eQuator.co.id – Jakarta-RK. Pasca pengumuman Bank Indonesia (BI) 7-day Reverse Repo yang ditahan di angka 5,25 persen, nilai tukar rupiah justru mengalami depresiasi. Mengutip Bloomberg, kemarin (20/7), rupiah dibuka di Rp 14.477 per USD. Kurs tersebut melemah jika dibandingkan dengan penutupan perdagangan sebelumnya yang ada di angka 14.4432 per USD. Mata uang Garuda ini pun sempat menyentuh level Rp 14.545 per USD.
Dengan kondisi rupiah yang terus tertekan, Bank Indonesia (BI) pun segera melakukan intervensi. Alhasil, pada penutupan perdagangan kemarin, rupiah menguat tipis Rp 14.495 per USD.
“BI berada di pasar dan secara pro aktif melakukan intervensi ganda di pasar valas dan SBN (Surat Berharga Negara) sedemikian sehingga nilai tukar rupiah pada penutupan perdagangan hari ini (kemarin) berhasil ditutup di bawah level 14,500 per dollar,” jelas Ekonom Bank Permata, Josua Pardede, kepada Jawa Pos, kemarin.
Josua melanjutkan, pelemahan kurs rupiah yang sempat melewati level 14,500 per USD, dipengaruhi oleh pelemahan nilai tukar Yuan Tiongkok setelah kemarin bank sentral Tiongkok memperlemah Yuan. Dampaknya, Yuan melemah terhadap dollar AS ke level terendah dalam satu tahun terakhir. Langkah kebijakan tersebut diambil merespon proses negosiasi antara pemerintah AS dan Tiongkok terkait isu perang dagang yang belum menemukan solusi.
“Pelemahan Yuan tersebut mendorong sentimen negatif di pasar keuangan negara berkembang yang selanjutnya mendorong pelemahan nilai tukar mata uang Asia termasuk Rupiah,” lanjutnya.
Project Consultant Asian Development Bank (ADB) Eric Alexander Sugandi menguraikan, selain faktor eksternal yakni pelemahan Yuan, ada sejumlah faktor domestik yang juga menyebabkan pelemahan rupiah. Diantaranya, adanya risiko tekanan pada pertumbuhan ekonomi Indonesia, kemudian adanya pengetatan likuiditas valas di bank-bank buku 3 dan 4, sehingga mendorong peningkatan demand korporasi terhadap USD untuk berjaga-jaga.
“Selain itu, ada juga risiko peningkatan Current Account Deficit (CAD) dan juta signifikannya penguasaan asing di SBN dan saham, sehingga Rupiah rentan terhadap capital outflows (aliran dana keluar),” urainya.
Eric pun menilai, keputusan BI mempertahankan suku bunga acuannya adalah langkah yang tepat. Sebab, keuntungan dari kenaikan BI rate dalam mempertahankan Rupiah tidak sebesar cost pada pertumbuhan ekonomi.
Dia mengakui, tekanan eksternal akan tetap ada, namun tekanan akibat dari persepsi pelaku pasar, sifatnya temporer. Sehingga, BI memang tidak perlu reaktif dengan terus menaikkan suku bunga.
“Kenaikan 100 basis point total sebelumnya untuk sementara sudah cukup,” imbuhnya.
Sementara itu, Deputi Gubernur BI Erwin Rijanto menekankan bahwa pihaknya tidak pernah menargetkan rupiah berada di level tertentu, karena mengikuti mekanisme pasar. Dia pun mengungkapkan, pelemahan tidak hanya dialami Indonesia, melainkan juga negara-negara lainnya, diantaranya, Mexico, Tiongkok, India, Singapura, Rusia hingga Afrika Selatan.
“Coba dilihat apakah kita (rupiah) melemah sendiri atau tidak, kalau semua seluruh dunia itu melemah against (terhadap) dollar AS ya mestinya thats it, karena memang itu kan semuanya,” jelasnya saat ditemui di Gedung JCC, kemarin.
Erwin menegaskan bahwa pelemahan rupiah tidak dipicu faktor domestik, melainkan eksternal khususnya terkait sikap Presiden AS Donald Trump yang mengkritik kebijakan The Fed yang akan menaikkan suku bunganya. Sikap yang bertentangan antara keduanya tersebut berdampak pada ketidakpastian global yang akhirnya berimbas pada pelemahan sejumlah mata uang di negara-negara di dunia, termasuk Indonesia.
“Problemnya itu adalah Mr. Trump yang membuat pernyataan berlawanan dengan Fed-nya. Kemudian di China itu melakukan devaluasi, berkaitan dengan trade war itu. Nah ini seluruhnya (mata uang melemah), ya memang itulah keadaan dunia itu saat ini si Amerika lagi berdaya dan adikuasa. Tapi BI tetap selalu ada pasar, itu yang paling penting,” tegasnya.
Menteri Koordinator bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan, pelemahan nilai tukar rupiah yang mencapai Rp. 14.500/1 USD tidak dianggap sebagai hal yang luar biasa. Dia menilai, fluktuasi nilai tukar yang meroket memang kadang terjadi secara harian. Namun, terkadang juga menurun.
“Perubahan harian memang kadang-kadang gak tinggi. Tidak perlu menganggap itu sesuatu yang luar biasa terjadi,” ujarnya di Istana Kepresidenan, Jakarta, kemarin (20/7).
Darmin menambahkan, pelemahan cukup tajam yang dialami rupiah hari ini disebabkan oleh penyataan Gubernur Bank Sentral AS Jerome Powell yang menyebut akan menaikkan bunga acuan Fed Rate. Menyusul makroekonomi AS yang terus membaik.
Namun, dia meyakini, Bank Indonesia juga akan mengambil langkah-langkah antisipasi untuk melawan kebijakan tersebut dengan menaikkan suku bunganya. Selain itu, kata dia, BI juga pasti akan berupaya menjaga agar permintaan dan ketersediaan bisa terjada.
“Wilayah Bank Indonesia karena yang melakukan intervensi untuk menjaga supaya demand dan suplainya saling memenuhi,” imbuhnya.
Pemerintah sendiri, lanjutnya, juga melakukan upaya. Salah satunya dengan berupaya mengurangi impor. Dalam sektor migas misalnya, pemerintah tengah memaksimalkan penggunaan biodiesel untuk menekan impor minyak mentah dunia.
Ditambahkan Menteri Perindustrian, Airlangga Hartarto, bagi dunia industri, pelemahan rupiah memiliki dua sisi yang berbeda. Bagi industri yang memiliki orientasi ekspor dan menggunakan bahan baku lokal, pelemahan relatif menguntungkan. Misalnya industri kepala sawit.
Namun bagi pelaku industri yang mengandalkan bahan baku dari impor, maka pelemahan tersebut cukup berdampak signifikan. “Bahan baku impor yang jual ke domestik. Apalagi kalau utangnya dolar. Jadi kena pukul dua kali,” ujarnya.
Oleh karenanya, politisi Golkar itu berharap ada stabilitasi rupiah. Jika asumsi marko nilai tukar rupiah di patok Rp14.200, maka realisasinya diharapkan bisa diangka tersebut.
“Bagi industri yang penting itu stabil saja. Dengan rupiah yang stabil maka untuk industri akan bisa memperkirakan, itu membantu. Level tidak masalah asal tidak terlalu fluktasi,” pungkasnya. (Jawa Pos/JPG)