Serbuan Tenaga Kerja Asing dari Utara

Kecemburuan di Tambang Kedua Terbesar Setelah Freeport

TKA DI WHW. Para tenaga kerja asing dari RRT yang diangkut menggunakan dumptruck ke bagian tempatnya bekerja di PT. Well Harvest Winning, Kendawangan, Ketapang, setelah melewati istirahat siang, Minggu (7/8). OCSYA ADE CP

eQuator.co.id – Setelah ekspor bauksit mentah dilarang dengan UU Minerba plus kewajiban membangun smelter, investor dari Tiongkok pun menggelembung masuk. Sayang disayang, kuli pribumi terpinggirkan serbuan tenaga kerja asing dari negeri penanam modal. Masih adakah harapan bagi masyarakat setempat?

Akankah Kecamatan Kendawangan, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat, bakal menyusul kemegahan Freeport di Papua? Kawasan pertambangan dan industri (smelter) bauksit dan turunannya itu diduga mempekerjakan lebih seribu tenaga kerja asing (TKA) dari Republik Rakyat Tiongkok (RRT).

Mulai dari buruh kasar hingga tenaga ahli bekerja pada 10 perusahaan asing (PMA), joint venture, dan penanaman modal dalam negeri (PMDN). Investasi yang berinduk pada perusahaan joint venture PT. Well Harvest Winning Alumina Refinery (WHW) itu bernilai triliunan rupiah.

Memang, perusahaan pertambangan yang sebelumnya mengekspor bahan mentah bauksit ke RRT itu terkena kewajiban hilirisasi oleh Undang-Undang Minerba Nomor 4 Tahun 2009.

Sepuluh perusahaan itu masing-masing PT. WHW, China State Construction Enginering, Indo Fudong, BUT Sinohdro Ltd., Shandong Zengtai, China Machinery IND. Counstruction, PT. Victory Utama Karya, China Harbour Indonesia, Zongye, dan Sepco II.

Sebenarnya banyak harapan tertumpu ke perusahaan megaproyek tambang yang mestinya berkontribusi bukan saja kepada pemerintah daerah dan Indonesia, tapi masyarakat Kalbar. Terutama, warga Ketapang dan Kendawangan yang masih terbelit kemiskinan, padahal bumi mereka kaya dengan tambang bauksit dan turunannya, bijih besi, timah, hingga kuarsa.

Minggu, 8 Agustus 2016, dua jurnalis Rakyat Kalbar menyusuri Kota Ketapang hingga Kendawangan dan sekitarnya untuk melakukan investigasi tentang pertambangan hingga TKA yang menyerbu Kalbar. Khususnya seputar smelter bauksit terbesar di Asia Tenggara di sana.

Langkah pertama, tentu saja mendatangi PT. WHW yang berlokasi di Desa Sungai Tengar, Kecamatan Kendawangan. Butuh waktu dua jam naik sepeda motor dari Kota Ketapang (ibukota Kabupaten) meluncur di jalan tanah, pasir, maupun aspal.

Setiba di desa, warga setempat yang ditemui mengingatkan tak mudah masuk ke komplek pertambangan maupun industri yang dijaga ketat aparat dan sekuriti itu. “Jangan main-main, ini milik orang penting. Bahaya, tak mudah untuk masuk kesana. Sekuriti di mana-mana, tidak sembarangan orang dibolehkan masuk,” tutur sejumlah masyarakat di sana.

Dan, benarlah kata mereka. Smelter PT. WHW terbentang megah. Terbagi dua bagian, jalan raya di tengah-tengah yang membagi kawasan smelter yang mewah di satu sisi, dan kanannya areal pertambangan maha luas yang mempekerjakan buruh asal RRT.

Terdapat jembatan terbentang yang di bawahnya adalah jalan bagi pekerja. Ibarat jalan tol untuk membawa barang dan hasil tambang. Sayangnya, Rakyat Kalbar tidak diperkenankan melihat ke dalam oleh sekuriti.

“Tidak boleh masuk sebelum ada izin,” cegah sejumlah sekuriti yang mengerumuni.

Seorang warga Kendawangan yang jadi penunjuk jalan cepat menimpali. “Ini wartawan ingin mengkroscek, benar tidaknya ribuan TKA yang bekerja di sini. Tolong izinkan masuk, supaya bisa tahu tudingan selama ini ada TKA ilegal,” tuturnya kepada para sekuriti.

Setelah lama negosiasi, akhirnya jalan tengah didapat. Koran ini dipersilakan memotret tapi tak boleh kentara.

“Ambil gambar tapi kami tak mengizinkan. Terserah, curi-curi saja, kami tidak melarang. Tapi sebelum ada izin, mohon maaf kami tidak akan persilakan kawan-kawan untuk masuk,” tegas seorang sekuriti.

Perlu mendapatkan konfirmasi dan penjelasan, Rakyat Kalbar terus berusaha membujuk sekuriti agar bisa masuk untuk menemui yang berwenang di perusahaan. Hanya ingin minta penjelasan perihal pertambangan dan pekerja asingnya.

“Saya akan minta izin, silakan tunggu. Tolong identitasnya. Kalau diizinkan, kami persilahkan masuk. Namun kalau tidak, mohon maaf,” tandas sekuriti yang cukup bersahabat itu.

Sekitar lima belas menit kemudian, sekuriti tadi pun kembali. Tampaknya, dia membawa angin segar.

“Silakan  masuk, sudah ditunggu, saya arahkan jalannya,” kata dia.

Ternyata, yang menemui kami adalah staf bagian corporate social responsibility (CSR). Hanya saja, Sang Karyawan bagian CSR WHW tersebut mengatakan bukan wewenangnya dan meminta awak media ini datang lain waktu.

“Saya sudah hubungi Pak Togap (External Relation & CSR Manager PT. WHW,red). Beliau biasa berkomunikasi dengan teman-teman media. Beliau bilang tidak bisa sekarang, karena kedatangan Rakyat Kalbar juga mendadak. Silakan konfirmasi kedatangannya nanti. Kedatangan berikutnya akan dijelaskan berkaitan dengan konfirmasi,” jelas pria paruh baya itu.

Dia juga menolak ketika dimintai nomor kontak atasannya tersebut. “Tidak berani, harus minta izin lagi,” ujarnya.

Memang, ketatnya pengamanan di PT. WHW ini boleh diacungi jempol. Tak hanya sekuriti yang direkrut dan dilatih internal, perusahaan pertambangan dan smelter raksasa itu juga diamankan aparat keamanan.

“Ada TNI dan Polisi (Brimob). Mereka BKO di sini. Jumlahnya kisaran empat orang,” ungkap seorang sekuriti di sana.

BEDA DENGAN TIONGHOA

Kendati kerja jurnalistik hari itu belum tercapai sasarannya, Rakyat Kalbar mulai mendapat gambaran perihal TKA yang bekerja di sepuluh perusahaan tersebut. Sumber masyarakat setempat, baik seputar pabrik maupun yang berkutat dan berhubungan dengan perusahaan, mencurigai aliran TKA yang ribuan keluar-masuk Kecamatan Kendawangan.

  1. WHW disebut paling banyak menampung TKA. Sayangnya, tak ada penjelasan resmi. Soal Izin Mempekerjakan Tenaga Asing (IMTA), misalnya. Diduga tak semua TKA dari kawasan Asia paling utara itu memegang IMTA.

Begitu juga dengan Visa bekerja. Ada dugaan visa kunjungan atau wisata yang mereka pegang. Bila masa visa kunjungan itu habis, maka TKA asal daratan Tiongkok inipun pulang. Mereka digantikan tenaga baru tanpa IMTA dan visa kerja. Begitu siklusnya terus berputar. Sehingga, warga setempat selalu melihat banyak orang asing keluar masuk.

“Tidak semua memiliki IMTA, modus yang digunakan begitu rapi,” ujar warga asli Ketapang, sebut saja Entol. Dia enggan nama aslinya dikorankan.

Menurut Entol, dalam satu hari biasa melihat dua puluhan tenaga asing yang in maupun out ke Ketapang via Bandara Rahadi Oesman. Ciri-ciri warga Tiongkok, baik bahasa dan gayanya beda dengan orang Tionghoa Kalbar.

“Paling tidak lima belas atau dua puluh warga Beijing itu sekali datang dan keluar. Apalagi, sekarang sudah ada penerbangan langsung Jakarta-Ketapang PP. Kalau setahun itu bisa ribuan keluar masuk. Yakin semuanya memiliki IMTA? Paling hanya beberapa,” ungkap dia.

Keyakinan banyak warga Ketapang dan Kendawangan kalau TKA di sana tak sekadar ratusan bisa dilihat dari besarnya operasional PT. WHW dan sembilan perusahaan lainnya. Masyarakat setempat menilai, sejak sebelum larangan ekspor saja, PT. WHW mempekerjakan ribuan warga lokal dan luar pulau di kawasan penambangan.

Sempat tutup beberapa tahun, aktif lagi dengan operasional jauh lebih besar. Diperkirakan, perusahaan tambang ini nomor dua terbesar di Indonesia setelah PT. Freeport.

“Silakan saja liat, itu perusahaan punya apartemen lima lantai yang megah,” tutur warga asli Ketapang lainnya ditemui Rakyat Kalbar, Jumat (5/8) malam.

PERBEDAAN UPAH

Jika perkiraan tiap hari 20 TKA keluar masuk, pertahun diprediksi sekitar 7.200 orang bekerja mengeruk bumi  Kabupaten Ketapang yang kerap disebut Bumi Bertuah itu. “Ilegal atau tidaknya, kita tidak tahu karena modusnya begitu rapi,” kata dia.

Menurutnya, tak hanya pekerja berskill yang tidak dimiliki pekerja lokal (teknisi), pekerja kasar pun disambar oleh TKA. Salah satunya sopir.

“Itukan pekerjaan yang bisa dilakukan tenaga local, tetapi sudah digarap mereka. Kasih lah warga sini kalau cuma kerja seperti itu, jangan mereka semua,” celetuknya.

Perbedaan upah TKA dan lokal pun mencolok. “Orang Beijing itu dibayar mahal. Sedangkan warga lokal sama-sama pekerja, murah. Sama-ratakan lah. Misalnya, bagian menambang antara TKA dan warga lokal jangan diupah berbeda. Informasinya, bisa belasan juta perbulan untuk TKA,” kesalnya. (*)

Laporan: Achmad Mundzirin dan Ocsya Ade CP, Kendawangan

Editor: Mohamad iQbaL