eQuator.co.id – PEKANBARU-RK. Tak hanya di Kalbar, Karhutla di Riau juga luar biasa. Bahkan, pada Kamis (12/9), kualitas udara di bumi lancang kuning itu merata pada level berbahaya.
Kondisi serupa pernah terjadi pada 2015 silam. Empat tahun berlalu, kini warga Riau kembali bakal mengadukan nasib kepada Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB).
Setelah 2015 silam, seorang warga negara Indonesia asal Pekanbaru, Riau, menyurati langsung Sekjen PBB ketika itu karena pembakaran hutan dan lahan secara massif, kini perempuan bernama Dr. Hj. Sri Mulyani Kadir Abbas tersebut kembali bakal mengirim surat serupa.
“Surat tersebut (2015 lalu, red), akan saya kirim ulang,” ungkapnya kepada Riau Pos, Kamis siang.
Surat terbuka yang dibuat dosen Universitas Islam Riau (UIR) tersebut sebagai bentuk pengaduan atas nasibnya secara pribadi dan jutaan masyarakat Riau. Serta jutaan lainnya warga kalimantan yang juga terdampak kabut asap pekat akibat karhutla.
“Ini mau direvisi sedikit, dalam pekan ini akan saya kirim lagi,” tegasnya.
Empat tahun lalu, Sri Mulyani mengirimkan surat terbuka kepada Sekretaris Jendral PBB tentang Keprihatinan Kabut Asap. Intinya Ia berharap pemimpin dunia dapat menyelamatkan jutaan masyarakat Riau atas bencana kebakaran hutan dan lahan yang terus terjadi. Surat terbuka ini juga diteruskan kepada Presiden Joko Widodo dan Pemprov Riau.
Berikut kutipan surat terbuka yang disampaikannya dalam bahasa Indonesia ketika itu. “Yang Terhormat Sekretaris Jendral PBB, Perkenalkan, nama saya Dr Sri Wahyuni Kadir Abbas, seorang dosen di fakultas Hukum Universitas Islam Riau. Universitas swasta yang letaknya di Pulau Sumatra, provinsi Riau, usia saya 46 tahun, seorang ibu dengan 4 anak, tinggal di Pekanbaru, provinsi Riau, Indonesia.
Saya menulis surat ini, tentang suara hati rakyat yang terkena kabut asap, penduduk Pekanbaru, seorang warganegara Indonesia dan warga dunia. Sebenarnya, tentulah masalah peperangan dan kelaparan dunia menjadi pusat perhatian Badan UN saat ini, akan tetapi, kami juga warga dunia yang membutuhkan udara bersih dimana udara adalah sumber kehidupan itu sendiri, sedangkan itu tidak kami dapatkan selama saat ini.
Usaha teman-teman warga masyarakat Riau dan daerah yang terkena asap di segala lapis seperti demonstrasi sudah dilakukan walau belum menampakkan hasil. Dan saya juga tidak menutup mata akan usaha pemerintah dan pemimpin kami untuk menyelesaikan kabut asap ini walau tertatih tatih dan lambat sekali. Memang tidak segampang yang bisa kami bayangkan, dan sampai saat ini, kami masih berharap, pemerintah akan berusaha membantu kami mendapatkan udara bersih sesuai dengan amanat rakyat yang dituangkan dalam Undang Undang Dasar kami.
Akan tetapi, sampai saat ini, kabut asap semakin pekat dan sangat membahayakan. Saya secara pribadi, memikirkan lama sekali untuk menulis dan melayangkan surat ini ke anda.
Saya coba untuk membaca ulang, dan berusaha menuliskan sesuai dengan data berita internasional yang saya baca dan pahami. (Sri melampirkan kiriman berita-berita internasional di intenet. Mulai dari situs Aljazeera, Straits Time, dan lainnya).
Dan akhirnya, bila surat ini terlayangkan dengan 3 bahasa yang saya kuasai itu, itu adalah selemah lemahnya usaha saya yang sudah tidak bisa dibendung lagi. Maafkan surat saya ini.
Kabut asap yang terjadi saat ini melanda di wilayah Indonesia terutama di Riau dimana saya tinggal dan 4 juta warga Riau yang tinggal dan hidup. Serta di sebagian besar Pulau Sumatra seperti Jambi, Palembang dan sebagian besar pulau Kalimantan. Yang kalau dijumlahkan maka jumlah penduduk yang terkena dampak kabut asap adalah hampir sepertiga dari penduduk Indonesia yang 250 juta jiwa.
Kami mulai apatis menunggu, kapan kami bisa terbebas dari kabut asap ini, dan sikap apatis itu juga melanda rakyat negeri ini khususnya di wilayah yang terkena kabut asap, apatis akan nasib udara yang kami hirup, dimana udara adalah sumber utama kehidupan, akan nasib anak anak kami yang tidak sekolah, akan nasib kesehatan anak-anak kami untuk 20 tahun yang akan datang.
Saya hanya bisa mengirimkan surat ini ke anda sebagai pemimpin dunia. Saya malu, karena tidak ada yang bisa saya lakukan kecuali hanya pasrah dan menerima nasib. Sekali lagi, saya malu sebagai seorang dosen dan pendidik, tetapi selalu ditanya oleh mahasiswa saya, apa yang harus dilakukan tentang kabut asap ini?
Saya tidak berdaya untuk dapat menyelesaikan masalah kabut asap ini karena saya bukan seorang yang punya kekuasaan di bidang politik negara, saya bukan seorang yang punya kemampuan intelektual yang cukup yang bisa dimasukkan dalam jajaran pejabat negara yang punya kekuasaan. Walau begitu, sampai saat ini, saya masih punya rasa Ke Indonesiaan saya, rasa Nasionalisme saya, rasa percaya saya pada pemimpin saya.
Akan tetapi, dengan beriringnya kemajuan teknologi dan daya kemampuan ekonomi Negara Indonesia, rasanya tidak ada yang tidak bisa selesai di negeri ini seharusnya. Negeri besar yang bernama Indonesia.
Akan tetapi, selama 20 tahun ini bila dihitung dari tahun 1997 hingga saat ini, masih saja kami mengajukan pertanyaan yang sama setiap tahunnya, seakan akan kami ini rakyat yang tidak berdaya, mengapa tidak juga bisa pemimpin kami menyelesaikan kabut asap ini?
Pedih hati melihat anak anak kecil terpapar tentang kabut asap ini dan memikirkan masa depan mereka untuk masa masa yang akan datang. Apakah paru paru mereka masih baik untuk kehidupan yang akan datang?. Kemana negara saat kami butuhkan? Mengapa usaha yang dilakukan tidak juga menyelesaikan masalah? Apa yang salah? Apakah saya ini atau kami masyarakat sudah begitu bodohnya, sehingga kami harus menerima kedaan ini yang disebut dengan Takdir dan melakukan salat tobat dan salat minta hujan?
Mengapa kami rakyat yang selalu disuruh bertobat? Kenapa tidak pemimpinnya yang bertobat? Di mana salah kami sebenarnya bila itu memang kesalahan kami? Bukankah ini kesalahan sebagian orang saja yang menjadi penyebab kabut asap ini, yang kami sebut dengan sebutan “mereka”? Walau “mereka” juga adalah rakyat juga, tapi “mereka” rakyat yang ekslusif, “mereka” rakyat yang kaya, yang bila terjadi kabut asap yang “mereka” buat setiap tahun selama 20 tahun ini, maka “mereka” bisa pergi lari keluar negeri, dan tinggallah kami yang masyarakat biasa, yang rakyat biasa yang sengasara.
Kami sama-sama rakyatnya, tapi kami iri dengan “mereka” yang juga rakyat, yang dengan uangnya mereka bisa membalikkan keadaan negri ini. Kami negri yang diatas asap saat ini. Negeri yang betul betul diatas asap, bukan suatu idiom lagi tapi suatu kenyataan.
Saya tinggal di Pekanbaru ini sudah 46 tahun, saya sangat tahu dan rasakan tentang perkembangan asap. Bahkan kami sudah terbiasa karenanya. Malu saya untuk mengakui bahwa kami sudah terbiasa akan asap ini, kami sudah terbiasa akan tidak adanya peran negara dalam menyelesaikan kabut asap ini. Padahal kami rindu akan pemimpin tersebut, kami rindu mereka akan hadir bila kami ada masalah.
Bahkan saya pun malu akhirnya bahwa persoalan kebakaran hutan inipun menjadikan banyak ilmu pengetahuan diketemukan, banyak teknologi baru diketemukan, banyak dosen yang mendapat gelar DR dan Professor tentang ini, banyak konferensi internasional yang diadakan, bahkan Indonesia selalu menjadi contoh karena Indonesia masih punya hutan hujan tropis yang besar setelah Kenya dan Brazil dan hutan tersebut menjadi paru paru dunia.
Apakah karena kami masih punya hutan, maka kami akan selalu merasakan asap, karena hutan akan selalu berpotensi untuk dibakar demi yang namanya ekonomi, pembangunan dan kemajuan zaman. Kalau begitulah adanya dikarenakan kami punya hutan, kami akan rela melepaskan hutan ini demi kami tidak mau oksigen kami tercemari, karena udara adalah paling utama sumber kehidupan manusia.
Kami ingin juga seperti kota-kota lain yang selalu bisa bersih udaranya. Dari tahun ketahun selama 20 tahun ini, kami selalu saja yang terkena asap, demi yang namanya pembukaan lahan untuk apapun. Kalo udara sudah tidak ada lagi, kemana kami akan pergi? Rindu kami akan udara segar dan bersih, ini sudah hampir 4 bulan kami dilanda asap yang dari tahun ketahun pasti akan kami rasakan dan terulang terus.
Tolong, Selamatkan Kami. Salam hormat, Dr Sri Wahyuni Kadir Abbas, Email sri_wahyuni6969@ymail.com, Facebook Sri Wahyuni Kadir Abbas.”
MALAYSIA GERAM
Dari negeri jiran, Perdana Menteri Malaysia, Mahathir Mohamad segera menyurati Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk menyampaikan keprihatinannya tentang kabut lintas batas, yang saat ini terjadi akibat kebakaran di sebagian wilayah di pulau Sumatera dan Kalimantan.
“Saya telah membahas hal ini dengan perdana menteri dan dia telah setuju untuk menulis surat kepada Presiden Jokowi untuk menarik perhatiannya terhadap masalah kabut lintas batas,” kata Menteri Lingkungan Hidup Malaysia, Yeo Bee Yin Kamis (12/9).
Yeo menambahkan, Kantor Mahathir sedang mempersiapkan surat itu dan akan segera dikirim. Malaysia geram, pasalnya Menteri Kehutanan Indonesia, Siti Nurbaya Bakar, pada Rabu (11/9), mengatakan bahwa masalah asap harus dilihat lebih obyektif dan bisa saja berasal dari kebakaran di Malaysia.
Sebagai tanggapan, Yeo mengatakan bahwa data Malaysia diambil dari Pusat Meteorologi Khusus ASEAN, yakni stasiun cuaca yang berbasis di Singapura yang melacak titik api kebakaran hutan di seluruh wilayah ASEAN. Data itu menunjukkan bahwa hanya ada lima titik api yang terdeteksi di Malaysia pada hari Kamis (12/9). Yeo menyebut bahwa jumlah itu jauh lebih sedikit jika dibandingkan dengan lebih dari 1.500 titik api yang terdeteksi di Indonesia.
“Data itu jelas menunjukkan bahwa kabut itu berasal dari Indonesia,” katanya, seperti dimuat Channel News Asia.
Akibat asap, Malaysia menutup ratusan sekolah dan mendistribusikan setengah juta masker wajah ke negara bagian Sarawak di pulau Kalimantan minggu ini karena asap yang muncul mencapai tingkat yang tidak sehat. Yeo menjelaskan, pemerintah Malaysia juga telah menyiapkan pesawat untuk penyemaian awan dengan harapan menghasilkan hujan. (Riau Pos/JPG, RMOL)