta merta membuat hakim yang tak layak tetap dipaksakan untuk dipilih.
Sebab, hakim adhoc punya posisi strategis dan sangat penting. ”Keberadaan mereka jelas sangat diharapkan bisa menghadirkan putusan sidang korupsi yang berkualitas,” terangnya.
Koalisi Pemantau Peradilan berharap MA mengulangi dan membenahi sistem seleksi calon hakim adhoc. Keberadaan hakim adhoc memang sangat mendesak. Di Jakarta misalnya, pengadilan tipikor sangat kekurangan hakim. Sebelumnya ada lima hakim adhoc yang membantu hakim karir menyidangkan kasus-kasus korupsi. Namun saat ini hakim adhoc di Jakarta hanya tersisa lima orang. Tiga hakim lainnya masa kerjanya sudah habis dan tidak diperpanjang.
Kurangnya hakim tipikor inilah membuat sidang kasus-kasus korupsi jadwalnya molor. Humas Pengadilan Tipikor Jakarta Sutio Jumagi mengatakan idealnya Pengadilan Tipikor mendapatkan tambahan sekitar 10 hakim adhoc baru. Tambahan tersebut diharapkan bisa mengefektifkan pelaksanaan sidang yang pekan depan akan dilaksanakan di gedung baru yang lebih representatif di Jalan Bungur, Jakarta Pusat. Sebelumnya Pengadilan Tipikor menumpang di Gedung Ombudsman di Jalan Rasuna Said C-19.(Jawa Pos/JPG)