Temukan Anak 14 Tahun Dipekerjakan di Malaysia

TKI Ilegal Jauh Lebih Banyak

RAKOR. Wakil Gubernur Christiandy Sanjaya berfoto bersama dengan pegawai KJRI Kuching—Sarawak. HUMAS PROV FOR RK

 

eQuator.co.id – Kuching-RK. Tenaga Kerja Indonesia (TKI) ilegal masih menjadi topik utama rapat antarnegara Indonesia-Malaysia. Parahnya lagi, lebih banyak pendatang ilegal yang bekerja di negeri jiran.

Perwakilan Konsul Jenderal RI di Kuching, Sarawak Muhammad Abdullah mengatakan, berbagai masalah dihadapi TKI di wilayah kerjanya (Kuching, Miri dan Sibu). Berdasarkan data resmi kantor Tenaga Kerja Sarawak, ada 160 ribu TKI legal. Sementara yang bekerja di sana diperkirakan kurang lebih 400 ribu (legal dan ilegal).

“Pemerintah Sarawak melarang TKI membawa anak. Faktanya banyak yang membawa anak,” kata Abdullah saat Rapat Koordinasi (Rakor) Tenaga Kerja Indonesia Barmasalah (TKIB) Pemprov Kalbar bersama KJRI Kuching—Sarawak belum lama ini.

Abdullah mengaku, kurang lebih 200 TKI meninggal yang diurus oleh Konsulat Jenderal Rl setiap tahunnya. Job order yang ada di Sarawak hanya dua jenis pekerjaan, perkebunan sawit dan pabrik atau kilang. Sementara TKI berkasus dengan ancaman hukuman berat, Konsulat Jenderal RI Kuching bekerjasama dengan lawyer handal untuk membelanya. “Adakalanya beda pekerjaan yang dijanjikan dengan kenyataannya,” ujar Abdullah.

Diakuinya, saat ini peluang kerja lebih terbuka. Perusahaan di Malaysia lebih mau menerima TKI. Tentunya skill yang diutamakan. TKI yang berangkat dan berkerja secara legal atau sudah ada job ordernya, jaminan dan perlindungannya sudah sangat baik dan terjaga.

“Harapan KJRI, seharusnya jika sudah ada kontrak barulah TKI ini berangkat. TKI yang dideportasi, diancam blacklist selama dua hingga lima tahun. Kecuali ada keluarga istri/suami yang tinggal di Sarawak,” jelas Abdullah.

Wakil Gubernur (Wagub) Drs. Christiandy Sanjaya, SE, MM tidak memungkiri terbatasnya lapangan pekerjaan di Kalbar. Inilah yang menjadi dasar dari image masyarakat untuk bekerja di luar negeri agar mendapatkan gaji yang lebih besar. “Selain itu, berbagai lapangan kerja yang menjanjikan, keberangkatan juga dipermudah dengan akses memadai, karena Kuching jaraknya dekat dengan Kalbar,” ujar Christiandy.

Maraknya WNI menjadi TKI didukung teritorial Kalbar yang berbatasan langsung dengan negara tetangga. Apalagi adanya Pos Lintas Batas Negara (PLBN) terutama Entikong, Aruk dan Badau. Kemudian banyaknya jalan setapak atau jalan tikus membuat lalulintas orang secara ilegal ke Kuching sangat mudah.

“Peluang kerja yang terbuka di negara tetangga sebagai suatu keuntungan. Tapi disisi lain juga merugikan, karena banyaknya TKI ilegal yang berangkat ke Kuching dan bukan hanya masyarakat Kalbar,” ungkap Christiandy.

Tahun 2016 sebanyak 2.476 TKI dideportasi dari Malaysia melalui PLBN Entikong, Sanggau. Sebanyak 51 persen TKI yang dipulangkan bukan penduduk Kalbar. Hingga Juli 2017 sudah 1.704 TKI yang dideportasi. “Data tersebut menunjukkan masih banyaknya permasalahan yang dialami TKI, baik legal terlebih lagi ilegal di Sarawak,” jelasnya.

Menyikapi maraknya TKI ilegal, Pemprov Kalbar telah membentuk Lembaga Pelayanan Terpadu Satu Atap Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (LPTSA-PZTKI) yang berkedudukan di Entikong. Lembaga ini mengintegrasi pelayanan kepada calon TKI agar lebih mudah. Kemudian Tim TKI Bermasalah yang dibentuk melalui Surat Keputusan (SK) Gubernur Kalbar Nomor 212/Disnakertrans/2016 pada 7 April 2016 tentang Satuan Tugas Penanganan dan Pemulangan Tenaga Kerja Indonesia Bermasalah di Lokasi Debarkasi dan Embarkasi Entikong Provinsi Kalimantan Barat. Terdiri dari lintas instansi/sektor akan lebih diefektitkan lagi tugas-tugasnya.

“Rencananya akan membuka desk di Bandara Supadio Pontianak agar lebih intensif memantau TKI ilegal dari luar Kalbar,” papar Wagub.

Langkah selanjutnya, memperbanyak sosialisasi kepada masyarakat. Jika akan bekerja di luar negeri harus dengan syarat yang lengkap. “Kami juga meminta agar pemerintah membebaskan biaya-biaya pengurusan kelengkapan administrasi TKI yang akan ke luar negeri,” pinta Christiandy.

Dikatakan dia, penanganan deportasi dari Kuching sudah sangat baik, karena melalui dana dekonsentrasi. Pemprov juga sudah menyiapkan shelter, permakanan hingga biaya pemulangan ke daerah asal.

“ULKl Entikong juga dipersiapkan untuk melakukan pelatihan-pelatihan bagi TKI yang dideportasi. Agar mereka memiliki keterampilan untuk berwirausaha, tetapi pesertanya sangat sedikit,” tuturnya.

Rangkaian Rakor dengan KJRl Kuching, Christiandy juga meninjau shelter KJRI dan menemui lima TKl ilegal dari Kalbar. Mereka menunggu kasusnya diproses, selanjutnya dipulangkan ke daerahnya. Kasus yang dialami terkait tindak pidana perdagangan orang (trafficking).

“Ada pula anak di bawah umur, masih 16 tahun. Padahal dia sudah 14 bulan kerja di Kuching. Berarti waktu perekrutan usianya baru 14 tahun, asalnya dari Kota Singkawang,” jelas Christiandy.

Wagub mengatakan ada seorang TKI dari Mempawah yang bermasalah. Dia berkelahi bahkan sudah membahayakan dirinya sehingga lari dari tempat kerja. Sementara dari Kota Pontianak, seorang wanita dipekerjakan tidak sesuai dengan janji. Dari Sambas, TKI korban trafficking yang juga kehilangan kontak dengan anaknya (perempuan) yang sama-sama berangkat ke Malaysia.

Perlakuan positif dari pemerintah Malaysia, diperbolehkan anak-anak Indonesia berusia tujuh hingga 12 tahun setingkat Sekolah Dasar (SD) untuk bersekolah. Hanya saja di ladang atau perkebunan sawit dengan guru khusus dari Indonesia. Bahkan ada anak yang memiliki prestasi sangat cemerlang, juara kompetisi matematika.

“Community Learning Center (CLC) sangat berperan dalam hal ini, karena dulunya anak-anak sekolah itu ilegal. Ke depan, tentu perlu dipikirkan bagaimana setara SD apakah memungkinkan dibangun sekolah khusus di perbatasan untuk menampung mereka. Untuk sekolah lanjutan tentu perlu pemikiran pemerintah pusat,” tegas Christiandy.

Laporan: Rizka Nanda

Editor: Hamka Saptono