eQuator.co.id – Pontianak-RK. Sebagai negara importir minyak, kenaikan harga minyak dunia menjadi persoalan tersendiri bagi Indonesia. Pasalnya, dalam setiap pembelian minyak harus menggunakan kurs dolar Amerika Serikat (AS).
Berdasarkan situs resmi Bank Indonesia (BI), Jakarta Interbank Spot Dollar Rate atau Jisdor, kurs tengah rupiah pada Jumat (6/7) sudah mencapai Rp 14.409 per dolar AS. Dengan posisi jual Rp 14.481 dan beli Rp 14.337.
Dikatakan Anggota Komisi XI DPR RI Dapil Kalbar, Michael Jeno, harga dolar yang menyentuh Rp14.400 sudah jauh meninggalkan asumsi APBN 2018. Dimana dolar dipatok Rp13.400.
“Dari naiknya harga dolar ini artinya ada selisih hampir seribu rupiah,” tutur Jeno, Sabtu (7/7).
Terlebih, saat ini Indonesia berada dalam posisi importir minyak. Yang menggunakan kurs dolar AS. Nah, kenaikan minyak dunia lebih gila lagi. Dari 34 dolar per barel ke angka 74.
“Artinya, untuk merealisasikan APBN tahun ini sangat sulit sebab patokannya sudah jauh, maka dari itu perlu dilakukan APBN Perubahan, apakah ada pengurangan anggaran di pos tertentu atau menambah pemasukan negara,” jelas Jeno.
Ia menilai, opsi penambahan utang untuk menutupi ruang APBN yang termakan dolar sebagai cara terakhir. Begitu juga dengan pengurangan dan pemindahan anggaran pada sektor-sektor penting.
“Tentu kami di komisi XI berharap jangan sampai ada realokasi anggaran Dana Desa dan sektor penting lainnya, sebab saat ini negara kita sedang membutuhkan pembangunan di daerah-daerah,” harapnya.
Pembangunan itu, lanjut dia, karena Presiden Joko Widodo terus berupaya untuk mengembangkan negara dengan membangun dari pinggiran. “Dan kita harap ini masih terus dan tetap berjalan,” tukas Jeno.
Pakar ekonomi Universitas Tanjungpura (Untan), Eddy Suratman, sebelumnya pernah menyebut bahwa saat ini pemerintah tengah menggenjot investasi dalam upaya peningkatan pertumbuhan ekonomi. Hal ini dibuktikan dengan pembangunan dimana-mana.
Akan tetapi, investor belum tentu serta merta hadir. Pasalnya, dunia usaha juga menimbang faktor kestabilan politik dan komponen lainnya.
Seperti faktor eksternal belakangan ini sangat berpengaruh terhadap keberlangsungan investasi di Indonesia, termasuk Kalimantan Barat. Harga dolar AS sudah mencapai level Rp14.400 dan minyak dunia tembus 78 dolar AS perbarel.
“Adanya tekanan terbesar berasal dari dolar, dimana semua negara merasakan imbasnya, hal ini akan membuat dolar-dolar yang ditanam di Indonesia pulang kampung ke Amerika, sebab Bank Sentral AS menaikkan kembali suku bunga di sana, uang akan mengalir ke tempat yang lebih menguntungkan,” paparnya.
Sementara itu, faktor eksternal, seperti perang dagang AS-China, disebut-sebut menjadi faktor rupiah tertekan. Langkah BI yang menaikan suku bunga acuan menjadi 5,25 persen, pada Jumat lalu (29/6), rupanya belum dapat mendongkrak nilai tukar rupiah.
“Faktor utama pelemahan rupiah tentu gejolak eksternal, yakni perang dagang AS-China dan kebijakan The Fed (bank sentral AS,red) yang cenderung terus menaikan tingkat suku bunga,” ujar Direktur Lembaga Management Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, Toto Pranoto, kepada INDOPOS (Jawa Pos Group), Jumat (6/7).
Hal tersebut menurutnya membuat permintaan akan dollar meningkat (over demand). Sehingga posisinya terus menguat dan rupiah terus menurun.
“Intervensi BI dengan meningkatkan suku bunga acuan keliatannya belum cukup efektif dalam mengerem laju depresiasi Rupiah,” jelas Toto.
Pengamat ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira bahkan memprediksi rupiah akan melemah hingga 14.700 pada akhir Juli. Menurutnya, posisi Indonesia dirugikan akibat perang dagang, karena berada di bawah global supply chain sebagai negara pemasok bahan baku AS dan China.
“Jika volume perdagangan dunia turun, imbasnya permintaan batubara, sawit, hingga karet akan anjlok. Belum ada perang dagang saja, dalam lima bulan terakhir ada empat kali defisit perdagangan. Apalagi paska 6 Juli 2018 (dimulainya perang dagang AS-China), defisit perdagangan kita akan makin bengkak,” jelas Bhima.
Lebih lanjut, ia mengatakan, ada kaitan erat antara melemahnya ekspor dengan permintaan rupiah yang anjlok. Sedangkan, dampak lainnya adalah Indonesia jadi target barang impor China.
“Banjir impor membuat permintaan valas terutama dolar naik signifikan,” terangnya.
Selain perang dagang, melemahnya rupiah, menurut dia, karena spekulasi terkait hasil rapat The Fed pada tanggal 31 Juli sampai 1 Agustus 2018. “Jika melihat data-data ekonomi AS yang terus membaik, sangat mungkin Fed akan kembali naikkan bunga acuan 2 kali lagi tahun ini, efeknya dana asing dari Indonesia kembali keluar mencari aset yang lebih aman,” papar Bhima.
Untuk meredam gejolak rupiah, tentu ada solusinya. Menurut Bhima, permintaan rupiah berkaitan erat dengan lonjakan impor. Selain industri yang butuh bahan baku impor, penyebab impor bengkak adalah proyek infrastruktur yang sedang dikerjakan BUMN.
“Indikasinya impor mesin dan mekanik tumbuh 31,9 persen year on year (yoy) selama Januari-Mei 2018. Impor mesin dan peralatan listrik naik 28,16 persen (yoy) dan besi baja 39 persen (yoy),” tuturnya.
Kalau mau mengurangi impor, lanjut dia, kewajiban Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) proyek infrastruktur disarankan jadi 60-70 persen. Komitmen BUMN penting agar defisit perdagangan mengecil sehingga permintaan valas turun.
“Kalau impor BUMN-nya diatur, saya kira sudah cukup signifikan menguatkan rupiah, atur impor BUMN dulu baru evaluasi impor swasta,” tukas Bhima.
Ia menjelaskan, dari sisi moneter, BI masih punya 1 kali lagi peluang untuk menaikkan bunga acuan 25 basis poin (bps). “Tentunya harus dibarengi dengan kebijakan fiskal seperti relaksasi perpajakan, agar daya tarik investor ke Indonesia meningkat,” pungkasnya.
Untuk diketahui, pada Jumat (29/6), BI memutuskan untuk menaikkan suku bunga acuan dari sebelumnya sebesar 4,75 persen menjadi 5,25 persen.
Keputusan itu diumumkan langsung oleh Gubernur BI Perry Warjiyo, didampingi para Deputi Gubernur BI. “Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 28-29 Juni 2018 memutuskan untuk menaikkan BI 7-day Reverse Repo Rate sebesar 50 bps menjadi 5,25 persen,” ujar Perry di Komplek Perkantoran BI, Jumat (29/6).
Selain itu, BI juga memutuskan untuk menaikan suku bunga Deposit Facility sebesar 50 bps menjadi 4,50 persen, dan suku bunga Lending Facility sebesar 50 bps menjadi 6,00 persen.
Menurut Perry, keputusan kenaikan suku bunga tersebut merupakan langkah lanjutan Bank Indonesia untuk secara pre-emptive, front-loading, dan ahead of the curve. Serta menjaga daya saing pasar keuangan domestik terhadap perubahan kebijakan moneter sejumlah negara dan ketidakpastian pasar keuangan global yang masih tinggi.
“Kebijakan tersebut tetap ditopang dengan kebijakan intervensi ganda di pasar valas dan di pasar Surat Berharga Negara. Serta strategi operasi moneter untuk menjaga kecukupan likuiditas khususnya di pasar uang Rupiah dan pasar swap antarbank,” terangnya.
Jebolan Universitas Gadjah Mada (UGM) itu menambahkan, sejumlah kebijakan yang ditempuh tersebut dapat memperkuat stabilitas ekonomi, khususnya stabilitas nilai tukar Rupiah. Menurutnya tekanan terhadap rupiah lebih banyak karena faktor eksternal. Seperti kenaikan Fed Fund Rate dan dan volatilitas imbal hasil surat utang AS yang masih tinggi, serta ketegangan hubungan dagang AS-Tiongkok.
Laporan: Nova Sari, JPG
Editor: Mohamad iQbaL