Dampak bencana gempa terhadap sektor pariwisata Senggigi dirasakan hingga saat ini. Tidak hanya oleh pelaku usaha kelas kakap, tetapi juga oleh pelaku usaha kecil. Misalnya seperti seperti pedagang cendera mata.
HAMDANI WATHONI, Giri Menang
Adzan asar berkumandang. Beberapa orang dari empat penjuru mata angin bergegas menuju musala yang ada di Pantai Senggigi. Mereka bukanlah wisatawan. Itu bisa dilihat dari sejumlah barang yang ditentengnnya. Mereka ini pedagang.
Barang dagangan dipikul menggunakan tas ransel. Mirip seperti ransel para TKI yang akan berangkat ke Malaysia. Isinya bervariasi. Mulai dari baju kaos, songket, hingga hasil kerajinan tangan. Setelah menaruh tasnya di pelataran musala, mereka siap-siap mengambil air wudhu. Satu per satu mereka bergiliran. Ada sekitar enam orang. Mereka bergiliran karena keran air hanya tiga unit yang mengalir.
Empat rakaat telah dituntaskan. Para pedagang ini bergegas siap berjualan. Sayang, mereka terlihat kebingungan mencari pelanggan. Mereka memalingkan pandangan ke kiri dan ke kanan. Tetap terlihat tidak ada wisatawan.
Akhirnya, mereka pun sepakat berkumpul di sebuah warung kopi portabel. Warung ini bisa bongkar pasang. Lokasinya hanya beberapa meter dari musala di Pantai Senggigi. “Tunggu wisatawan datang dulu. Nanti agak sorean biasanya ada beberapa yang datang lihat sunset (matahari terbenam, Red),” aku Azwar, salah seorang pedagang kepada Lombok Post.
Warga Desa Midang Kecamatan Gunungsari ini terlihat tak tenang. Raut wajahnya menggambarkan demikian. Bisa ditebak, kegelisahannya lantaran kondisi kunjungan wisatawan ke Senggigi belum menunjukkan tanda-tanda peningkatan. Terhitung sejak terjadinya gempa yang membuat kabur para wisatawan. “Sudah dua hari ini zonk (tak ada pembeli). Makanya bingung kita apa yang mau dibawa pulang untuk anak istri,” tuturnya setengah nada curhat kepada Lombok Post.
Kondisi ini dihadapi bapak dua anak ini sudah tiga bulan. Meskipun ia mengaku mulai berjualan sekitar dua bulan. Karena sekitar sebulan lebih, ia dan keluarganya memilih tinggal di pengungsian.
Hingga saat ini ia mengaku belum ada tanda-tanda pariwisata Senggigi normal kembali. Kondisi ini menurutnya yang terlama dialaminya. Meski beberapa kali kondisi pasang surut kunjungan wisatawan ke Senggigi kerap terjadi. Misalnya saja ketika ada Bom Bali, Erupsi Rinjani, hingga kejadian-kejadian yang berdampak pada pariwisata lainnya. “Biasanya sebulan sudah normal kembali. Ini sudah tiga bulan masih belum ada tanda-tanda pulih,” tuturnya.
Hal ini pun berdampak pada omzet para pedagang. Sebelum gempa, sehari mereka bisa mengantongi omzet ratusan ribu bahkan jutaan. Terlebih pada Bulan Agustus hingga Oktober seperti saat ini. Omzetnya bisa mencapai Rp 1 juta ke atas. “Bisa itu. Bahkan tembus Rp 1,5 juta per hari,” aku Azwar.
Dengan keuntungan bersih yang bisa dibawa pulang mencapai ratusan ribu. Sayangnya, pascagempa terjadi, kondisi terbalik 180 derajat. Sehari, para pedagang kadang tidak bisa mendapatkan pembeli satu pun. “Tapi Alhamdulillah memang ada yang sudah mulai belanja. Kebanyakan dari para relawan yang datang ke Lombok,” ucap pria yang sudah berjualan sejak 30 tahun lalu itu.
Sayang, para relawan pun kini telah pergi. Sehingga para pedagang kembali kebingungan. Khususnya untuk menutupi kebutuhan hidup sehari-hari. “Ya terpaksa saya minta istri berhutang beras. Kita saja sekarang bawa bekal dari rumah untuk jualan. Soalnya kadang kalau nggak ada yang beli, kita nggak bisa makan,” tuturnya tertawa.
Dengan kondisi ini, para pedagang mengaku tetap istiqomah berjualan. Mereka hanya bisa berharap para wisatawan datang kembali. Dengan harapan barang yang mereka jual bisa terbeli. (*/Lombok Pos)