eQuator.co.id – PONTIANAK-RK. Presiden Joko Widodo telah memastikan Ibu Kota Negara akan pindah ke salah satu provinsi di Pulau Kalimantan. Disampaikan di hadapan anggota DPR, DPD, para sesepuh, dan tokoh bangsa. Juga seluruh rakyat Indonesia ketika presiden menyampaikan Pidato Kenegaraan di Kompleks Parlemen Jakarta, Jumat pekan lalu.
Menyikapi pemindahan ibu kota ini, Guru Besar bidang ekonomi Universitas Tanjungpura Pontianak, Prof. Dr. Eddy Suratman, mengatakan wacana tersebut akan berdampak positif bagi pertumbuhan ekonomi Kalbar. “Dalam perkiraan Bappenas, pertumbuhan ekonomi Kalbar diperkirakan 5,2 sampai 5,9 persen sampai 2024, normalnya akan seperti itu, tapi saya katakan dia akan bisa lebih tinggi dari itu, di atas 6 persen kalau pemindahan ibu kota betul dilakukan,” ucapnya, Minggu (18/8).
Belakangan, Eddy memang banyak dimintai pendapatnya: “Ada yang bertanya, kalau ibu kota dipindahkan ke Kalimantan kan bukan di Kalimantan Barat, apa dampaknya bagi Kalimantan Barat?” imbuh dia.
Ia menjawab dengan tegas: jelas berdampak. Karena Jalan Trans Kalimantan sekarang sudah terbuka. Arus orang, barang, mudah untuk bergerak ke sana.
“Saya kira di sisi kiri kanan jalan yang baru dibangun itu akan berdiri tempat-tempat usaha, ekonomi akan hidup karena orang bergerak ke sana, ke pusat ibu kota negara, akan ada uang yang mengalir untuk membangun Kalimantan dan akan ada percepatan pembangunan,” papar Eddy.
Guna menyambut pemindahan ibu kota, Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas Tanjungpura Pontianak ini menerangkan, sumber daya manusia di Kalbar harus dibekali dengan bermacam-macam pelatihan. Namun, pelatihan yang dilakukan tidak boleh meniru model-model pelatihan lama, seperti pelatihan menjahit dan tata boga.
Berkaca pada kondisi terkini, Eddy menyarankan supaya pelatihan yang dilakukan difokuskan pada bidang ekonomi digital. Jika hal itu dilakukan, ia memastikan masyarakat Kalbar akan bisa berperan lebih. Dan tidak hanya menjadi objek dari perpindahan ibu kota tersebut.
Selain itu, lanjut dia, Kalbar juga mesti menggalakkan industrialisasi. Demi menambah nilai ekonomi produk-produk yang dihasilkan oleh masyarakat. Salah satu contoh yang bisa dilakukan ialah mengganti kebiasaan menjual barang mentah dengan menghasilkan produk-produk olahan.
“Kalau ibu kota pindah kita masih begini, apa juga yang bisa diperbuat, malah jadi penonton, jadi objek dan pembeli barang, kalau beberapa hal tadi (penguatan SDM dan industrialisasi,red) kita lakukan, kita bisa mengambil manfaat dari uang yang masuk ke Kalimantan,” pungkas Eddy.
Pada Jumat (16/8), presiden memang mempertegas rencana pemindahan ibu kota negara. Yang dinyatakannya dalam pidato kenegaraan sidang bersama DPD dan DPR, di Ruang Rapat Paripurna I, kompleks parlemen Senayan, Jakarta.
“Dengan memohon rida Allah, dengan meminta izin kepada DPR yang terhormat, para sesepuh dan tokoh bangsa dan dukungan seluruh rakyat Indonesia, dengan ini saya mohon izin untuk memindahkan ibu kota negara kita ke Pulau Kalimantan,” ucapnya. Imbuh dia, “Ini demi terwujudnya pemerataan dan keadilan ekonomi, demi visi Indonesia maju, Indonesia yang hidup selama-lamanya”.
Diungkapkan, rencana pemindahan ibu kota juga dilakukan karena adanya ketimpangan dengan pulau-pulau di luar Jawa. Selama ini, denyut kegiatan ekonomi secara umum masih terpusat di Jakarta dan Pulau Jawa. Karena itu, rencana pemindahan ibukota dinilai mampu mendorong pertumbuhan ekonomi baru, sekaligus memacu pemerataan dan keadilan ekonomi di luar Jawa.
“Ibu kota baru dirancang bukan hanya sebagai simbol identitas, tetapi representasi kemajuan bangsa, dengan mengusung konsep modern, smart, and green city, memakai energi baru dan terbarukan, tidak bergantung kepada energi fosil,” papar Jokowi.
Menurutnya, dukungan pendanaan bagi pemindahan ibu kota akan sekecil mungkin menggunakan APBN. Pemerintah akan mendorong partisipasi swasta, BUMN, maupun skema Kerja sama Pemerintah Badan Usaha (KPBU).
Namun, Jokowi tidak menyampaikan dengan spesifik wilayah Kalimantan mana yang diincar menjadi ibu kota negara baru. Sejauh ini wacana yang menguat adalah di kawasan Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) dan Kalimantan Tengah (Kalteng).
Dan, pemerintah langsung merinci anggaran yang dibutuhkan. Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro mengatakan kebutuhan investasi untuk ibukota baru sekitar Rp 485 triliun. Meski demikian, sejumlah dana tersebut tidak akan sepenuhnya diambil dari dana APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara).
“Investasi bisa datang dari APBN, APBD, BUMN maupun swasta,” ujarnya kemarin (16/8).
Dana investasi tersebut untuk membangun ibukota baru dengan luas lahan 40 ribu hektar untuk dihuni 1,5 juta orang. “Itu kebutuhan investasi selama 5 tahun ke depan. Peran APBN adalah Rp 93 triliun,” ungkapnya.
Ia memastikan investasi untuk pembangunan ibukota baru tidak akan mengganggu RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) 2020 – 2024. “Tahun 2020 kebanyakan persiapan untuk ibukota baru lebih banyak pada persiapan masterplan, urban design, status hukum, kesiapan UU di DPR dan persiapan lahan untuk dibangun sudah diantisipasi baik di Bappenas maupun Kementerian PUPR,” terangnya.
Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi menyebut, infrastruktur utama yang paling penting terkait ibu kota baru di Kalimantan adalah infrastruktur udara. Saat ini, menurut dia, baik di Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, ataupun Kalimantan Timur semuanya sudah memenuhi klasifikasi standar bandar untuk pesawat.
“Panjang runway paling enggak 2.500 meter. Jadi di tempat mana pun dimungkinkan untuk yang dasar. Baru nanti kita tingkatkan akan menjadi 3.000 meter. Untuk membesarkan terminal juga tidak terlalu sulit,” ujarnya.
Laporan: Rizka Nanda
Editor: Mohamad iQbaL