eQuator.co.id – Pontianak-RK. Undang-Undang Informasi Teknologi Elektronik (UU ITE) yang disahkan pemerintah pusat sangat subjektif. UU tersebut tidak memiliki parameter yang jelas bagi para pelanggar.
“Artinya, siapa yang ingin dijadikan tersangka, itu akan sangat mudah tergantung dari penyidiknya. Karena parameternya sangat subjektif dan tidak ada batasan konkret,” kata Anggota DPRD Kota Pontianak, Herman Hofi Munawar, Senin (5/12).
Parameter yang dimaksud Legialator Partai Persatuan Pembangunan (PPP) ini, pemerintah tidak menerangkan batasan pasti. Mana yang masuk kategori pencemaran nama baik, penistaan dan lainnya.
“Saat ini kita lihat bahwa Undang-Undang ini tidak punya rambu jelas. Sehingga sangat mudah sekali Undang-Undang ini jadi instrumen politik untuk menjatuhkan pihak tertentu, dengan mengatasnamakan UU ITE,” ujarnya.
Menurur dia, UU yang ditelorkan seharusnya memiliki semangat objektivitas yang berkeadilan. UU harus dirumuskan secara jelas dan gamblang, sehingga semua pihak mampu menjalankan aturan.
“Ada rambu-rambu konkret yang membuat semuanya mudah dipahami,” pungkasnya.
Ketidakjelasan UU ITE yang dikeluarkan menurut dia merupakam cermin dari suatu kemunduran hukum. Solusinya, suka tak suka UU ITE harus direvisi, tentunya dengan memuat secara utuh sisi aturan dan hukumannya.
“UU ITE memang perlu ada, namun harus dengan batasan jelas,” tegasnya.
UU ITE sebagai koridor dalam berselancar di dunia maya. Kalau tidak aturan, orang akan seenaknya untuk bisa menjatuhkan orang. Tetapi pengaturannya juga harus konret.
“Definisi per-pasal seperti apa, jangan sampai itu semua hanya interpretasi dari penyidik itu sendiri,” jelasnya.
Dia menyontohkan kasus “Koin untuk Prita” yang dijerat lantaran hanya curhat tentang pelayanan rumah sakit. Atau kasus seorang mahasiswa yang dipolisikan dosennya karena membikin status di media sosial. Padahal mahasiswa itu tidak menyebutkan nama dosen bersangkutan.
“Seperti ini bukti ketidakjelasan UU tersebut. Kita berharap penyidik bisa lebih objektif, memang dia tidak menyebutkan orang secara eksplisit, tapi ada yang tersinggung,” ungkapnya.
“Atau misalnya di film-film dan acara sebagainya, bisa saja semua merasa tersinggung. Padahal tidak seperti itu. Karenanya kita harap pihak penyidik bisa bijaksana menyikapi ini, semua laporan itu, lalu dijadikan tersangka, jadi suatu kemunduran yang luar biasa,” timpal Heman.
Selain itu yang tak kalah penting pula, Heman mengharapkan dengan adanya UU ITE ini tidak justru berakibat mematikan kreativitas masyarakat. Karena hal itu bisa berdampak pada hal-hal yang sifatnya tidak produktif.
“Batasan dan hukum yang dihasilkan tidak mematikan kreativitas dan menimbulkan rasa ketakutan di masyarakat dan tidak dijadikan instrumen politik,” demikian Herman. (fik)