Tidak Layak Jadi Ruang Cerdaskan Anak Bangsa

Sebagian Potret Bangunan Sekolah Dasar di Kalbar

MEMPRIHATINKAN. Beginilah kondisi SDN 45 Tatai yang sangat memprihatinkan di Desa Tanjung Sari, Ketungau Tengah, Sintang. Komunitas Mari Melihat for RK

eQuator.co.id – Kalbar – Tak heran Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kalbar jauh tertinggal dari provinsi lain di Indonesia. Infrastruktur dasar pendidikannya saja banyak dalam kondisi memprihatinkan.

Memang benar, menuntut ilmu bisa dimana saja. Tapi kalau tidak dibarengi fasilitas memadai, tentu juga akan menjadi suatu hambatan dalam pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM). Misalnya bangunan SDN 45 Tatai di Desa Tanjung Sari Kecamatan Ketungau Tengah Kabupaten Sintang. Kondisinya sungguh memprihatinkan, bahkan tak layak disebut sekolah.

SDN 45 Tatai hanya berdindingkan papan, berlantai tanah dan beratap daun. Tragisnya lagi, murid akan tertimpa air andaikan hujan turun. Lantaran atap-atap bangunan banyak yang bocor.

Begitu juga dengan kondisi ruang belajar, sangat jauh dari kata layak. Meja dan kursi belajar dibuat seadanya dari kayu. Dengan tiang kayu bulat kemudian dipasang papan di atasnya. Kondisinya yang sudah berlangusung lama, sehingga banyak meja dan kursi tersebut rusak parah.

Papan tulis yang dipakai tiap hari juga tak jauh berbeda. white board-nya tampak usang dimakan usia. Dipaku di dinding depan ruang kelas, pinggir white board terlihat telah mengelupas.

Tentu kondisi ini sangat kontras sekali dengan bangunan sekolah-sekolah yang ada kota. Karena di kota ada yang bertingkat dua, berlantai porslen dan fasilitas-fasilitas lainnya sangat megah. Tentu gambaran itu melihatkan, bahwa belum adanya pemerataan pendidikan, meski sudah 73 tahun Indonesia merdeka.

Ketua Komunitas Mari Melihat, Syahrul Tri Ubargi mengatakan, pihaknya telah melakukan survei ke SDN 45 Tatai, Sabtu (12/1). Memang kondisi sekolah tersebut sangat memprihatinkan.

“Komunitas kita datang ke sana untuk survei, sekalian berencana akan melakukan bakti sosial di sekolah itu tanggal 21-24 Februari 2019,” terangnya, Senin (21/1).

Berdasarkan penyampaian pihak sekolah, bangunannya ada tiga lokal. Satu lokal yang dijadikan ruang guru kondisinya sudah disemen. Kemudian ada bantuan perpustakaan dari provinsi sebanyak dua lokal. “Tapi bantuan itu dimanfaatkan jadi ruang kelas juga, karena memang kekurangan ruangan,” jelasnya.

SDN 45 Tatai selama 9 tahun ini berstatus sebagai kelas jauh. Baru enam bulan terakhir diresmikan menjadi SD Negeri. Sekolah tersebut terdapat 65 murid, satu guru ASN dan lima honorer. Sedangkan kelasnya lengkap dari 1 hingga 6. “Sebagian besar warga dusun memang sekolah di sana. Hanya saja waktu hujan mereka tidak sekolah, disebabkan atapnya yang bocor,” terangnya.

Letak sekolah tersebut memang tidak jauh dari Dusun Tatai. Hanya 200 meter. Sedangkan dari pusat desa sekitar 1 jam. Meski dengan kondisi terbatas, sekolah tersebut memiliki keistimewaan tersendiri. “Jadi sekolah itu punya predikat green school atau sekolah berbasis  lingkungan,” jelasnya.

Untuk membantu sekolah tersebut, Komunitas Mari Melihat sudah mengumpulkan donasi. Dana yang terkumpul rencananya akan digunakan untuk renovasi sekolah. Salah satunya mengecor lantai bangunan sekolah serta memperbaiki atap yang  bocor. Pihaknya juga membuka pendaftaran menjadi relawan.

“Mudah-mudahan donasi terkumpul sesuai target. Karena kami juga berencana memperbaiki WC dan membantu peralatan sekolah,” harap Syahrul.

Saat dikonfirmasi, Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Sintang, Lindra Azmar mengaku sudah mengetahui kondisi SDN 45 Tatai tersebut. Dijelaskannya, sekolah itu dulunya dibangun secara swadaya oleh masyarakat. Agar anak-anak setempat tidak jauh untuk menempuh pendidikan. “Dulunya SD kelas jauh. Pertengahan tahun 2018 lalu diubah statusnya menjadi SDN atas permintaan masyarakat,” katanya, Senin (21/1).

Sekolah tersebut dijelaskannya ada satu lokal yang dibangun pemerintah. Lantaran sudah menjadi SDN, maka akan dimasukan dalam Rencana Kerja (Renja). Namun tahun 2019 belum dianggarkan untuk perbaikan atau bangun baru. Nanti akan diupayakan adalam APBD Perubahan.

“Tapi yang jelas, pembangunannya akan masuk dalam salah satu Renja, karena ini PR bagi kami. Saya juga sudah sampaikan ini dengan pak Bupati,” terangnya.

Apakah bisa mengunakan dana pemerintah pusat? Lindra mengatakan, untuk pembangunan baru tidak bisa menggunakan dana pusat. Misalnya Dana Alokasi Khusus (DAK), hanya diperbolehkan untuk rehab. “Untuk penambahan ruang kelas baru itu semuanya tergantung dengan APBD,” jelasnya.

Mengenai adanya kepedulian dari komunitas atau pihak lain, Lindra menyampaikan ucapan terima kasih. Mengingat tanggung jawab pendidikan lata dia, tidak terlepas dari peran banyak pihak.

Sementara itu, Ketua Komisi C DPRD Sintang, Herimaturida mengatakan, pihaknya telah mendorong pemerintah agar memproritaskan pembangunan SDN 45 Tatai. Bahkan pihaknya sudah terus-terusan menyampaikan agar dibangun sesuai standar yang layak. “Supaya proses belajar mengajar siswa lebih nyaman,” ujarnya.

Menurutnya, upaya memperbaiki sekolah rusak bisa menggunakan kebijakan pemerintah atau melalui jalur politik. Terutama melalui dewan yang ada di Dapil Ketungau. Dia harapkan sekolah yang kondisinya memprihatinkan ini menjadi lebih baik. “Atap daun minimal diganti seng, atau dinding papan menjadi semen,” harap Herimaturida.

Kondisi tak jauh berbeda dialami SDN 27 Desa Batu Buil Kecamatan Belimbing Kabupaten Melawi. Namun sekolah ini lebih baik dari SDN 45 Tatai. Karena lantai dan dindingnya papan. Namun atas sekolah banyak bocor.

Kepala SDN 27 Batu Buil, Joni menjelaskan, sekolah tersebut dibangun di lahan pribadinya seluas 2100 meter persegi. Tanpa ada ganti rugi dan sebagainya. Kemudian dinding papan dibangun pakai uang pribadinya. Ukurannya 15 x 7 ia buat 4 petak. Termasuk dengan kantornya.

“Kemudian satu lagi saya bangun 4 x 6, yang kini atapnya sudah bocor. Jumlah ruangan ruang yang saya bangun ada 5,” kata ungkapnya.

Dijelaskannya, selama ini proses belajar mengajar di SDN 27 Batu Buil berjalan lancar. Terdapat sekitar 80 murid. Terdiri dari kelas 1 sampai 6. Baru satu bangunan yang dibantu pemerintah. Ukuran 8 x 9 meter. “Jadi yang saya bangun itu digunakan anak kelas 1, 3, 4 dan 6. Anak kelas 2 dan 5 menggunakan bangunan yang dibangun pemerintah,” paparnya.

Joni mengatakan, pihaknya setiap tahun mengusulkan rehab bangunan menggunakan data Dapodik. Namun belum juga terealisasi. Padahal kondisi bangunan sekolah tersebut sudah sangat memprihatinkan. Lantai papan banyak jebol dan atap bocor. “Kami sudah mengusulkan menggunakan dapodik setiap tahun, tapi belum ada pembangunan,” ucap Joni.

Terpisah, Kepala Disdikbud Melawi, Joko Wahyono mengatakan, SDN 27 Batu Buil memang awal pendiriannya terdapat sedikit permasalahan. Selama ini atau sebelum berdiri SDN 27, anak-anak-anak di sekitar pabrik itu menempuh pendidikan di SDN Soyong. “Sehingga waktu itu ada desakan untuk mendirikan gedung sekolah,” jelasnya.

Pada waktu itu, pihaknya memang sangat selektif. Untuk dirikan SD harus memiliki lahan kosong minimal seluas 10000 meter persegi atau 1 hektare. Paling tidak ¾ hektare.

“Pada waktu itu yang diusulkan tanahnya sangat minim dan tidak memenuhi syarat, sehingga ada sedikit kendala sampai hari ini,” tuturnya.

Padahal pada waktu itu kata dia, masyarakat berjanji akan menghibahkan tanah yang ada di sekitar SDN SDN 27 Batu Buil.

Agar dapat dibangun sekolah sesuai standar dan kriterianya harus dipenuhi. “Tapi sampai dengan hari ini menurut kami lahan yang tersedia itu sangat minim dan sulit untuk dikembangkan,” jelasnya.

Kepada pihak perusahaan perkebunan atau masyarakat harus berupaya memperluas lahan untuk diserahkan kepada Disdikbud. Sehingga lahan sekolah tersebut dapat diurus menjadi milik Pemkab Melawi. Agar Disdikbud Melawi bisa mengembangkan sarana prasarana yang diperlukan SDN 27 Batu Buil.

Dalam perjalanan, kenyataannya input peserta didik baru juga minim. SDN di Soyong dan SD 27 Batu Buil memperoleh siswa sedikit. Jika dihitung, nilai standar kelayakan belum terpenuhi.

Tetapi pihaknya tetap berupaya sekolah-sekolah tersebut harus tetap hidup.

“Mari masyarakat sama-sama memahami ini. Paling penting adalah lahan untuk dikembangkannya sarana prasarana yang ada di sekolah SD itu,” pungkasnya.

Berbeda dengan Kepala SDN 27 Batu Buil, Joko menuturkan, murid di sekolah itu hanya sekitar 30 sampai 50 orang. Sementara standar SD, paling tidak 60 murid. Sedangkan SMP sekitar 80 siswa. Paling tidak lulusannya sekitar 10 sampai 20 murid per tahun.  “Tetapi ini kadang-kadang juga tidak memenuhi. Jadi kami harap bersaba,” sarannya.

Disdikbud utamakan yang lebih mendesak dan ruang kelas. Untuk renovasi, ia berharap bisa mengusulkan melalui Dapodik. “Dapodik yang ada dibenah,” serunya.

Bagaimana cara mengisi Dapodiknya? Anggaplah ruang kelas itu dalam keadaan kondisi rusak berat. Jadi diisi sekolah dengan sebenar-benarnya dan dilengkapi dengan foto-foto luar dan dalam gedung tersebut.

“Karena dana dari pusat sebagian besar yang melakukan itu dari data penerima dan itu akan dimunculkan oleh pihak pusat,” tutup Joko.

Kondisi sekolah memprihatinkan juga terjadi di SDN 16 Gun Jemak Kecamatan Entikong Kabupaten Sanggau. Namun tak menyurutkan semangat siswa SDN 16 Gun Jemak mengikuti proses belajar mengajar. Meskipun beberapa ruang kelas terlihat rusak, proses belajar mengajar tetap berjalan.

Kepala SDN 16 Gun Jemak, Supianus mengungkapkan, dari enam ruang kelas yang ada, dua dalam kondisi rusak parah. Satu ruangan, bahkan tidak bisa digunakan. Sehingga siswanya belajar di ruangan lain yang kondisinya juga rusak. “Dua lokal ini yang paling parah rusak lantai-lantainya juga sudah pecah-pecah, dinding jebol,” katanya.

Supianus mengatakan, pihak sekolah sudah menyampaikan secara langsung kondisi ruang kelas ini kepada Disdikbud Sanggau. Melalui penyampaian itu, dia berharap ruang kelas yang rusak segera diperbaiki. Agar proses belajar mengajar di SD pelosok perbatasan Indonesia-Malaysia itu berjalan lancar. “Sudah kita usulkan, dan kita tinggal menunggu sajalah bagaimana tanggapannya,” jelas Supianus.

Kepala Disdikbud Sanggau, Sudarsono menyampaikan perbaikan ruang kelas SDN 16 Gun Jemak dilakukan tahun ini. Meski begitu, dia tidak merinci waktu dimulainya perbaikan. Karena menunggu tindak lanjut dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud).

“Kita sudah dapat laporan dari pihak sekolah. Tapi untuk waktu pengerjaan belum tahu, kita tunggu dari kementerian (Kemendikbud), tapi dalam tahun ini,” ungkap Sudarsono.

 

Laporan: Saiful Fuat, Dedi Irawan, Kiram Akbar

Editor: Arman Hairiadi