eQuator.co.id – Terpelesat di pedalaman selatan Kalimantan Barat, pulau kecil di tengah Sungai Pawan itu menyimpan histori Sandai. Di situlah situs sejarah tentang tanah Kayong banyak bercerita, dengan Makam Tujuh Keramat yang dikeramatkan masyarakatnya.
Achmad Mundzirin, Sandai
Hawa dingin pagi terasa menusuk tulang sehingga menyadarkan kami dari lelapnya tidur. Lelah akibat perjalanan panjang dari Kota Pontianak bersama rombongan petinju dari Timur Leste, menuju Kecamatan Sandai, Kabupaten Ketapang, Jumat (21/10). Perjalanan menelan waktu delapan jam.
Sandai merupakan kecamatan pedalaman di selatan Kalimantan Barat. Jauh dari kesibukan perkotaan. Untuk mencapainya harus menempuh medan bergelombang penuh tanjakan dan turunan karena terletak di pinggang pegunungan.
Ibu Kecamatan Sandai sendiri merupakan kumpulan sejumlah desa, yakni Muara Jeka, Petai Patah, Randau Jungkal, Randau, dan Demit. Sandai sebagai kecamatan tua yang menyimpan berbagai cerita mistis dan religius, masih dikenang hingga kini. Dulu di sini berdiri Kerajaan Indralaya sehingga membentuk kota, sebagai hijrahnya Kerajaan Tanjungpura.
Alam yang masih relatif asli dan asri dikelilingi bukit menawarkan udara sejuk pegunungan. Awan dan kabut tebal yang menuruni bukit setiap pagi menyuguhkan pemandangan yang mahal buat orang kota.
Sabtu (22/10), selesai mandi dan sarapan, bersama rombongan jurnalis dan kru PonTV (Jawa Pos Group) pun berkelana seantero kawasan. Cerita dari warga setempat, jangan lewatkan Pulau Karang dengan Makam Tujuh Keramat, yang bermakna sudah datang ke Sandai.
Tanpa guide, Adhe dari PonTV fokus dengan kemudi mobilnya, dan harus berkali-kali berhenti untuk bertanya kepada warga tentang pulau yang kami cari. Tak banyak yang bisa ditanya. Warga hanya bilang, terus saja jalan lurus, nanti akan menemukan sebuah sungai. Itulah Sungai Pawan yang dianggap sebagai sungai Kerajaan Matan Ketapang, yang di tengahnya terletak Pulau Karang.
Akhirnya kami sampai juga di depan pulau yang dicari setelah 30 menit perjalanan dari penginapan. Jangan bayangkan pulau sebagaimana laiknya tanah yang dikelilingi air sungai atau laut. Pulau karang itu di tengah sungai yang dipenuhi dengan bebatuan kecil. Sehingga, mencapainya pun sangat mudah kalau air surut. Cukup berjalan kaki tibalah ke pulau itu. Tetapi bila sungai pasang butuh jasa penyeberangan yang murah ditawarkan warga setempat.
Dengan jasa penyeberangan warga kami tiba di Pulau Karang. Para jurnalis asyik berfoto dan berselfie ria, saya langsung menjajaki pulau karang itu. Mulai dari panjangnya saya ukur dengan langkah kaki. Luas pulau karang itu jika tidak dalam keadaan surut, lebar 137 kaki dengan panjang 179 kaki.
Karena tecagak persis di tengah sungai, membuat arus air terbelah dua mengaliri hutan belantara di kirinya. Di sisi kanan, berseberangan dengan tempat tinggal warga di Jalan Pengeran Kusuma Anom, Desa Muara Jeka.
Tak ada kehidupan di situ, tetapi ada sisa-sisa pondok kecil. Sedikitnya 10 pondok yang tersisa. Beberapa pohon tua yang begitu tinggi dan besar, masih hidup dan subur. Diperkirakan usia pohon ratusan tahun.
Nah, di Pulau Karang inilah terletak kompleks pemakaman kerajaan. Tentu tak ada lagi tanda atau tulisan yang terbaca. Namun, warga menganggap pemakaman ini bukan makam orang biasa. Mereka merasakannya sebagai makam keramat.
Hanya tujuh makam saja yang ada. Tujuh kuburan itu peninggalan masa lampau, dan setelah makam ke tujuh, tak ada lagi pemakaman berlangsung di sana. Kuat dugaan merupakan peninggalan zaman kerajaan Islam di Kabupaten Ketapang.
“Kami menyebutnya makam tujuh keramat,” kata Jurai, 30, warga Desa Muara Jeka.
Namun Jurai pun tidak tahu siapa yang di tujuh makam itu. Termasuk generasi terdahulu dari Jurai, tidak mengenal siapa yang dimakamkan di situ.
“Makam itu peninggalan kerajaan Islam,” katanya.
Kisah mistis yang muncul dari pemakaman tersebut pun cukup mencengangkan. Bahwa nisannya kerap hilang atau pergi entah kemana. Namun di waktu-waktu yang tak diduga, nisan itu kembali tertancap pada tempatnya.
“Di situ ada nisan yang hilang, kemudian datang lagi kembali di tempatnya,” tutur Arif, 21, pemuda yang menyeberangkan kami ke Pulau Karang tersebut.
Karena rutin dikunjungi warga untuk berbagai tujuan, hampir tiap minggu ada saja yang datang bernazar ke komplek Makam Tujuh Keramat. Tak banyak yang tahu, apakah peziarah berdoa di makam tersebut atau punya hajat tertentu.
Karena itulah ada pondok-pondok di sekitar makam yang dibuat warga setempat untuk berjualan makanan dan minuman.
“Kalau hari biasa memang tidak ramai. Tetapi kalau H+3 Idul Fitri, Pulau Karang dipadati ribuan manusia jadi taman rekreasi,” kata Nurul, 27, warga setempat.
Meski terkesan mistis, Makam 7 Keramat selain dikeramatkan warga juga dijadikan tujuan wisata. Mereka yakin akan sejarah kerajaan yang diantaranya ada yang dimakamkan di Pulau Karang itu. Peninggalan situs sejarah ini diziarahi dari pagi hingga sore, bahkan hingga malam hari.
“Dari Pontianak, Ketapang (Kota) serta dari mana-mana itu datang ke sini. Ramai sekali, bisa sampai lima ribuan orang yang datang, penuh ini Pulau Karang,” tambah Nurul.
Kata Rini, jika air sungai surut Muara Jeka akan dangkal dan dipenuhi bebatuan. “Ini dasarnya batu, bukan tanah atau pasir. Asli batu, seperti yang ada di pulau. Batu batu kecil, jadi bisa berjalan kaki. Itu ramai sekali kalau sudah mau Lebaran,” ungkapnya, menutup cerita. (*)