Banding Putusan Hakim Sangat Rasional

Marcelina Lim dan Rekan, Membantah Tuduhan Fran

DITAHAN. Frantinus Nirigi, dibawa ke Rutan Mempawah menggunakan mobil tahanan usai sidang putusan di PN Mempawah, Rabu (24/10)—Ocsya Ade CP

eQuator.co.id – Pontianak-RK. Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Mempawah menjatuhkan hukuman penjara selama 5 bulan 10 hari kepada Frantinus Nirigi, Rabu (24/10). Pria asal Papua yang akrab disapa Fran ini merupakan terdakwa candaan bom (joke bomb) dalam pesawat Lion Air JT 687 pada 28 Mei 2018.

Majelis Hakim mengganggap Fran telah memberikan informasi palsu yang membahayakan keselamatan penerbangan. Walau pun sebagaimana diketahui selama persidangan Fran membantah ada menyebutkan kata ‘bom’. Namun Majelis Hakim meyakini terdakwa ada menyebutkan ‘bom’ berdasarkan pengakuannya yang dimuat di salah satu media cetak Pontianak.

Dalam media tersebut, berita dimuat berjudul ‘Akui Sebut Bom’. Lampiran pemberitaan ini diajukan JPU menjadi salah satu barang bukti. Berdasarkan semua pertimbangan inilah, Majelis Hakim PN Mempawah menyimpulkan bahwa Fran terbukti menyebut ada ‘bom’.

Menanggapi itu, Akademisi Hukum Pidana Universitas Kapuas Sintang, FX Nikolas mengatakan, pernyataan Fran pada koran tidak bisa digunakan sebagai alat bukti yang sah. Karena bukan merupakan alat yang digunakan untuk melakukan informasi palsu. “Penyampaian atau pengakuan yang disampaikan di media harus diuji majelis hakim, karena pengakuan itu setelah terjadi suatu tindak pidana,” katanya dihubungi Rakyat Kalbar, Kamis (25/10).

Pembuktian material terhadap suatu tindak pidana selalu berkaitan dengan pasal 184 KUHAP. Diharapkan dengan 5 alat bukti dapat menentukan siapa pelaku tindak pidana. Dalam hal pembuktian hakim harus berperan aktif dalam mencari apakah benar terdakwa pelakunya.

“Hakim selalu berpedoman dengan BAP terdakwa, saksi-saksi serta alat-alat bukti yang diduga dipergunakan terdakwa. Akan tetapi hakim boleh berpendapat lain terhadap dakwaan yang diajukan penuntut umum, atau sebaliknya,” terangnya.

Nikolas juga mempertanyakan, bahwa selain keterangan saksi, alat bukti apa lagi yang bisa memberatkan terdakwa. Kalau terjadinya di dalam pesawat, maka apa alat-alat buktinya yang dapat disita. Untuk dijadikan sebagai alat bukti selain saksi-saksi yang melihat, mendengar dan merasakan.

“Apa alat alat bukti lainnya yang ada di pesawat? Secara kasat mata dapat dilihat hanyalah penumpang yang melihat, merasakan dan mendengar,” ujarnya.

Menurutnya, pengakuan Fran sendiri tidak cukup untuk membuktikan bahwa dia sebagai pelaku. Maka perlu ditambah minimal 2 alat bukti yang sah. Bukan barang bukti yang sah. Sehingga perlu dibedakan barang bukti dan alat bukti.

“Dalam hal pengakuan tidak semerta merta penyidik menetapkan dialah pelakunya. Semua itu harus dibuktikan di persidangan,” jelas Nikolas.

Sementara itu, Pengamat Hukum Universitas Tanjungpura (Untan) Pontianak, Hermansyah menilai, vonis yang dijatuhkan Mejelis Hakim Pengadilan Negeri Mempawah terhadap Frans yang berdasarkan kliping koran memang menarik untuk didiskusikan. Menurutnya, sebuah pernyataan yang tertuang di dalam koran belum tentu bisa dijadikan barang bukti. Kecuali, pihak yang menerbitkan pernyataan di koran tersebut telah memberikan kesaksiannya di persidangan.

“Sekarang, Jaksa dan Hakim mendengar tidak kesaksian apa yang disampaikan terdakwa sebagaimana yang dikutip dalam pemberitaan tersebut?” tanyanya.

Dijelaskan Hermansyah, yang ia pahami, barang bukti itu sejatinya harus dihadirkan dalam bentuk fisik. Kalau hanya berdasar kliping koran tentu dipertanyakan keabsahannya. Berbeda misalnya dalam penanganan kasus pencurian barang seperti kapal. Jika kasus seperti itu, barang bukti Kapal tersebut tidak mungkin dihadirkan di persidangan. “Dia cukup difoto. Tapi saat difoto fisiknya ada. Foto itu hanya untuk memperlihatkan barangnya ada,” paparnya kepada Rakyat Kalbar.

Oleh karenanya, jika pihak kuasa hukum mengajukan banding atas putusan hakim tersebut, tentu sangat rasional dan memungkinkan. Apalagi kuasa hukum menilai putusan tersebut menuai kejanggalan. “Pengajuan banding, itu hak mereka dalam rangka mencari keadilan untuk terdawa,” ucapnya.

Proses banding yang diajukan pengacara tentu untuk menguji kembali putusan hakim. Putusan hakim memvonis Fran 5 bulan 10 hari penjara, jika hanya berdasarkan keterangan koran tentu menjadi pertimbangan yang cukup kuat pengajuan banding akan dikabulkan. “Bisa. Silahkan saja melakukan upaya-upaya hukum,” tuntas Hermansyah.

Ketua Penghubung Kantor Komisi Yudisial Kalbar, Budi Darmawan mengatakan KY siap menanti kehadiran pihak Fran yang akan melaporkan hasil putusan hakim PN Mempawah. “Kalau pihak Frans Nigiri mau melapor ke KY kami tunggu, tapi harus sesuai dengan bukti,” katanya ketika dihubungi, Kamis (25/10).

Dia menuturkan, bukti yang dimaksud berbentuk pelanggaran etika. Ia mengaku jika persoalan vonis hakim yang diambil dari berita disalah satu media cetak bukan menjadi ranah KY.

“Karena itu masuk dalam teknis yudisial, bukan wewenang KY,” ujarnya.

Ditegaskannya, yang menjadi wewenang KY adalah pelanggaran etik. Misalnya dalam sidang ada bahasa yang tidak pantas atau perbuatan hakim yang tidak baik. “Itu wewenang kami. Itu yang akan kita proses,” katanya.

Ia menuturkan hingga saat ini pihak Fran belum bertandang ke KY. Menurutnya, dalam KUHAP salah satu media cetak tidak bisa dijadikan bukti utuh. Kendati begitu bisa dijadikan bukti permulaan. Sama nilainya dengan CCTV.

“Rekaman CCTV itu tidak boleh dijadikan bukti, permulaan boleh. Nah, soal pihak keluarga atau pihak pengacara yang mau ngelapor hakim ke saya, kami tunggu. Yang jelas nanti tentu yang harus disampaikan ke KY itu tentang pelanggaran etik yang dilakukan oleh hakim,” demikian Budi.

Diberitakan sebelumnya, Fran membantah pernyataannya yang diterbitkan salah satu koran. Dia menyebut ada bom di salah satu media cetak adalah pengakuan yang dipaksa oleh penasihat hukum sebelumnya. Yakni Marcelina Lim dan rekan. Begitu pula dengan video rekaman permintaan maaf yang tersebar dan pemberitaan yang dimuat di salah satu koran, itu bukan dari dirinya. Dia menjelakan hal itu dilakukan karena diiming-imingi akan bebas apabila mengaku dan meminta maaf melalui video tersebut.

Dikonfirmasi Rakyat Kalbar melalui pesan aplikasi WhatsApp, Marcelina Lim membantah pernyataan Frans tersebut.

“Setahu saya, saya tidak ada mengatakan demikian, saya perlu luruskan, saya tidak mengimingi-imingi Frantinus bebas,” ujarnya, Kamis (25/10)

Awalnya, Fran didampingi penasehat hukum Marcelina Lim dan rekan. Mereka dari firma hukum yang sama. “Kami dari firma hukum bukan personal. Kami tidak ada mengiming-imingi Franstinus bebas,” kata Marcelina

Ditambahkan Theo Kristoporus Kamayo, mereka mendampingi Fran yang saat itu tidak punya siapapun. Saat itu dirinya mendatangi dan menanyakan apakah sudah memiliki penasehat hukum atau belum. Fran menjawab belum. “Dan Fran bersedia  didampingi penasehat hukum,” ujar Theo kepada Rakyat Kalbar melalui pesan aplikasi WhatsApp.

Theo menuturkan saat menemui Fran di Polresta Pontianak pada 30 Mei lalu, menanyakan apakah memang menyebut bom dan merekamnya. Rekaman audio Theo rekam sendiri untuk analisis.

“Fran menjawab bahwa dia memang menyebut bom. Rekaman itu ada di kami,” tuturnya.

Sementara itu, untuk rekaman video, Theo menjelaskan setelah beberapa hari kejadian. Rekaman video itu juga atas kemauan Fran sendiri.

“Karena dia merasa sedih dan bersalah setelah melihat video (video yang viral) orang berhamburan keluar pesawat, serta mengalami luka-luka,” jelasnya.

Theo mengungkapkan, pihaknya gratis mendampingi Fran. Bahkan diberikan makan, uang dan rokok. Ketika keluarga Fran membawa pengacara sendiri, pihaknya juga tidak mempermasalahkan.”Karena niat kami dari awal memang menolong dia,” ucapnya.

Pihaknya tidak takut dilaporkan ke Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi). “Kami malah mau laporkan balik pengacara baru Fran merampas klien kami,” ancam Theo.

Kembali Theo mengingatkan, pihaknya masih menyimpan  rekaman audio Fran yang mengaku sendiri sebut ada bom. “Kita akan rilis di media nasional rekaman audio tersebut,” sebutnya.

Theo menyatakan silahkan menilai pengacara mana memaksa kliennya untuk tidak mengakui perbuatan yang memang benar dia lakukan. “Satu lagi apakah hakim hanya menilai semata-mata dari keterangan terdakwa, tentu tidak,” ujarnya.

“Jadi jangan mengkerdilkan kredibilitas hakim dan jaksa dalam kasus ini. Tentu fakta persidangan menjadi dasar terkuat keyakinan hakim dalam menjatuhkan putusan,” sambung Theo.

 

Laporan: Bangun Subekti, Abdul Halikurrahman, Rizka Nanda, Ambrosius Junius

Editor: Arman Hairiadi