eQuator.co.id – JAKARTA – Direktorat Tindak Pidana Ekonomi (Dittipideksus) Bareskrim Polri tengah melacak data administrasi sejumlah rumah sakit yang menjadi langganan produsen vaksin palsu. Data itu akan menunjukkan identitas bayi yang mendapatkan vaksin palsu. Dengan begitu bisa memungkinkan adanya upaya vaksin ulang.
Direktur Dittipideksus Bareskrim Brigjen Agung Setya mengatakan, setelah diketahui daftar bayi yang divaksin palsu itu, Bareskrim akan segera mengumumkannya. Dengan demikian masyarakat bisa memastikan apakah anaknya perlu vaksin ulang atau tidak. ”Kami kejar hingga end user. Kami ingin membantu masyarakat,” katanya di Mabes Polri, Jakarta, kemarin.
Dia mengatakan, hingga kini identitas rumah sakit yang menyediakan vaksin palsu belum bisa diungkap. ”Tapi kami akan umumkan bila sudah mengetahui identitas pengguna vaksin atau korban ini,” janjinya.
Hingga saat ini, penyidik Bareskrim telah mendata jumlah rumah sakit yang menjadi langganan produsen vaksin palsu. Untuk jumlah tepatnya, memang belum bisa diungkapkan. Namun, Bareskrim menemukan fakta bahwa distribusi vaksin palsu ternyata lebih luas. ”Ya, ada kota-kota lain yang terlacak dipasok vaksin palsu,” tuturnya.
Bila sebelumnya hanya ada tiga provinsi, yakni Banten, Jawa Barat dan DKI Jakarta. Temuan terakhir menunjukkan vaksin palsu juga merambah Jawa Timur, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Jogjakarta, dan Aceh. ”Fakta ini baru kami temukan. Nanti kami lacak terus,” paparnya.
Bareskrim berupaya memetakan rantai distribusi vaksin palsu ini. ”Posisinya kami sudah mengetahui rumah sakitnya, tinggal ke data pengguna saja,” ujarnya.
Agung menuturkan, peredaran vaksin palsu hingga ke sejumlah provinsi ini dilakukan salah satu jaringan produsen vaksin palsu yang telah terkuak. Tiga produsen lainnya hanya di daerah sekitar saja. ”Ya, ini yang paling besar,” jelasnya.
Produsen yang wilayah edarnya luas inilah yang diduga merupakan yang kali pertama membuat vaksin palsu. Bahkan, produsen ini juga yang mengajari pembuat vaksin palsu asal Bekasi, Hidayat dan Rita Agustina. ”Ya, produsen yang mengajari produsen lain ini inisialnya S. Dia sudah ditangkap Bareskrim pada penangkapan gelombang kedua di Semarang,” papar jenderal berbintang satu tersebut.
Kabareskrim Komjen Ari Dono menuturkan, Bareskrim juga sedang menghitung kapasitas produksi dari pemalsu vaksin bayi tersebut. Dengan diketahui kapasitas produksinya, akan diketahui sebanyak apa vaksin palsu yang telah beredar. ”Kami teliti secara mendalam,” ujarnya.
Untuk mengetahui kapasitas produksi itu, Bareskrim akan mencocokkan antara kapasitas mesin pembuat vaksin, jumlah karyawan, dan data administrasi pemalsu vaksin. ”Ini penting untuk menggambarkan sebesar apa kasus ini,” paparnya.
Terkait belum diungkapnya nama rumah sakit dan apotik, Ari memiliki pertimbangan tersendiri. Menurut dia, saat ini penyidik tengah mengumpulkan barang bukti dan keterangan dari pihak rumah sakit dan apotik. ”Saya khawatir kalau diungkapkan nama rumah sakitnya nanti barang bukti keburu hilang atau dihilangkan. Mohon kesabarannya,” terangnya.
Sayang hingga saat ini, tes laboratorium terhadap vaksin palsu belum juga kelar. ”Semoga tidak ada kandungan yang berbahaya,” jelasnya.
Limbah Medis
Kasus vaksin paslu ini turut menyeret bobroknya proses penanganan limbah medis dari rumah sakit. Sebab, terungkap bahwa ampul yang digunakan untuk vaksin palsu merupakan daur ulang. BPOM sendiri enggan disalahkan dengan berdalih itu merupakan kewajiban masing-masing rumah sakit.
Ketua Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia (ARSSI) Susi Setiawaty mengatakan, rumah sakit sudah menggandeng pihak ketiga dalam penanganan limbah rumah sakit.
Dia menuturkan, ada dua jenis limbah rumah sakit. Yakni, limbah domestik dan infeksius. Untuk limbah domestik, seperti kertas dan sayuran, langsung ditangani dinas kebersihan daerah. Sementara untuk limbah infeksius seperti bekas pasien dan sisa hasil laboratorium ditangani pihak ke tiga. Sayangnya, Susi enggan menyebut pihak ketiga yang kerap bekerja sama dengan pihak rumah sakit.
”Limbah vaksin masuk dalam limbah infeksius. Ini dikelola oleh pihak ketiga yang sudah kerja sama dengan rumah sakit,” tuturnya singkat.
Direktur Utama Yayasan Perlindungan Konsumen Kesehatan Indonesia (YPKKI) Marius Wijayarta menyayangkan kelalaian ini. Padahal, sejaharusnya limbah medis diatur dengan baik oleh pihak rumah sakit agar tidak berdampak negatif bagi masyarakat. ”Selain agar tidak disalahgunakan, tentu agar limbah tidak mencemari lingkungan juga. Karenanya, ada uji coba juga untuk penanganan ini,” ungkapnya.
Pelemparan tanggung jawab pada pihak ketiga pun menjadi catatan. Menurut dia, pihak rumah sakit tetap harus menjamin limbah tidak disalahgunakan dan ditangani dengan baik.
Marius pun mempertanyakan kinerja badan akreditasi rumah sakit dalam proses penilaian. Karena, masalah penanganan limbah medis ini sejatinya harus masuk dalam kriteria kredibilitas rumah sakit. ”Jangan asal kasih bintang lima. Lalu, penilaian selama tiga hari saja. Apa yang bisa dikerjakan dalam waktu singkat begitu,” keluhnya. (idr/mia/sof)