eQuator.co.id – Maraknya perdagangan bebas satwa langka membuat stake holder flora fauna mengambil langkah tegas. Salah satunya, menetapkan hewan trenggiling sebagai satwa yang haram diperdagangkan. Keputusan itu disepakati dalam konferensi Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (Cites)di Johannesburg, Afrika Selatan, kemarin (3/11).
Keputusan tersebut merupakan tindaklanjut menurunnya spesies trenggiling di alam liar saat ini. Sebelumnya, hewan yang termasuk genus Manis tersebut berstatus Appendiks II atau masih bisa diperdagangkan dengan syarat. “Trenggiling bersama 7 spesies genus Manis semuanya masuk Appendiks I (tidak diperdagangkan secara bebas, Red),” kata Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati Ditjen KSDAE KLHK Bambang Dahono Adji, kemarin.
Dia mengakui, sebelumnya Indonesia menjadi negara yang menolak listing trenggiling kedalam Appendiks I. Menurutnya, pemerintah sejatinya bukan menolak upaya konservasi satwa tersebut. Pemerintah hanya menyampaikan perlunya peningkatan regulasi dan penegakkan hukum untuk mengatasi penurunan populasi trenggiling akibat perburuan dan perdagangan liar. “Peningkatan regulasi itu perlu dilakukan di tingkat nasional, di negara sumber, transit dan negara konsumen,” jelasnya.
Selama ini, lanjutnya, dalam konteks Cites regulasi Indonesia masuk kategori 1 atau mendukung seluruh persyaratan untuk mendukung implementasi Cites. Secara khusus, pemerintah juga telah menempatkan trenggiling sebagai satwa dilindungi. “Kami juga telah melakukan upaya-upaya penegakan hukum yang intensif,” dalihnya.
Selain penetapan status trenggiling, hasil konferensi Cites juga menetapkan posisi buaya muara di Malaysia turun dari Appendiks I ke II, kecuali wild harvest di Sarawak. Keputusan itu perlu diwaspadai. Sebab, dikhawatirkan penyelundupan buaya muara dari Kalimantan ke Malaysia semakin marak. Di Kalimantan, hewan tersebut berstatus Appendiks II.
Selain keputusan tersebut, negara-negara anggota Cites juga menetapkan biawak Kalimantan menjadi satwa Appendiks II seiring jumlahnya yang semakin memprihatinkan di alam liar. Bambang mengatakan, spesies itu sebenarnya telah dilindungi. Sehingga kewajiban selanjutnya adalah menyampaikan laporan upaya pengelolaan yang telah dilakukan melalui mekanisme Cites.
Ada pula perubahan status spesies Hiu dan Pari serta Mobula ray kedalam Appendix II. “Untuk keputusan itu (satwa laut, Red) KLHK sebagai MA Cites perlu menyiapkan instrumen Cites bekerjasama dengan KKP (kementerian kelautan dan perikanan),” terangnya. Cites juga menyepakati perpanjangan decision ikan napoleon. Keputusan itu membantu Indonesia dalam pengelolaan ikan tersebut. (tyo)