eQuator.co.id – JAKARTA-RK. Polri mulai gerah dengan munculnya tudingan rekayasa dalam aksi terorisme. Karena itu, Korps Bhayangkara berupaya untuk memberikan pemahaman bahwa proses hukum di Indonesia membuat kemungkinan rekayasa kasus terorisme menjadi tidak mungkin.
Karopenmas Divhumas Polri Brigjen M. Iqbal menuturkan bahwa munculnya tudingan rekayasa di media sosial itu merupakan hal yang tidak bijak. Bila dipahami secara mendalam, proses hukum di Indonesia ini justru menjadi bukti tidak mungkinnya melakukan rekayasa. ”Penyidik Polri mengumpulkan seluruh bukti secara detil di tempat perkara. Di cek apakah bukti ini terkait dengan tindak pidana atau tidak,” paparnya.
Pemeriksaan terhadap saksi juga dilakukan untuk membuat kasus tersebut menjadi lebih terang. Langkah selanjutnya, penyidik menyerahkan berkas ke jaksa penuntut umum (JPU). ”JPU menguji kasus tersebut, dianalisa bagaimana upaya penyidik mengumpulkan bukti. Ada proses bolak balik berkas sesuai dengan petunjuk jaksa,”terangnya.
Selanjutnya, kasus tersebut juga diuji di pengadilan. Dimana, para terdakwa juga memiliki pengacara untuk membelanya. Dalam persidangan itulah ditentukan bersalah atau tidaknya seorang terduga pelaku tindak pidana terorisme. ”Sidang terbuka bisa dilihat semua orang. Ini artinya, kasus terorisme yang ditangani Polri diuji berulang kali, baik kebenaranya dan tata caranya,” jelasnya.
Dia menjelaskan, mekanisme hukum di Indonesia yang begitu membuat upaya menutup-nutupi sangatlah sulit. Berbeda dengan hukum di Singapura dimana orang bisa ditangkap karena informasi intelijen terkait terorisme. ”Tidak ada proses sidang-sidangan, selama dua tahun bisa ditahan,” ungkapnya.
Dengan begitu, bila ada pihak tertentu yang menyebut rekayasa dalam aksi teror, tentunya harus membuktikannya. Polri meminta buktinya bila melakukan tuduhan semacam itu.“Buktikan, ayo. Sutradara hebat di Hollywood pun tak akan bisa,” ungkapnya.
Dia menuturkan, Polri juga melakukan langkah penegakan hukum terhadap sejumlah orang yang menyebarkan tuduhan rekayasa aksi terorisme. Sebab, menyebarkan informasi rekayasa tanpa bukti itu merupakan ujaran kebencian dan berita bohong. ”Ini bisa menjadi pelajaran bersama,” ungkapnya.
Bahkan, tudingan rekayasa kasus terorisme itu mengancam stabilitas masyarakat. Menurutnya, Polri tentunya tidak nyaman dengan tudingan semacam itu. ”Siapa pun yang menuding semacam itu, kita tunggu buktinya,” paparnya ditemui di kantor Divhumas Polri kemarin.
Pemerintah tidak hanya mendorong pembahasan RUU Antiterorisme agar segera rampung. Mereka juga tengah menyiapkan peraturan presiden (perpres) guna mengatur secara lebih rinci pelibatan TNI dalam penanggulangan terorisme. Tujuannya tidak lain agar peran institusi militer tanah air tidak tumpang tindih dengan instansi lainnya.
Menurut Direjtur Jenderal Perundang-Undangan (Dirjen PP) Kemenkum HAM Widodo Ekatjahjana, perpres dibutuhkan untuk mengatur peran TNI berkaitan dengan upaya penanggulangan terorisme. Untuk itu, pemerintah menyiapkan perpres. ”Memang sudah kesempatakan bersama. Akan dibuat payungnya berupa perpres,” terang dia kemarin (21/5).
Pria yang akrab dipanggil Widodo itu menyampaikan bahwa perpres tersebut bakal diisi dengan sejumlah aturan dan ketentuan yang mengatur TNI secara teknis. Termasuk di antaranya soal peran dan fungsi TNI ketika turut serta dalam penanganan aksi terorisme. ”Nanti kan tinggal melaksanakan bagaimana secara teknisnya di perpres itu,” ucap dia.
Namun demikian, untuk saat ini Widodo belum bisa menjelaskan secara detail poin per poin dalam perpres tersebut. Sebab, perpres itu masih dalam bentuk draf. Menurut dia, masih ada serangkaian proses yang dibutuhkan sampai perpres tersebut bisa diungkap kepada publik. ”Rapat juga belum. Draftnya masih belum juga. Masih kami siapkan,” imbuhnya.
Lebih lanjut Widodo menyampaikan, pembahasan perpres tersebut dilakukan sejalan dengan pembahasan RUU Antiterorisme. Apabila RUU itu sudah selesai dibahasa bersama DPR, sambung dia, instansinya bakal mengebut pembahasan perpres tersebut. ”DPR kan khusus untuk RUU-nya. Nanti pengaturan lebih lanjut akan kami sepakati di perpres,” ungkap dia.
Berkaitan dengan pembahasan RUU Antiterorisme, Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Miko Susanto Ginting mengungkapkan bahwa saat ini Indonesia sudah memiliki beberapa perangkat hukum antiterorisme. Mulai KUHP, UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, sampai UU Pemberantasan Pendanaan Terorisme.
Tapi, bukan berarti RUU Antiterorisme tidak diperlukan lagi. Menurut Miko, sepanjang dilaksanakan secara cermat dan tutur mempertimbangkan situasi secara objektif pembahasan RUU tersebut patut didukung. Dia pun memberi catatan agar pembahasan RUU itu tidak mengesampingkan HAM. ”Justru legitimasi penindakan terorisme adalah pemenuhan HAM,” ujarnya.
Yakni, sambung Miko, hak atas rasa aman untuk setiap warga negara. Karena itu, dia menilai bahwa pendekatan keamanan saja tidak cukup menjadi pertimbangan dalam pembahasan RUU Antiterorisme. ”Perlu dilengkapi dengan pendekatan akuntabilitas dan HAM,” beber pengajar hukum pidana Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera itu.
Berkaitan dengan proses hukum terhadap puluhan napi kasus terorisme, Dirjen Pemasyarakatan Kemenkum HAM Sri Puguh Budi Utami menyampaikan bahwa instansinya turut mendukung tuntasnya proses tersebut. Untuk itu, 58 napi kasus terorisme dari Nusakambangan dipindah ke Lapas High Risk Gunung Sindur.
Sebelumnya napi kasus terorisme itu dipindah dari Rutan Salemba Cabang Mako Brimob ke Nusakambangan. Namun, mereka kembali di pindah ke Gunung Sindur lantaran harus menjalani proses hukum. ”Ada dua perempuan dan 56 laki-laki,” imbuhnya. Khusus untuk dua napi perempuan, Ditjenpas Kemenum HAM menitipkan keduanya di Polres Jakarta Utara (Jakut).
Lebih lanjut, perempuan yang akrab dipanggil Utami itu menuturkan bahwa instansinya juga terus mengawal proses persidangan Aman Abdurrahman. Khusus untuk pengamanannya, Ditjenpas Kemenkum HAM bekerja sama dengan Polri, TNI, dan BNPT. ”Kami berharap sekali masyarakat ikut memberikan suatu suasana yang kondusif,” ujarnya. (Jawa Pos/JPG)