Hidup jauh dari orangtua memang tidak mudah, terutama menyangkut kebutuhan hidup seperti makan. Minimnya ketersediaan pangan hingga keuangan terbatas kerap memaksa mahasiswa mengonsumsi mi instan untuk mengisi perut. Meredakan lapar.
eQuator.co.id – PONTIANAK-RK. Dari penelusuran Harian Rakyat Kalbar di Rumah Susun Mahasiswa (Rusunawa) Universitas Tanjungpura (Untan), Sabtu (9/12), terungkap fakta bahwa setiap kamar mahasiswa terdapat mi instan. Salah seorang penghuni Rusunawa, Heliana menyebut, mi instan berbagai merk ibarat makanan ‘wajib’ mahasiswa. Praktis dan bisa dimasak dalam waktu singkat, menjadikannya makanan idola kaum cerdik dan pandai di sana.
“Saya paling sedikit makan mi instan seminggu tiga kali. Kadang di waktu pagi, kadang pada malam hari,” ucap Heliana dijumpai wartawan koran ini di Blok Enggang 1, Komplek Rusunawa Untan.
Mahasiswi Fakultas Hukum itu membeberkan, setiap kamar di Rusunawa rata-rata menyetok mie instan sebagai persediaan makanan. “Paling sedikit dua bungkus di kamar. Saya pribadi, kalau habis stok mie, tinggal pergi beli. Kan dekat dengan warung,” ujarnya.
Di Untan, ada tiga Rusunawa. Khusus Blok Enggang 1 terdapat 24 kamar. Satu kamar diisi hingga empat mahasiswa-mahasiswi. Jika dikalkulasikan, ada 96 orang yang menghuni Rusunawa untuk satu blok.
Menurut Heliana, dari 24 hunian, masing-masing mahasiswa (maksimal 4 orang perkamar) menyetok indomie. Minimal dua. Ada juga lebih, hingga belasan bungkus. Hitungan kasarnya, sehari sekitar 192 bungkus mi instan tersedia di Rusunawa. Kalau dikalikan selama sebulan, sekitar 5.760 mi instan yang terbeli oleh mereka.
“Setiap kamar dipastikan ada meski saya tidak pernah masuk semua kamar di Blok Enggang 1 ini. Tapi, dari beberapa kamar teman-teman saya, semuanya pasti ada nyetok mi instan. Cuma tidak ada yang menyetok sampai satu dus, paling banyak mungkin 15 bungkus,” ungkap dia.
Fakta lainnya, mahasiswi tidak selalu mengonsumsi mi instan. Sebab, rata-rata mereka punya kepandaian masak di dapur, asal ada bahan seperti sayur dan bumbu-bumbu.
“Kalau cowok-cowok, ada yang setiap hari makan mi instan,” tutur Heliana.
Hal ini diketahui dia ketika temannya mencurahkan isi hati (Curhat) tatkala bertemu di kampus. “Kadang mereka mengeluh, setiap hari harus makan mi instan. Pagi, siang, dan malam, makan mi instan. Karena cowok kan kebanyakan tidak pandai masak,” tukasnya.
Wajar saja. Selain harganya murah, mengkonsumsi mi instan sangat praktis. Jadwal kuliah para pelajar tingkat “maha” ini beragam. Ada yang santai, ada yang super sibuk.
“Kadang, kalau siang tidak ada sayur dan saya harus ke kampus, sehingga tidak sempat masak, paling cepat ya masak mi instan,” ucap Heliana.
Dia sendiri rutin konsumsi mi instan seminggu tiga kali sejak tiba di Pontianak untuk menempa pendidikan di Untan. “Saya sudah tiga tahun. Dari pertama kuliah atau merantau ini, pasti ada makan mi instan,” paparnya.
Dara kelahiran 10 Januari 1996 itu mengaku, secara pribadi belum pernah merasakan efek negatif dari mengonsumsi mie instan secara berlebihan. Padahal, ia tergolong sering makan makanan praktis itu.
“Tapi, ada teman satu kamar saya, dia kebanyakan makan mi instan pernah mengalami pusing-pusing. Bahkan muntah. Biasanya dia makan mi instan itu di pagi hari, mungkin karena belum diisi makanan lain. Mungkin konsumsi mi instan bisa bikin masuk angin,” beber Heliana.
Temannya itu bernama Madona. Mahasiswi Fakultas Hukum Untan asal Kabupaten Landak. Menurut Heliana, satu hari, terkadang kawan sekamarnya itu bisa mengonsumsi tiga bungkus mi instan. “Pagi, siang dan malam,” sebutnya.
Paling sedikit, koleganya itu makan mi instan seminggu lima kali. “Ada juga teman saya satu kamar bernama Nia. Dia juga asal Landak. Sepanjang bulan lalu, setiap hari makan mi instan itu,” ungkap Heliana.
Heliana berasal dari Dusun Pelaik, Desa Sebentek, Kecamatan Teria, Kabupaten Bengkayang. Ayah dan ibunya seorang petani. Karet dan palawija komoditas yang mereka tanami. Kira-kira luas lahannya sekitar satu hektar. Hasil berkebun dan bercocok tanam itulah yang digunakan sebagian untuk menghidupi Heliana di Pontianak.
Ia tidak dapat menjabarkan berapa penghasilan orangtuanya sebulan. Sebab, pendapatan mereka bergantung kondisi alam.
“Tergantung hasil toreh. Kalau cuaca bagus, baru bisa noreh. Kalau hari hujan, tidak bisa noreh. Dari itu ada pemasukan,” ucapnya.
Heliana punya lima saudara. Dia anak bungsu. Kakak pertama, kedua, dan ketiga, sudah menikah. Abangnya nomor empat pun sudah bekerja.
“Tinggal saya sendiri yang masih mengenyam pendidikan,” urainya.
Satu bulan, untuk hidup di kota semi metropolitan semacam Pontianak, Heliana dikirimi orangtuanya sedikit uang. Antara Rp400 ribu hingga paling banyak Rp600 ribu.
“Tapi kadang ada, kadang tidak,” cerita dia.
Uang Rp400 ribu digunakan Heliana untuk kebutuhan makan sehari-hari, juga keperluan kuliah. Jadi, dia dituntut piawai untuk mengatur uang yang dikirim orangtua dari kampung halaman.
Di Pontianak, Heliana harus membayar ongkos Rusunawa. Satu bulan, uang sewa Rusunawa sebesar Rp500 ribu. Karena ditinggali empat orang, jadi setiap mahasiswi patungan Rp125 ribu untuk biaya sewa.
“Itu belum termasuk ongkos listrik dan air. Listrik dan air beda lagi. Dan pembayarannya tergantung pemakaian, paling tinggi satu bulan harus mengeluarkan uang senilai Rp40 ribu. Itu untuk satu orang,” jelasnya.
Nah, jika dihitung, untuk keperluan biaya sewa Rusunawa plus listrik dan air saja, ia harus mengeluarkan minimal Rp165 ribu perbulan. Tentunya, kiriman Rp400 ribu perbulan berkurang sudah.
“Kalau beras, saya dikirim ibu dari kampung. Paling di sini belanja sayur, bumbu dapur, sama keperluan air minum. Untuk sayur, kadang beli dan terkadang kami metik di hutan. Pakis, daun ubi, dan sebagainya untuk dimasak,” kisah Heliana.
Uang Rp400 ribu, jelas tidak cukup untuk keperluan kuliah dan kebutuhan makan. Tapi anak bungsu Pinus itu pandai cari tambahan. Dia mencari kerja sampingan untuk keperluan hidupnya.
“Saya bekerja dengan keluarga jauh. Misalnya nganterin anaknya sekolah dan belikan barang. Jadikan ada tambahan. Dari pekerjaan ini, saya bisa mendapat Rp400 ribu. Kan kerja juga tidak setiap hari,” tuturnya.
Paling berat ialah keperluan kuliah. Minimal Heliana mengeluarkan Rp400 ribu untuk keperluan pendidikannya itu. Seperti beli buku, bikin makalah dan print. Hitung saja, biasanya dia hanya dikirimi Rp400 ribu perbulan. Kiriman orangtua hanya cukup untuk keperluan kuliah.
“Makan dan sewa Rusunawa, uangnya dari hasil saya kerja,” ulasnya.
Karena itu, keterbatasan biaya dan minimnya pangan, memang memaksa Heliana untuk mengonsumsi mi instan kala lapar melanda. Tak ada pilihan lain selain mi instan yang murah nan praktis. “Masak makan pakai nasi putih saja,” selorohnya.
Laporan: Deska Irnan Syafara
Editor: Mohamad iQbaL