Tersedia 160 Beasiswa Kedokteran ke China, Lho

Sekilas Beasiswa Jawa Pos dan Yayasan ITC (Bagian 2)

MELEPAS. Dahlan Iskan (kiri), berbincang dengan Yovita Mannuela (tengah), salah seorang pelajar penerima beasiswa ITC-Centre, saat acara pelepasan di Gedung Graha Pena Surabaya, Rabu 14 Oktober 2015. Dokumen JPG

Kebijakan yang dikhawatirkan sebagian besar masyarakat Indonesia, pasar bebas Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), sudah dimulai sejak kembang api pertama disulut di langit Indonesia pada malam pergantian tahun. Hampir seluruh sektor riil dalam kehidupan masyarakat kini tak luput dari persaingan antarnegara ASEAN ini.

Fikri Akbar, Pontianak

eQuator – Saat berkunjung ke Pontianak beberapa waktu lalu, tokoh nasional Indonesia, Dahlan Iskan menyebut, salah satu kunci melampaui tantangan MEA dengan memperkuat Sumber Daya Manusia (SDM) di berbagai sektor. Mantan CEO Jawa Pos Group itu tak hanya berkata. Dia telah berbuat.

Melalui Yayasan Indonesia Tionghoa Culture (ITC), Jawa Pos memfasilitasi 160 tamatan SMA untuk mendapatkan beasiswa kedokteran di dua universitas di China, yakni Changsha Medical University dan Hubei Polytechnic University. Selain itu, ada 20 tempat untuk calon mahasiswa yang minat dengan bidang ilmu lainnya.

“Masing-masing universitas ini merekrut sebanyak 80 tamatan SMA di Indonesia. Dengan adanya kerja sama ini, China bersedia memberikan sekolah bersubsidi bagi anak-anak Indonesia yang mau kuliah kedokteran di sana,” tutur Koordinator Internasional ITC, Andre Soe, ditemui di sela-sela pameran expo pendidikan di gedung lantai tiga SMA Gembala Baik, Jalan Ahmad Yani Pontianak, Kamis (7/1).

Dengan adanya subsidi itu, menurut dia, biaya yang dikeluarkan untuk belajar ke luar negeri hingga selesai pun relatif murah: seputaran Rp200 juta. Cost tersebut termasuk biaya kuliah dengan segala tetek-bengeknya, biaya penginapan, dari awal sampai kuliah selesai enam tahun.

“Bayangkan betapa murahnya,” tutur Andre.

Ia memberikan perbandingan. Untuk masuk fakultas kedokteran swasta di Indonesia, biaya masuknya saja sudah sekitar Rp200 juta. Itu tidak termasuk uang semester, uang praktik, penginapan, dan lain-lain.

Nah, di dua universitas terbaik China yang punya program bantuan biaya belajar tersebut, dengan Rp200 juta sudah mendapat dua gelar kesarjanaan sekaligus. Di belakang nama masing-masing lulusan sudah ada titel Bachelor of Medicine atau sarjana dokter umum dan Bachelor of Surgery atau sarjana dokter bedah. Gelar itu diakui Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

“Rincian biaya kuliah enam tahun seperti ini, pada tahun pertama uang kuliah dibayar sebesar Rp61 juta. Kemudian tahun kedua Rp28 juta, tahun ketiga, keempat, kelima, dan keenam sama Rp28 juta. Sudah selesai dokter,” beber Andre.

Selain dua gelar kesarjanaan yang diakui WHO, ia menyatakan, penguasaan dua bahasa asing, Mandarin dan Inggris, merupakan keuntungan lain yang didapat anak-anak Indonesia yang ikut program beasiswa ini. Tentu, kemampuan itu berguna untuk bersaing di level global.

“Menghadapi MEA ini, kita punya pilihan belajar di luar negeri untuk bersaing dengan dokter-dokter yang akan masuk ke Indonesia dari berbagai negara. Dengan ijazah yang diakui oleh organisasi kesehatan dunia plus mampu meguasai tiga bahasa, termasuk Indonesia, jelas siap bekerja di negara mana saja,” paparnya.

Tak berani melanjutkan studi ke luar negeri karena terkendala bahasa? Jangan khawatir. Sebelum berangkat ke China, calon mahasiswa akan dikirim ke Surabaya untuk menjalani pelatihan Bahasa Inggris dan Mandarin selama 3-4 bulan di Gedung Graha Pena lantai 14, Jalan Ahmad Yani.

“Jadi digodok dulu di sana. Ya minimal dasar-dasarnya sudah mereka kuasai,” terang Andre.

Selain itu, tambah dia, khusus bagi masyarakat muslim tak perlu ragu. Kelayakan dan kualitas konsumsi makanan dijamin halal, tempat ibadah yang layak pun ada. Karena, kata Andre, masyarakat setempat sangat menghargai perbedaan kultur dan agama.

“Di China sendiri orang Islam begitu banyak, kenapa harus takut? Seribu tahun lalu Islam sudah ada di sana. Dan, Mas lihat ini, orang-orang (dalam foto brosur yang diperlihatkan kepada wartawan,red) yang belajar ke sana ada nggak yang matanya sipit? Parasnya orang timur tengah semua ini, dari Indonesia, Turki, India, dan Arab,” tukas pria dengan pengalaman 16 tahun tinggal di China ini, sejak SMA hingga S2.

Soal penginapan pun tak perlu takut. Asrama berada di dalam komplek kampus. “Tidak ada yang tinggal di luar seperti universitas di negara-negara lain. Universitas menjamin keamanan dan kenyamanan mahasiswa dari luar negeri,” ucap Andre.

Yang menarik, kesempatan langka menuntut ilmu di luar negeri ini tidak dibebani persyaratan khusus. “Intinya kita sediakan 160 kuota se-Indonesia. Kita tidak ada target berapa kuota masing-masing daerah, pokoknya siapa cepat dia dapat,” tutupnya. (*/selesai)