eQuator.co.id – Perang Syria berdampak luar biasa pada Turki. Bukan hanya karena luapan pengungsi saja. Tapi juga kebencian yang dirasakan penduduk di Ankara akibat kekejian di negara tetangganya tersebut. Senin (19/12), petugas kepolisian yang sedang tidak bertugas menembak mati Duta Besar Rusia untuk Turki , Andrey Karlov.
Saat itu, Karlov tengah menjadi salah satu pembicara dalam acara pameran foto-foto Rusia di gedung Exhibition Center, Ankara. Pelaku yang bernama Mevlut Mert Altintas tersebut bekerja sebagai petugas polisi antihuru-hara selama 2,5 tahun.
”Jangan lupakan Aleppo, jangan lupakan Syria. Kalian tidak akan bisa merasa aman selama distrik-distrik kami tidak aman. Hanya kematian yang bisa membawa saya dari sini,” ujar polisi yang berusia 22 tahun tersebut setelah menembak Karlov.
Rusia dan Turki memang berpijak pada sisi yang berseberangan soal perang Syria. Rusia membantu Presiden Syria Bashar al-Assad sedangkan Turki berada di sisi pemberontak. Menteri luar negeri Turki, Rusia, dan Iran, bertemu kemarin untuk membahas jalan keluar konflik Syria.
”Kami adalah orang-orang yang bersumpah setia pada Muhammad untuk berjihad,” tambah Altintas. Itu adalah kalimat yang biasa dipakai oleh kelompok Al Qaeda di Syria.
Altintas tampaknya sudah merencanakan dengan baik tindakannya. Berdasarkan penyelidikan awal, diketahui jika dia menginap di hotel yang jaraknya dekat dengan lokasi kejadian. Di hotel itu pulalah polisi yang lahir di kota Soke, Provinsi Aydin, Turki tersebut bercukur serta berganti baju dengan setelan jas hitam serta dasi. Pada saat memasuki lokasi kejadian, metal detektor sempat berbunyi sebab Altintas membawa senjata. Namun setelah dia menunjukkan kartu tanda anggota kepolisian miliknya, Altintas diperbolehkan masuk.
Setelah memasuki ruangan, Altintas dengan mudah membaur bersama para tamu undangan. Begitu Karlov naik ke atas podium untuk memberikan sambutan, Altintas bersiap. Dia menuju belakang podium dan akhirnya menembak dubes yang berusia 62 tahun tersebut dari belakang. Saat itu Karlov tampaknya masih hidup. Tapi Altintas melarang siapapun mendekat untuk memberikan pertolongan pada Karlov.
Orang-orang langsung panik berlarian. Baku tembak antara Altintas dan pasukan khusus terjadi selama 15 menit. Peluru akhirnya berhasil disarangkan di tubuh Altintas dan merenggut nyawanya. Altintas tampaknya ingin agar pesannya tersampaikan secara masif. Sebab dia tahu di lokasi kejadian banyak wartawan.
Pihak kepolisian Turki, kemarin (20/12), akhirnya menahan 6 orang yang diduga terlibat dalam serangan tersebut. Yaitu ayah, ibu, saudara perempuan, dua saudara jauhnya serta teman sekamar Altintas. Sejauh ini, belum ada pihak yang mengaku menjadi dalang di balik serangan yang dilakukan oleh Altintas. Namun, Walikota Ankara Melih Gokcek dan juga pemerintah Turki menuding kelompok Fethullah Gulen merupakan pihak yang bertanggung jawab.
”Serangan atas persahabatan yang dilakukan oleh FETO,” ujar Gokcek. FETO adalah sebutan untuk kelompok Gulen. Penyelidik juga tengah menginvestigasi kemungkinan keterlibatan FETO dalam serangan ini. Gulen tentu saja menampik tudingan tersebut.
Sementara itu, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan mengungkapkan jika dia telah berbicara dengan Presiden Rusia Vladimir Putin via telepon Senin lalu. Keduanya sepakat untuk menguatkan kerjasama dalam memerangi terorisme. Pihak Rusia juga menuding jika aksi ini sengaja dilakukan untuk merusak hubungan kedua negara yang baru saja membaik.
”Ini adalah tragedi yang buruk, tapi hubungan kedua negara secara keseluruhan tidak akan memburuk karena hal tersebut,” ujar Ketua Komite Hubungan Luar Negeri Parlemen Rusia Leonid Slutsky. Di lain pihak, Perdana Menteri Turki Mevlut Cavusoglu mengungkapkan sebagai penghormatan maka jalan di depan Kedutaan Besar Rusia akan dinamai dengan nama Andrey Karlov.
Memang, Vladimir Putin mengutuk aksi tersebut. Disebutnya sebagai bentuk provokasi yang bertujuan merusak normalisasi hubungan Rusia-Turki. ”Aksi itu juga menggangu proses perdamaian di Syria,” katanya. (Jawa Pos/JPG)