eQuator.co.id – Percayakah Anda pada takdir? Seberapa yakin Anda pada takdir diri sendiri? LeBron James bisa jadi contoh. Bahkan sampai dijadikan studi kasus di Harvard Business School.
Ya, sekarang sedang ramai Piala Eropa. Tapi, tulisan ini tidak akan bicara soal sepak bola. Tulisan ini akan mengambil contoh dari olahraga lain: Basket. Tapi, Anda tidak perlu jadi penggemar basket, atau bahkan penggemar olahraga, untuk mungkin bisa belajar dari tulisan ini.
Tulisan ini akan bicara soal takdir seseorang, keyakinannya dalam menentukan masa depan sendiri, dan keberaniannya dalam membuat keputusan-keputusan bisnis hebat. Saking dahsyatnya sosok ini, keputusan-keputusannya sampai dijadikan bahan studi kasus MBA di Harvard Business School.
Orang itu adalah LeBron James, megastar NBA yang Minggu lalu (19/6) baru saja merebut gelar juara bersama Cleveland Cavaliers secara dramatis dan historis. Kemenangan itu menunjukkan bahwa sukses adalah takdir. Bahwa sukses menuntut keberanian.
LeBron James lahir dan besar di Akron, Negara Bagian Ohio, di dekat Cleveland. Jadi, Cavaliers adalah home team-nya. Kok ya jodoh, pada 2003, Cavaliers mendapat hak pilih pemain nomor satu, dan mereka langsung memanfaatkannya untuk memilih James.
Tak kunjung juara hingga 2010, James memilih hengkang dulu ke Miami Heat selama empat tahun. Warga Cleveland (dan Ohio) begitu marah. Mereka membakar jersey-nya, menghujatnya habis-habisan.
Empat tahun di Heat, James masuk final empat kali dan jadi juara dua kali. Misinya jadi juara telah selesai. Setelah itu, dia punya opsi untuk bergabung dengan tim hebat mana saja. Pilihannya? Kembali ke Cleveland, membangun lagi tim untuk memburu juara, menuntaskan unfinished business di sana.
Pada 2015, dia membawa Cavaliers masuk final, tapi gagal juara. Tahun ini, dia kembali membawa Cavaliers masuk final, dan nyaris gagal lagi. Dalam final berformat best-of-seven itu, Cavaliers kalah 1-3 pada empat game pertama. Dalam sejarah NBA, belum pernah ada tim yang jadi juara setelah tertinggal 1-3 di final. Cavaliers harus menang tiga kali berturut-turut, termasuk dua kali di kandang lawan, untuk menjadi juara. LeBron James pun ’’meledak’’, Cavaliers menang tiga kali berturut-turut atas Golden State Warriors, dan jadi juara.
Sejarah tambahan: Ini adalah gelar olahraga profesional pertama untuk Cleveland sejak 1964. Bisa dibayangkan seperti apa pesta di sana, dan diraih berkat ’’putra daerah’’ sendiri. James sukses menuntaskan takdirnya. Sekarang mau apa, itu masalah yang berbeda lagi.
Mungkin tidak ada atlet di dunia ini, dalam cabang apa pun, yang begitu berani dalam membuat keputusan seperti LeBron James. Berani mengecewakan dulu ’’rakyatnya’’ selama empat tahun sebelum menunjukkan kebahagiaan yang sebenarnya.
Dan kehebatan membuat keputusan itu bukan hanya dalam hal basket. Dalam bisnis, dia sama beraninya. Saking beraninya, kasus bisnis LeBron James ini merupakan salah satu yang dibahas di tingkat MBA di Harvard Business School, yang mungkin sekolah bisnis paling bergengsi di dunia.
Saya percaya, orang yang sukses di level tertinggi, di bidang apa pun, adalah orang yang punya kepintaran ekstra di atas bakat mereka di bidang tersebut. Kepintaran ekstra itu memberi mereka kapasitas ekstra untuk berbuat lebih dari orang hebat lain di bidang yang sama.
Ayrton Senna, Michael Schumacher, dan Sebastian Vettel begitu di dunia Formula 1. Valentino Rossi juga begitu di MotoGP. Begitu pula para megastar di sepak bola. Michael Jordan dan Kobe Bryant begitu di basket, dan LeBron James telah menunjukkan kedahsyatan yang sama. Kepintaran ekstra itu membuat mereka juga supersukses di luar lapangan.
LeBron James ini termasuk yang paling ekstrem. Baru saja masuk NBA, dia langsung memecat agen/manajernya, Aaron Goodwin. Padahal, Goodwin itu punya nama sangat besar. Sebagai pengganti, James memilih tiga sahabatnya sejak kecil. Maverick Carter, Richard Paul, dan Randy Mims. Berempat, mereka membentuk manajemen bernama LRMR.
Keputusan gila? Di atas kertas, ya. Bagaimana bisa teman-teman ’’biasa’’ mengalahkan para super-agen? Apalagi mereka punya beban menjadikan James sebagai atlet dengan penghasilan tertinggi di dunia.
Seperti keputusan James meninggalkan Cavaliers pada 2010, keputusan menunjuk teman sebagai agen itu juga menuai hujatan dan cibiran. Tapi, LeBron James tahu apa yang dia mau. Silakan menghujat. Silakan mencibir. Waktu akan menunjukkan siapa yang benar!
Di sekolah bisnis Harvard, di tingkat MBA, salah satu peluang bisnis LeBron James dijadikan contoh. Para MBA students harus memosisikan diri sebagai James dan LRMR, lalu memilih tiga penawaran pemasukan dari industri video game. Itu terjadi pada 2008, saat James mulai memosisikan diri sebagai the best player. Waktu itu, LRMR dapat tiga penawaran menggiurkan.
Dari Electronic Arts (EA Sports), untuk permainan NBA Live, James ditawari kontrak dua tahun. Nilainya USD 400 ribu pada tahun pertama, USD 300 ribu pada tahun kedua. Electronic Arts merupakan produsen game paling kondang saat itu. Jadi, mereka merasa tidak perlu memberikan penawaran lebih.
Dari 2K Games, James juga ditawari kontrak dua tahun. Dan tampak sangat menggiurkan. Bayaran di depan: USD 300 ribu pada tahun pertama, USD 350 ribu pada tahun kedua. Plus bonus penjualan yang nilainya USD 250 ribu hingga USD 1,5 juta per tahun. Plus bonus-bonus lain kalau James terus aktif mempromosikan game NBA 2K di berbagai media.
Lalu, ada penawaran dari Microsoft Xbox Live. Jangka waktunya lebih fleksibel. Di depan, James akan dibayar USD 250 ribu. Tapi kemudian akan mendapat bagian hingga 20 persen dari penjualan kotor. Penawaran itu juga memberikan peluang kreatif ekstra: James boleh merancang permainan apa saja. Tidak harus basket. Sehingga LRMR bisa lebih bebas meng-explore diri, tidak hanya di basket.
Yang mana dipilih?
Di tingkat MBA, kasus itu didiskusikan seru. Kebetulan saya ikut dalam diskusi kasus yang sama saat mengikuti program Executive Education di Harvard, awal Juni lalu.
Dalam diskusi, kebanyakan memilih opsi kedua. Karena nilai uangnya dianggap berpotensi terbaik, lebih baik dari opsi pertama. Selain itu, untuk mendapatkan uangnya juga tidak seribet opsi ketiga, yang menuntut banyak waktu dan energi untuk menciptakan game.
Benarkah keputusan itu?
Maverick Carter ternyata sempat berkunjung ke Harvard untuk membahas/menjawab langsung kasus itu kepada para peserta program. Jawaban dia ternyata out of the box: James dan LRMR tidak memilih tiga-tiganya!
Lho, kok bisa?
Di sinilah muncul kepintaran LeBron James, menunjukkan betapa keputusannya untuk memilih teman/sahabat sebagai agen/manajer adalah opsi yang lebih baik. Terbaik untuk dirinya.
Maverick Carter, yang kenal James sejak usia delapan tahun, menegaskan bahwa tiga penawaran itu sama-sama kurang asyik untuk sang superstar. Ya, semua ada nilai uang, dan nilainya tergolong besar untuk siapa pun. Tapi, untuk James, nilainya masih dianggap belum pantas. James dan LRMR punya pemikiran jauh lebih ’’besar’’ untuk masa depan sang megastar.
Menurut Carter, yang penawaran dengan nilai terkecil, ya buat apa? Yang dianggap berpotensi memberikan uang lebih banyak pun, kalau dipikir-pikir, akan menuntut waktu dan upaya ekstra banyak dari James. Kalau dihitung dan direncanakan, James bisa dapat uang lebih banyak kalau mencurahkan waktu dan energinya untuk hal lain.
Carter menambahkan, kalau LeBron James di-handle manajemen ’’profesional’’, keputusan aneh seperti itu mungkin tidak akan diambil. Manajemen ’’profesional’’ akan memilih satu di antara tiga penawaran itu, karena mereka dituntut target. Bukan target untuk LeBron James, melainkan target untuk mereka sendiri. Wajar, karena penghasilan mereka adalah persentase dari penghasilan James.
Kalau James di-handle manajemen ’’profesional’’, waktu dan energinya akan habis untuk mengejar pemasukan-pemasukan kecil. Dan itu bisa mengganggu konsentrasinya di lapangan, yang kemudian mengganggu potensinya meraih prestasi dan penghasilan maksimal.
’’Bagi agen-agen lain, juga bagi orang seperti saya, uang dari video game itu bisa berpengaruh besar. Bisa menentukan kehidupan yang lebih enak buat kami. Tapi, harus diingat, buat seseorang seperti LeBron James, uang dari video game itu tidak akan membuat tumpukan uangnya jauh lebih tinggi. Inilah pentingnya dikelilingi orang yang benar-benar teman atau sahabat, cara berpikir kami tidak seperti agen biasa,’’ tandasnya.
Tentu saja mudah berpikir seperti itu karena James adalah megastar. Tapi ingat, itu keputusan yang dibuat pada 2008. James belum meraih gelar juara NBA, dan sebagai atlet masa depannya bisa terancam oleh banyak hal. Misalnya, cedera.
Pada usia muda, James –dan teman-teman masa kecilnya– sudah punya visi ke depan yang panjang dan besar. Dan mereka berani tegas mengejarnya sejak awal. Termasuk membuat keputusan-keputusan yang tidak umum, mengorbankan sukses jangka pendek.
Kini, pada 2016, segala keberanian itu membuahkan hasil. Di lapangan, James sudah menunaikan beban hidupnya, membawa Cavaliers jadi juara NBA. Di luar lapangan, brand LeBron James semakin berkibar dahsyat. Dia mau apa saja akan bisa. Jangankan dikontrak pembuat video game, dia mungkin bisa minta ganti saham mayoritas dari perusahaan game tersebut!
LeBron James dilahirkan dengan berkah bakat dan kemampuan fisik super, dengan bonus kepintaran ekstra. Dia mungkin sudah tahu sejak dini kalau dia ditakdirkan untuk jadi yang terbaik. Dia bekerja superkeras menuju ke sana, dan berani membuat keputusan-keputusan yang awalnya tidak populer atau sulit dipahami orang.
Tapi, dia yakin dengan dirinya sendiri. Sekarang, entah di mana limit seorang LeBron James… (*)