Nenek moyang keturunan Tionghoa Hakka maupun Teochew yang sudah hijrah ke Kalimantan sejak ratusan tahun silam, mengolah makanan pokoknya berupa beras menjadi berbagai penganan. Dan beras pun bersumber dari tanah pertanian atau ladang keluarga maupun kolektif. Produk olahan beras berusia ratusan tahun adalah mi putih yang akrab disebut mi tiaw.
Nova Sari, Singkawang
eQuator.co.id – Kalau mi instan dari gandum kini jadi makanan favorit orang Indonesia se Nusantara berupa mi instan pabrikan. Mie tiauw lebih kepada home industry yang melekat pada makanan masyarakat Kalbar. Kota Singkawang memproduksi mi putih untuk kebutuhan provinsi. Berbahan beras, produsen mi putih mengutamakan beras lokal.
Adalah Akiang, salah seorang produsen mi tiaw Kota Singkawang yang menggunakan bahan dasar beras lokal dari jenis berkualitas. Itu sebabnya produsen mi putih ini dilanggani agen dan konsumen 14 kabupaten se Kalbar.
“Untuk mi putih membutuhkan beras khusus agar hasilnya baik, tahan lama dan tidak lengket. Beras yang cocok di antaranya dari Kabupaten Sambas. Seperti jenis lingkak cundong dan lainnya,” ungkap Sakinah, pembuat mi produk Akiang, kemarin.
Tak heran kalau agen atau distributor mi putih langsung mengambil sendiri produksinya. Untuk itu produksinya mencapai 400 kg per hari. Pada momen tertentu bisa meningkat hampir dua kali lipat hingga 700 kg per hari.
Karena itu bahan baku beras dengan jenis tertentu dipasok dari Kabupaten Sambas, tetangga Kota Singkawang. Setidaknya tercatat 10 pelaku usaha pengolahan mi putih. Industri rumahan itu berdampak luas mulai dari hulu hingga ke hilir. Dari persawahan hingga ke usaha kuliner.
Tumbuhnya industri pengolahan mi juga membuka lapangan kerja sekitar 5 – 10 pekerja. Belum lagi distributor, agen, dan pengecer.
Akiang mengatakan mi tiaw produksinya tanpa bahan pengawet. Bahkan Akiang menjamin kalau saat ini mayoritas industri mi putih yang ada di Kota Singkawang sudah aman dikonsumsi dan terhindar dari pengawet yang tidak baik bagi kesehatan.
“Bahkan untuk ketahanan mi putih kita tiga hari. Mi yang diproduksi sesuai standar kesehatan tanpa pengawet. Untuk pasar saat ini tidak sulit dan lancar-lancar, saja,” katanya
Kepala Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Kalbar, Heronimus Hero, mengatakan produksi beras Kalbar surplus pada 2018 hingga 400 ribu ton dari satu juta ton lebih. Sedangkan kebutuhan hanya 600 ribu ton.
Kata Hero, surplus membutuhkan pasar yang luas selain memenuhi kebutuhan lokal juga untuk bahan baku industri seperti mi putih. Ia menjamin kalau di Kota Singkawang 10 pelaku industri mi dengan produksi minimal 400 kg per hari, berarti 4 ton mi yang dihasilkan. Atau 120 ton mi putih yang diproduksi sebulan.
“Artinya, penyerapan beras selama ini untuk mi yang sebagian tidak diketahui masyarakat umum. Itu menjadi peluang besar terutama bagi petani yang memproduksi beras yang dibutuhkan,” terangnya
Kata Hero, meski Kalbar sudah surplus, jejak pasar beras atau sirkulasinya sulit dilacak. Karena petani jual polos atau tanpa kemasan dengan merek dagang tertentu. Minimnya kemasan beras lokal mengakibatkan jejak beras produksi petani Kalbar di pasar hilang. Selama ini beras lokal hanya dikemas dengan karung polos tanpa merek.
Untuk memastikan penyerapan beras dan jejaknya di masyarakat, Komisi II DPRD Kalbar yang didampingi Kadistan TPH Kalbar serta Dinas Pertanian, Pangan dan Perikanan Singkawang melakukan kunjungan. Termasuk ke pelaku usaha mie putih. Sebanyak 15 anggota dewan Kalbar tersebut melihat langsung produksi mi putih sekaligus menggali informasi tentang bahan baku dan pasarnya.
Wakil Ketua DPRD Kalbar, Suriansyah mengaku baru tahu bahwa beras lokal sangat baik dan cocok untuk mi putih. Menurutnya perlu dimaksimalkan lagi beras lokal karena permintaan untuk industri pengolahan mie putih sangat besar.
“Kita lihat langsung seperti apa pengolahannya hingga produk mi putihnya. Kita baru tahu beras lokal kita sangat cocok untuk industri mi. Pasarnya luas dan ini menjadi perhatian,” kata dia.
Ketua Komisi II DPRD Kalbar, asal Dapil Sambas, Guntur, menyebutkan bahwa hasil pertanian Kabupaten Sambas 2018 sebanyak 270 ribu ton. Hanya 15 persen diolah jadi beras oleh petani. Sedangkan 85 persen dibawa ke Kota Singkawang untuk Bulog dan pabrik mi.
Menurutnya beras Sambas menjadi primadona di luar, tetapi tidak berimbas kepada kenaikan harga gabah petani. Lantaran tidak mempunyai merek, jadi bisa saja beras tersebut diolah di luar dan dikemas kemudian dijual kembali ke Sambas lagi.
“Saatnya mulai sekarang kita bicara kualitas. Kemudian dikemas di Sambas dan diberi merek dagang. Pasar beras kita luas terutama untuk industri mie dan lainnya. Namun soal harga belum signifikan. Terutama yang dirasakan petani. Itu harus menjadi perhatian,” tandasnya.
Editor: Mohamad iQbaL