Ritual Manik ke Nembiak di Desa Pakak

Kaum Tua Mewariskan, yang Muda Melestarikan

MANIK. Salah seorang wanita tetua, orang yang dituakan dalam masyarakat Desa Pakak, memandikan satu dari enam bayi untuk pertama kalinya dalam rangkaian ritual Manik (mandi) ke Nembiak (bayi) di Sungai Genik, Sintang, Sabtu (25/6). Marselina Evy-RK

eQuator.co.id – Gawai adat di kampung merupakan rangkaian beberapa upacara. Semua memiliki tujuan khusus. Ada yang untuk memberkati padi, memandikan bayi ke sungai pertama kali, pindah ke rumah baru, dan menikah. Berikut kisah upacara Manik ke Nembiak di Desa Pakak, Sintang.

Faren Melisa Betau sedang terlelap dalam buaian. Bayi perempuan yang lahir 23 Maret 2016 itu tentu tak peduli dengan keriuhan yang terjadi di sekelilingnya. Di dapur, ibunya, Anita sibuk menjamu orang-orang yang datang ke rumah. Sementara, Sang Ayah, Abraham sedang memotong daging untuk lauk.

“Kami sangat senang bisa menyelenggarakan upacara adat memandikan bayi ini. Sebagai kaum muda di masyarakat, kami bangga bisa ikut serta menjaga tradisi leluhur,” tutur Anita, di kediamannya, Desa Pakak, Kecamatan Kayan Hilir, Sintang.

Ayah Anita, Rumah Pinsin, lah yang bertindak sebagai tuan rumah untuk upacara manik ke nembiak (memandikan bayi) dalam bahasa Dayak Desa kali ini. Di sudut dapur, sekelompok perempuan paruh baya sibuk memotong sayur. Ada juga yang memasak di tungku kayu di pojokan. Ibu lainnya menyajikan sayur, nasi, dan lauk. Sejumlah anak-anak berpartipasi mencuci pinggan dan cangkin (piring dan cangkir ukuran 150 mililiter air yang terbuat dari beling/kaleng). Di ruangan lain, terdengar bunyi kerincing menyemarakkan yang menambah semarak suasana rumah.

Sementara itu, dua keluarga Anita, Susi dan Ester, mempersiapkan diri. Mereka mengenakan pakaian adat Dayak Desa Sesat. Kain tenun yang dipakai mereka berwarna hitam yang ditating gerunung, dalam bahasa Indonesia: dipasangi kerincingan. Kalung manik-manik beberapa buah koin pun dikenakan. Berbagai macam ikat pinggang berikut sebuah mahkota rapi juga terpasang di kepala dua gadis tersebut.

Tak ketinggalan, pasangan mereka. Dua pemuda yang akan menjaga mereka selama upacara berlangsung, Yuven dan Delmi. Masing-masing mengenakan rompi dan ikat kepala dari kain tenun.

Di sisi lain, seorang pria berusia 60-an tahun sedang sibuk memilih-milih bagian dari tubuh ayam yang telah dimasak. Dia adalah Dauh, salah seorang Dewan Adat di Desa Pakak. Ia menyiapkan Pegelak, sejumlah sajen yang akan digunakan pada upacara memandikan bayi pertama kali di sungai tersebut.

Pegelak berisi sebuah piring porselen yang diisi nasi, lemang yakni ketan yang dibakar dengan bambu, kelapa, potongan-potongan ayam serta daging lainnya, tepung beras goreng, sebatang rokok, dan daun sirih beserta pinang. Pegelak ini nantinya akan dihanyutkan di sungai.

“Ini makanan untuk para penunggu sungai. Harapannya, anak yang dimandikan selalu dijaga keselamatannya saat mandi atau bermain di sungai,” jelas Dauh.

Sang Bayi, Faren Betau lalu digendong oleh Susi bersisian dengan Yuven yang membawakan payung. Mereka berjalan ke arah sungai. Pasangan Ester dan Delmi akan menggendong Faren Betau saat selesai upacara di sungai.

Rombongan kemudian berangkat ke Sungai Genik yang mengalir di sisi kampung. Berjalan paling depan Sang Tetua Adat, Dauh. Ia memegang tombak dan Pegelak. Di belakangnya berjalan Klabau, ibu tua yang membawa api. Hanya bara api, di ujung kulit kayu pengikat rentengan cangkang siput hutan.

Di belakang Klabau, Faren Betau digendong Susi. Delmi yang memayungi Ester. Ikut serta orangtua Faren. Para penebah gong dan anggota keluarga yang lain meramaikan acara.

Di tepi sungai, Dauh mengucapkan serangkaian kalimat memanggil roh penunggu sungai, menyebutkan harapan agar Faren Betau dijaga ketika bermain di sungai seraya melemparkan isi piring Pegelak. Kelabau mengambil Faren dari Susi. Seraya melantunkan doa, Kelabau memandikannya dengan cara mencelupkan Sang Bayi beberapa kali ke dalam dinginnya air sungai. Bayi mungil itu tampak menikmati kesegaran air tersebut.

Kemudian, Kelabau menyerahkan Faren Betau kepada Ester. Ketika tiba di rumah, seorang kerabat menyambut rombongan dengan menyajikan tuak. Kedatangan rombongan disambut dengan letupan senapan untuk memeriahkan suasana.

Dauh lalu membawa rombongan masuk ke dalam rumah. Di tengah ruangan telah disiapkan sebutir kelapa tua dan tiga buah piring berisi beras yang diberi selembar uang sepuluh ribuan. Dauh menancapkan ujung tombak ke kelapa. Dengan memegang ujung lainnya, ia memimpin rombongan berputar sebanyak tujuh kali.

“Upacara manik ke nembiak tuk dah ari akik inik kitai meliak (upacara memandikan bayi sudah ada sejak jaman orang tua kampung dahulu,red),” tutur Dauh saat ditemui Rakyat Kalbar setelah upacara.

Ia berharap, “Pagi lusa keba nembiak kalah tuk tau mulah beketuk terus (kedepan, anak muda diharapkan dapat terus melestarikan upacara seperti ini, red)”.

Satu kali upacara biasanya dilakukan oleh beberapa keluarga sekaligus. Pada gawai kali ini, ada enam bayi yang dimandikan di Sungai Genik. Kaum tua mewariskan tradisi. Kaum muda menjaga tradisi.

ORANG DESA YANG TERSESAT

Orang Dayak Desa merupakan salah satu subsuku Dayak yang cukup besar mendiami Kabupaten Sintang. Menurut hasil pemetaan subsuku Dayak di Kalbar yang dibuat oleh Institut Dayakologi tahun 2008, Orang Dayak Desa tinggal di sekitar hilir simpang Kapuas. Ada tahun-tahun Orang Desa bermigrasi ke hulu Kapuas.

“Meliak ikau, kitai tuk kak mudik ke batang Ketungau. Urang tuai meliak angkat ari Batang Desa, ndai bereta (Dulu kala, kita ini mau bermigrasi ke Ketungau. Orang-orang berangkat dari muara Sungai Desa dalam kelompok kecil, red), ” tutur Badung, salah seorang Tetua Desa Pakak, Kecamatan Kayan Hilir, Sintang.

Sambung dia, “Sidak jekuk bepedanji nitih kai bunyi kukuk manuk, sampai de batang Kapuas, ndai sik dinga agik, bunyi antu kukuk manuk sidak tedulau tek (mereka berjanji untuk mengikuti suara kokok ayam. Namun sampai di persimpangan Kapuas dan Melawi, rombongan kita tidak lagi mendengar suara ayam)”.

Sambil sesekali berhenti untuk mengingat-ingat, karena saat kejadian tersebut Badung masih kecil, ia meneruskan kisah tersebut. Bahwa rombongan kecil itu kemudian bergerak mengikuti suara raung kodok rangkong.

“Desangka tek bunyi kukuk manuk, batak a raung. Yak me tenyuruh kitai tuk nyenang diri urang desa sesat (mereka menyangka suara kokok ayam karena nyaring, ternyata suara kodok rangkong. Itulah sebabnya masyarakat asli Desa Pakak menyebut diri mereka orang Desa Sesat),” papar Badung.

Sesekali menyeruput teh panas, Badung melanjutkan ceritanya. “Kitai mudik Melawi, tamak ke Kayan, mudik terus ke ulu Genik (rombongan melanjutkan perjalanan dengan perahu menelusuri Sungai Melawi terus masuk ke Sungai Kayan hingga ke salah satu anak sungainya, Sungai Genik),” jelasnya.

“Genik tuk mata aik a awak Bukit Bang (Mata air Sungai Genik ada di Bukit Bang),” ujar Badung. “Kitai lima bilik geliek agik te mulah Kampung Pakak (Hanya ada lima keluarga saja yang menjadi cikal bakal Kampung Pakak),” lanjutnya.

Sekarang, Desa Pakak memiliki penduduk lebih dari 300 kepala keluarga. Perkembangan sedemikian pesat karena banyak pendatang, masyarakat subsuku lain yang bermigrasi ke Pakak. Salah satunya karena pernikahan dengan orang luar suku.

Desa Pakak secara administratif terletak di Kecamatan Kayan Hilir, Sintang. Untuk mencapai desa yang terletak di kaki Bukit Bang ini, dapat menggunakan mobil atau sepeda motor. Lama perjalanan dari Sintang menggunakan sepeda motor kurang lebih dua sampai tiga jam.

Ada dua trek jalan yang harus dilewati. Selama satu setengah jam menempuh jalanan beraspal dari Sintang hingga ke Nanga Tikan. Perjalanan lebih dari dua puluh kilometer dilanjutkan dengan menelusuri jalan bertanah kuning.

Untuk mencapai Desa Pakak, dari Nanga Tikan akan melewati beberapa desa: Desa Nanga Telingan, Sebangkui, dan Lalang. Hampir di setiap desa terdapat subsuku tersendiri, hanya satu rumpun dengan satu sama lain sebagai ikatan. (*)

Marselina Evy, Sintang