Perintahkan Kapolri Usut Tewasnya Dua Mahasiswa

UNJUK RASA. Ribuan mahasiswa gabungan dari berbagai perguruan tinggi di Kota Pontianak padati jalan A Yani dan Gedung DPRD Kalbar, Rabu (25/9). Mereka menyampaikan 8 tuntutan kepada para wakil rakyat Kalbar itu. Rizka Nanda-RK

eQuator.co.id – Pontianak-RK. Ketika lonceng kematian demokrasi di negeri ini berdenting, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Tanjungpura (Untan) pun mencela kepolisian. Atas arogansi dan tindakan represif mereka. Yang terindikasi menyebabkan tewasnya dua mahasiswa di Kendari, Sulawesi Tenggara.

“Kami mengecam tindakan represif aparat yang telah membuat saudara kami di Kendari itu meninggal dunia,” ujar Kaharudin, Ketua BEM Untan, kepada Rakyat Kalbar, Jumat (27/9).

Mewakili civitas Mahasiswa Untan, ia menyampaikan duka mendalam atas meninggalnya  Randi, 21, dan Muhammad Yusuf Kardawi, 19, mahasiswa Universitas Haluoleo, Kendari. Keduanya meregang nyawa diduga korban arogansi represif oknum aparat saat mengamankan demonstrasi.

Ibu Pertiwi memang kembali menangis. Gelombang demonstrasi mahasiswa menolak RUU KUHP kontroversi itu berdarah-darah. Meninggalkan duka yang dalam. Memantik kegeraman sekaligus kemarahan Mahasiswa Untan.

Kata Kahar, karib dia disapa, perjuangan suci mahasiswa diberangus dengan cara-cara kejam. Dituduh ditunggangi dan dihujat dengan stigma lainnya yang tak berdasar.

“Kami meminta Presiden Joko Widodo, agar memerintahkan Kapolri untuk mengusut peristiwa ini. Oknum aparat yang melakukan tindakan represif sampai menghilangkan nyawa harus ditangkap,” ujarnya, yang mengaku kecewa dengan sikap pemerintah kini.

“Pemerintah harus bersikap dengan kejadian ini. Kami meminta Kapolri usut tuntas pelaku yang membuat saudara kami tewas,” tegasnya.

Seharusnya, ia melanjutkan, gerakan mahasiswa melakukan aksi protes terhadap kebijakan pemerintah terkait RUU KUHP sejatinya dilindungi Undang-Undang. Bukan justru dibungkam dan dihentikan dengan cara represif.

Senada, Sekretaris Kelompok Kerja (Pokja) Rumah Demokrasi Kalbar, Giat Anshorrahman. Ia menyatakan bahwa tindakan represif aparat terhadap para demonstran aktivis mahasiswa menolak RUU KUHP, tidak bisa dibenarkan.

Tindakan-tindakan represif, kata dia, tidak hanya sekedar melanggar aturan. Tetapi sudah mengekang hak asasi orang untuk menyampaikan pendapat di muka umum.

“Tak boleh dilarang, apalagi dibungkam dengan cara-cara yang kejam,” geramnya.

Secara historis, lanjut ia, demonstrasi merupakan satu diantara instrumen penting dalam melahirkan dan menegakkan demokrasi yang utuh di negeri ini. “Jatuhnya korban dua mahasiswa di Kendari diduga akibat tindakan represif aparat kepolisian. Ini membuktikan bahwa polisi gagal dalam menjalankan tugasnya sebagai pengayom, pelindung, dan pelayan masyarakat,” ujarnya.

Apalagi, ia menerangkan, aksi demonstrasi yang dilakukan teman-teman mahasiswa itu tidak mengganggu stabilitas Negara. “Sejatinya aparat kepolisian berkewajiban menjaga keamanan saat proses penyampaian pendapat yang dilakukan mahasiswa,” ujar Giat.

Jika pun terjadi rusuh, aparat tidak boleh membalas dengan represif. Karena tindakan kekerasan hanya akan kembali melahirkan kekerasan.

Unjuk rasa mahasiswa di gedung DPRD Kendari yang menewaskan dua mahasiswa, kata Giat, harus diproses oleh lembaga kepolisian secara profesional. “Siapapun yang terbukti membuat orang kehilangan nyawa, wajib dihukum tegas,” tegasnya.

Terlebih, kalau pelakunya adalah aparat yang melakukan pengamanan demonstrasi itu. “Makanya, kasus tersebut harus diusut secara cepat sampai tuntas. Jangan sampai kasusnya tenggelam di tengah jalan,” harap Giat.

Ia menilai, Kapolri sebagai pimpinan tertinggi kepolisian harusnya sudah ditegur oleh Presiden, atas tragedi demonstrasi mahasiswa di Kendari tersebut. “Presiden atau pihak berwenang harus mengambil langkah tegas. Bisa saja mencopot pejabat-pejabat terkait,” ucapnya.

Masih dikatakan Giat, dalam pengamanan aksi demonstrasi mahasiswa, mestinya aparat kepolisian mengedepankan langkah-langkah persuasif. Jika akhirnya ada penyusup yang menginginkan terjadi rusuh, mestinya aparat kepolisian sudah mendeteksinya.

Sebab, polisi mempunyai perangkat intelijen. Harusnya dengan informasi intelijen itu, potensi bentrok dalam kegiatan aksi bisa segera dicegah. “Di luar itu, kita sebenarnya meminta polisi menggunakan hati mengamankan unjuk rasa. Kedepankan negosiasi, bila suasana tidak kondusif,” tuturnya.

Imbuh dia, “Jangan hanya mahasiswa saja yang suruh dewasa menyampaikan pendapat, mustinya polisi harus lebih dewasa mengamankan aksi unjuk rasa agar berjalan tertib”.

Laporan: Abdul Halikurrahman

Editor: Mohamad iQbaL