Tangisan Anak Papua di Perantauan Korban SOP

Sidang Joke Bomb di PN Mempawah, Agenda Pledoi

SANTUN. Terdakwa FN mencium tangan majelis hakim usai sidang di PN Mempawah, belum lama ini--Ocsya Ade CP

eQuator.co.idMEMPAWAH-RK. Kuasa Hukum Frantinus Nirigi (FN) terdakwa dalam perkara candaan bom dalam pesawat Lion Air JT 687 menyampaikan nota pembelaan (pledoi) dalam sidang lanjutan yang digelar di Pengadilan Negeri (PN) Mempawah, Senin (15/10) sore.

Pledoi setebal 40 halaman tersebut berjudul “Tangisan Seorang Anak Papua di Perantauan Korban SOP (Standar Operational Procedure) dan P21 dari Pramugari Cindy Veronika Muaya”. Pledoi dibacakan oleh tiga kuasa hukum yang hadir, yaitu Andel, Aloysius Renwarin dan Dominikus Arif.

Pada sidang sebelumnya, Kamis (4/10), Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejari Mempawah mengajukan tuntutan 8 bulan penjara terhadap terdakwa FN. Dalam tuntutannya, Jaksa menyebutkan bahwa dakwaan bersifat subsidair, yaitu menyampaikan informasi palsu yang membahayakan keselamatan penerbangan sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 437 Ayat 1 UU Rl No 1 tahun 2009 tentang Penerbangan.

Dalam kesimpulan pledoi yang dibacakan, kuasa hukum menyampaikan bahwa berdasarkan fakta hukum, terdakwa FN tidak terbukti melakukan perbuatan pidana menyampaikan informasi palsu yang membahayakan keselamatan penumpang, sebagaimana yang dimaksud dalam dakwaan JPU.

Ketentuan pasal 437 ayat 1 dan ayat 2 Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan yang didakwakan jaksa tidak sesuai. Karena tidak disertai dengan dua alat bukti yang sah menurut hukum.

Selain itu, kesaksian pramugari Cindy Veronika Muaya yang mendengar terdakwa mengucapkan perkataan ‘awas di dalam tas ada bom’ dalam ilmu hukum pembuktian pidana tidak mempunyai nilai kesaksian.

“Karena kesaksiannya didengar sendiri dan ia bersaksi sendiri serta dia bukan merupakan Unus Testis Nullus Testis (satu saksi bukanlah saksi) yang tidak mempunyai nilai kesaksian. Sehingga terdakwa harus dibebaskan dari dakwaan dan tuntutan pidana,” ujar Andel.

Kemudian, terkait pendapat JPU tentang hal-hal yang memberatkan terdakwa, yaitu bahwa perbuatan terdakwa meresahkan dan membuat panik penumpang pesawat, membuat PT Lion Air mengalami kerugian, terdakwa tidak mengakui perbuatannya, harus dikesampingkan.

Karena terdakwa tidak pernah meresahkan masyarakat, membuat para penumpang panik, menimbulkan kerugian terhadap perusahaan berlambang singa merah itu.

“Justru yang meresahkan dan membuat penumpang panik serta mengakibatkan kerugian perusahan Lion Air adalah sebagai akibat dari kesalahan pramugari yang tidak cermat serta telah salah mendengarkan perkataan ‘awas di dalam tas ada tiga Iaptop bu’ yang diucapkan terdakwa dengan gaya dan logat bahasa Lapua,” papar Andel.

Sehingga, sambungnya, pramugari melakukan penurunan penumpang tidak sesuai prosedur. Yakni melanggar SOP sebagaimana pengakuan dalam tuntutan pidana JPU.

Kemudian terkait yang terdakwa tidak mengakui perbuatanya, hal ini adalah sangat patut menurut hukum. Karena secara nyata terdakwa tidak pernah mengucapkan perkataan ‘awas di dalam tas ada bom’ dalam pesawat tujuan Pontianak-Jakarta itu.

“Faktanya dalam tas memang terdapat tiga buah Iaptop, sehingga terdakwa harus dibebaskan dari dakwaan dan tuntutan pidana,” tegasnya.

Ditemui usai sidang, Aloysius Renwarin berharap hakim bisa memberikan keputusan yang maksimal. “Sehingga pengadilan bisa adil dalam memberikan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia, termasuk Frantinus Nirigi,” katanya.

JPU Kejari Mempawah, Erik Cahyo mengatakan, pada intinya pihaknya sudah mendengarkan pledoi dari kuasa hukum terdakwa. Pihaknya juga mengaku sudah mempersiapkan tanggapan (Replik) dalam sidang yang akan diselenggarakan pada Selasa (16/10).

“Kita sudah siapkan tanggapan dari pledoi tersebut yang akan disampaikan dalam sidang berikutnya,” ujar Cahyo.

Pihak yang diberi kuasa oleh keluarga untuk mendampingi FN, Bruder Stephanus Paiman dari Forum Relawan Kemanusiaan Pontianak dan JPIC Kapusin mengungkapkan, pledoi yang disampaikan oleh para pengacara terdakwa sudah berkesesuaian dengan fakta yang terjadi.

“Artinya bukti dan saksi serta keterangan para saksi ahli sudah berkesesuaian menerangkan bahwa tuntutan jaksa tidak cukup kuat,” ujar Bruder Stephanus.

“Artinya tak mendasar, maka kita minta hakim untuk memutus perkara ini dengan bijak dan adil,” harapnya. (oxa)