eQuator.co.id – Mencuatnya pemberitaan di sejumlah media baru-baru ini yang menyebut kratom (purik) sebagai Narkotika jenis baru membuat heboh petani purik di Kapuas Hulu, mengingat daerah ini merupakan penyuplai purik terbesar di Kalbar. Kebun purik tersebar mulai dari Kecamatan Jongkong hingga Putussibau Selatan.
Untuk mencari hamparan kebun purik milik masyarakat tidak sulit, cukup menelusuri Sungai Kapuas dan anak sungainya. Tanaman ini hanya cocok di dataran rendah dan sering terkena banjir saat air sungai meluap.
Umur tanaman bernama latin Mitragyna Speciosa di kebun masyarakat rata-rata 1-5 tahun sebab purik mulai populer di Kapuas Hulu sejak harga karet anjlok lima tahun terakhir. Purik ibarat setitik embun di padang pasir, sebuah usaha yang memberikan harapan baru bagi masyarakat. Terutama yang tinggal di jalur Sungai Kapuas.
Ketika harga karet anjlok, aparat kepolisian yang menjalankan tugasnya juga memperketat usaha pertambangan emas sehingga masyarakat setempat seperti tikus mati di lumbung padi. Kini, sudah ratusan hektar kebun purik ditanam. Jika masuk dalam kelompok narkotika jenis baru, artinya ratusan hetar kebun purik milik masyarakat harus dimusnahkan.
Kepala Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kapuas Hulu, Abdurrasyid, angkat bicara. Ia mengatakan, petani purik butuh kepastian hukum. Semakin lama pemerintah pusat melalui instansi terkait menunda penetapan aturan, semakin banyak petani menjadi korban.
“Berdasarkan hasil uji laboratorium bersama BPPOM, kandungan sedatif cukup tinggi. Namun belum ada aturan yang mengatur tata niaga daun purik. Dan, masuk ke klasifikasi jenis apa oleh pemerintah di pusat? Kami mengklasifikasikan purik dalam hasil hutan bukan kayu (HHBK),” terangnya, Kamis (5/5).
Rasyid mengatakan, jika jual beli purik tidak dipermasalahkan, sebenarnya sangat sejalan dengan program pemerintah dalam konservasi. Jelas dia, tanaman itu cocok ditanam di tepi sungai untuk mengatasi abrasi.
“Selain itu, jika purik dikembangkan dan dilegalkan, bisa jadi sumber pendapatan asli daerah (PAD) Kapuas Hulu dan pemerintah bisa mendapatkan cukai cukup besar dari ekspor impor daun ini,” ungkapnya.
Senada, Wakil Bupati Kapuas Hulu Antonius L. Ain Pamero. Ia meminta pemerintah pusat segera melakukan penelitian terkait kandungan dalam purik itu sendiri. “Apakah boleh diperjualbelikan atau tidak? Jika lamban dikeluarkan regulasi terkait daun ini, maka semakin banyak masyarakat yang dirugikan. Kepastian hukum diharapkan masyarakat, karena sudah terlanjur menanam,” tuturnya.
Politisi PKPI ini berharap purik tidak dilarang. “Sangat cocok untuk mencegah abrasi sungai. Pohon ini cocok di dekat sungai yang dataran rendah,” jelasnya.
Demikian pula praktisi hukum Kapuas Hulu yang juga petani purik, Mohd. Syafi’i MR. Ia menyayangkan lambannya pemerintah memberi kepastian hukum terkait tata niaga daun purik yang sebagian besar diekspor ke luar negeri ini.
“Masyarakat sudah terlanjur menanam, bukan satu tahun-dua tahun. Ini sudah bertahun-tahun.Kenapa pemerintah biarkan petani merugi, sekarang dimana pemerintah,” sindirnya.
Ia juga mendesak pemerintah melalui instansi berwenang segera melakukan penelitian dan menetapkan kepastian hukum. “Kalau purik ini ditanam diam-diam, mungkin saya bisa maklum. Tapi ini sudah lama dan terbuka, Kenapa tak dari awal?” tutur Syafi’i. (*)
Andreas, Putussibau