Fran Bebas dan Tak Menaruh Dendam

Terpidana Candaan Bom dalam Pesawat Lion Air JT 687

HARU. Fran mengelap airmatanya saat bercerita tentang kehidupan di rutansaat ditemui di kantor kuasa hukumnya di Jalan Trunojoyo, Pontianak Selatan, Minggu (4/11)—Ocsya Ade CP

eQuator.co.id – Pontianak-RK. Terpidana kasus candaan bom dalam pesawat Lion Air JT 687, Frantinus Nirigi akhirnya bebas menghirup udara segar. Pemuda 29 tahun asal Papua itu Minggu (4/11) pagi, beru keluar dari Rutan Klas IIB Mempawah. Setelah menjalani masa hukuman selama 5 bulan 10 hari yang dijatuhkan Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Mempawah.

Masa hukuman itu dijalani Fran, sapaan akrabnya, dipotong masa tahanan sejak dia ditahan dalam peristiwa yang terjadi di Bandara Internasional Supadio Kubu Raya pada 28 Mei 2018 yang lalu.

Alumni Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Universitas Tanjungpura (Untan) ini divonis bersalah oleh majelis hakim dan terbukti melakukan tindak pidana menyampaikan informasi palsu yang membahayakan keselamatan penerbangan sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 437 Ayat 1 UU Rl No 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan. Sidang putusan atau ke-17 itu digelar pada 24 Oktober lalu.

“Khusus perasaan saya, ini diantara percaya atau tidak. Tetapi saya bersyukur bisa bebas seperti ini. Ini berkat Tuhan. Tak lepas bantuan dari tim pengacara yang sudah berjuang membantu saya sampai saat ini. Saya disini bisa merasa menghirup udara segar seperti teman-teman lain. Saya bahagia,” ucap Fran saat ditemui di kantor kuasa hukumnya, Minngu siang.

Kepulangan Fran, dijemput oleh pihak keluarga beserta kuasa hukumnya. Dari Rutan Mempawah, dia dibawa menuju Pontianak, sebelum terbang ke Papua. Sebelumnya, usai sidang putusan, pihak Fran mantap mengajukan banding atas putusan majelis hakim. Memori banding tersebut langsung diajukan saat itu juga. Namun, sepekan setelah mengajukan banding, pihak Fran akhirnya membatalkan pengajuan banding tersebut. Pembatalan banding tersebut lantaran hasrat Fran untuk pulang kampung untuk menemui keluarganya sudah tak terbendungi lagi. Betapa tidak, sejak awal kuliah, atau kurang lebih Sembilan tahun, ia tak berjumpa dengan keluarganya.

“Karena sudah menjalani semuanya di dalam tahanan dan dinyatakan bebas, setelah ini saya akan pulang ke Papua. Saya hanya ingin pulang menjumpai keluarga saya dan mereka juga menanti saya di Papua sana,” ujarnya.

Meski dihukum, Fran mengaku tak menaruh dendam kepada pihak manapun yang menjebloskannya ke penjara. Termasuk tidak dendam kepada hakim, pihak Lion Air atau pihak lainnya.

“Saya tidak berhak dan tidak ada rasa untuk dendam kepada mereka (Lion Air). Meski gara-gara mereka saya menjadi tumbal dan menjalani hukuman seperti ini. Biarkan yang lain-lain, yang menghakimi dan menghukum saya, biarkan Tuhan yang membalasnya. Karena saya percaya karma, dan karma akan menghampiri mereka satu persatu,” tegas Frans.

“Saya hanya ingin pulang menjumpai keluarga saya di sana. Karena sudah lama, kami tidak pernah berjumpa lagi. Mereka juga menanti saya di sana. Dan, saya harus ketemu mereka di sana,” sambungnya sambil mengusap air mata.

Fran juga mengaku banyak pengalaman hidup yang dipetik selama hidup di Rutan. Banyak pula yang tak bisa dilupakannya. “Kami di sana bisa berbuat. Saling berbagi dan mengajarkan soal hidup. Bahkan, disaat ada yang tidak dibesuk, nasi satu bungkus bisa dimakan sepuluh orang. Itu kenangan terbaik. Kebersamaan yang belum saya dapatkan sebelumnya,” papar Fran.

Karena sifat setia kawan dan banyak hal baik yang diberikan, membuat Fran dihormati dan disegani para warga binaan lain di Rutan Mempawah. Bahkan, bertepatan dengan hari pembebasan Fran, semua warga binaan harusnya mengangkut air. Namun, tahun karena Fran akan meninggalkan Rutan Mempawah untuk selamanya, semua warga binaan berbaris menyalami, memeluki dan mengucapkan selamat jalan kepada Fran sambil menangis.

“Saya berpesan kepada teman-teman disana untuk tetap tegar menjalani hukuman. Ini cobaan yang harus mereka hadapi. Semoga Tuhan memberikan kekuatan dan kesabaran bagi mereka. Saya sedih, karena saya juga merasakan apa yang dihadapi mereka di sana,” ucapnya.

Andel, Kuasa Hukum Fran dari Kantor Advokat dan Konsultan Hukum Andel & Associates Kalbar mengatakan, sesuai dengan putusan majelis hakim, Fran bebas tepat pada 4 November 2018. Proses banding yang sebelumnya diajukan juga sudah dicabut dan proses pengurusan administrasi juga sudah dilakukan.

“Setelah menjalani hukuman, memang rencananya akan banding. Namun, karena banyak pertimbangan dari keluarga, akhirnya pengajuan banding dicabut. Semua sudah kami urus. Makanya Fran kami jemput,” jelas Andel.

Andel menyatakan, dirinya bersama pihak keluarga dan rekan-rekan dari Papua berangkat menjemput Fran pada Minggu dini hari. Seharusnya, Fran sudah keluar dari rutan pada pukul 07.00 WIB. Namun, karena ada permintaan dari para penghuni rutan, baik warga binaan maupun petugas, ingin bertemu Fran sebelum berpisah, akhirnya Fran keluar sekitar pukul 08.30 WIB. Suasana haru pun menyelimuti para penghuni rutan saat melepas kepulangan Fran.

“Biasanya para warga binaan di rutan itu setiap pagi kan mengangkut air, tapi tadi pagi begitu tahu Fran mau pulang, mereka berkumpul semua di lapangan, menyalami Fran satu persatu. Bahkan ada mereka yang menangis dan berpeluk-pelukan. Ada 600-an orang di dalam itu berbaris untuk bersalaman,” ungkap Andel.

Abang iparnya, Diaz Gwijangge juga ikut menjemput Fran. Ia juga mengatakan pihak keluarga ingin Fran bisa segera pulang setelah menempuh studi selama hampir 9 tahun di Pontianak. Sejak menempuh studi itu, Fran juga tidak pernah sekalipun pulang ke kampung halamannya.

Orangtua Fran yang tinggal di Distrik Mugi, Kabupaten Nduga, (dua kali berganti pesawat menuju Jayapura) menginginkan Fran untuk segera pulang. “Selama menempuh studi, Fran juga sempat cuti selama dua tahun untuk bekerja di sini untuk membiayai kuliahnya. Makanya keluarga ingin dia segera pulang. Kami cabut banding itu karena tidak ingin membebani dan membuat masa penahanan bertambah panjang,” kisah Diaz.

Pihak keluarga mengaku heran dengan proses hukum. Sebab, menurut mereka, banyak peristiwa candaan bom yang terjadi, tetapi mengapa hanya Fran yang dihukum bahkan menjalani tahanan. “Banyak kasus candaan bom yang lain yang diucapkan secara terang-terangan, tapi tidak sampai diproses hukum. Tapi Frans, yang tidak mengucapkan bom malah dihukum. Ini kan diskriminasi namanya. Kami serahkan semua kepada Tuhan,” tegas Diaz.

Sementara itu, pihak yang diberi kuasa oleh keluarga untuk mendampingi kasus Fran dari Forum Relawan Kemanusiaan Pontianak dan JPIC Kapusin, Bruder Stephanus Paiman mengatakan, menghormati apapun keputusan Fran. Termasuk keinginan untuk tidak mengajukan banding. Sebab, ungkap Bruder Step, apabila melanjutkan proses banding, Frans juga tetap harus menjalani tahanan sampai prosesnya selesai.

“Kalau lanjut banding, Frans tetap harus jalani masa tahanan. Kita juga paham bahwa Frans sudah sangat rindu untuk pulang kampung,” katanya.

 

Laporan: Ocsya Ade CP

Editor: Arman Hairiadi