Ramai-ramai Dukung Revisi Undang-Undang Pilkada

Eks Koruptor Jangan Jadi Calon Kepala Daerah

ilustrasi. net

eQuator.co.id – JAKARTA-RK. Komisi II DPR RI menyambut baik rencana pemerintah dan KPU mengajukan revisi Undang-Undang Pilkada. khususnya terkait pencalonan kepala daerah yang berstatus eks koruptor. Komisi yang membidangi masalah pemerintahan itu juga mendukung norma larangan mantan napi korupsi untuk jadi calon kepala daerah.

Wakil Ketua Komisi II Ahmad Riza Patria mengatakan, pihaknya mendukung berbagai upaya yang dilakukan pemerintah, KPU, dan masyarakat untuk menjadikan kualitas kepala daerah lebih baik. Salah satunya dengan mengajukan revisi Undang-Undang Pilkada sebagai dasar dalam pelaksanakan pilkada. “Kami dukung jika pemerintah dan KPU mengajukan revisi,” terang dia kepada Jawa Pos kemarin (31/7).

Politikus Partai Gerindra itu mengatakan, dia juga mendukung jika pemerintah maupun KPU mengajukan norma larangan bagi mantan napi korupsi untuk menjadi calon kepala daerah dalam revisi undang-undang nanti. Langkah itu merupakan bentuk pencegahan terhadap tindak pidana korupsi.

Selama ini, rencana revisi UU Pilkada belum pernah disampaikan ke Komisi II. Pihaknya pun masih menunggu langkah selanjutnya dari pemerintah maupun KPU. Tentu, kata dia, persoalan itu perlu dibahas bersama Komisi II sebelum pengajuan revisi undang-undang dilakukan.

Selain larangan bagi mantan napi korupsi untuk menjadi kepala daerah, Riza mengusulkan agar revisi UU Pilkada juga menyertakan larangan politik dinasti di daerah. Misalnya, jika seorang kepala daerah sudah selesai masa jabatannya, maka dia tidak boleh mengajukan anggota keluarga maupun kerabatanya sebagai calon kepala daerah. “Mereka baru boleh menyalonkan diri setelah lima tahun jabatan strategis itu diisi orang lain,” ungkapnya.

Ketua DPP Partai Gerindra itu mengatakan, aturan itu perlu dicantumkan dalam UU Pilkada agar tidak tercipta kerjaan kecil di daerah. Selama ini politik dinasti diwarnai dengan berbagai tindak pidana korupsi.

Nihayatul Wafiroh, wakil ketua Komisi II mengatakan, pihaknya juga mendukung jika pemerintah maupun KPU mengajukan revisi UU Pilkada. “Kalau pemerintah atau partai-partai meminta, tentu bisa dimasukkan ke dalam prolegnas,” terang dia.

Terkait larangan mantan napi korupsi menjadi calon kepala daerah, Ninik, sapaan akrab Nihayatul Wafiroh mengatakan, hal itu sangat bergantung dengan partai politik (Parpol). Jika partai ketat dalam melakukan seleksi calon kepala daerah, maka tidak akan ada eks napi korupsi yang dicalonkan.

Sebenarnya, larangan itu sama dengan larangan mantan koruptor menjadi calon legislatif yang diatur dalam Peraturan KPU (PKPU). Aturan itu akhirnya dibatalkan oleh Mahkamah Agung (MA). Jadi, yang paling penting dalam seleksi calon kepala daerah adalah partai. “Ada atau tidak aturan itu, menurut saya tidak berpengaruh jika partai kenceng dalam seleksi,” tutur politikus PKB itu.

Yang terpenting sekarang, lanjut dia, partai harus mempunyai komitmen untuk melakukan pencegahan korupsi. Salah satunya dengan tidak mengusung calon yang bermasalah dengan hukum, salah satunya mantan napi korupsi.

Sementara itu, Komisioner KPU Pramono Ubaid Tanthowi mengapresiasi pemerintah dan DPR yang kembali membuka peluang revisi UU Pilkada. ’’Sehingga apa yang diusung oleh KPU mengenai larangan mantan napi koruptor untuk dicalonkan lagi dalam pilkada mendapatkan landasan hukum yang lebih kokoh,’’ terangnya usai diskusi di kawasan Jakarta Selatan kemarin.

KPU punya pengalaman buruk ketika larangan tersebut diatur dalam peraturan KPU pada pemilu 2019 lalu. Ada yang menggugatnya ke Mahkamah Agung dan dikabulkan. Alhasil, KPU harus gigit jari karena eks koruptor boleh nyaleg. ’’Kalau itu dituangkan dalam revisi Undang-Undang Pilkada, kami berharap gagasan itu dirumuskan secara lebih tegas,’’ lanjutnya.

Pada pemilu 2019, eks koruptor hanya mencalonkan diri di level DPRD dan DPD. Tidak ada caleg DPR yang berstatus eks koruptor. Sebab, dalam pileg, pengurus parpol di daerah punya otonomi untuk menentukan siapa caleg yang diusung. Sementara, dalam pilkada, calon kepala daerah harus mendapat persetujuan dari DPP.

Bila DPP sudah menyetujui gagasan larangan eks koruptor untuk nyalon, makakomitmen itu akan lebih kuat untuk dijalankan. DPP bisa menolak ketika pengurus di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota hendak mencalonkan eks koruptor. Karena itu, Pramono optimistis gagasan tersebut akan mulus.

Di luar itu, Pramono berharap langkah tersbeut juga didukung seluruh rakyat. Sehingga tidak ada yang sampai mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi sebagaimana yang dilakukan kepada UU 8/2015. Namun, bila digugat lagi di MK, hakim bisa lebih progresif dalam memutus. Karena sudah ada fakta riil yang harus dicermati. ’’Bahwa mantan napi koruptor yang terpilih kembali itu potensinya besar untuk melakukan korupsi lagi,’’ tambah mantan Ketua Bawaslu Provinsi Banten itu.

Ketua Konstitusi dan Demokrasi (KoDe) Inisiatif Veri Junaidi mengingatkan, kasus bupati Kudus seharusnya sudah cukup menjadi dasar dalam merevisi UU pilkada. Kasus bupati kudus adalah fakta bahwa eks koruptor berpotensi menjadi residivis bila diberi kekuasaan lagi. ’’Kalau Undang-Undang memberikan ruang untuk itu (melarang eks koruptor nyalon), maka bisa dijalankan,’’ ujarnya.

Selain itu, posisi UU lebih kuat dibandingkan PKPU yang sempat menjadi perdebatan pada pemilu yang lalu. hanya saja, Veri mengingatkan bahwa waktu pelaksanaan pilkada sudah dekat. ’’maka pertanyaannya, apakah cukup waktu untuk merevisi atau tidak,’’ lanjutnya. bila memang hendak direvisi, maka sejak awal sudah harus ada limitasi. Mana saja pasal-pasal yang akan dibahas untuk revisi.

Mengenai peluang diuji materi kembali ke MK, menurut Veri tidak masalah. Bagaimanapun, uji materi adalah hak konstitusional setiap warga negara. Di forum sidang MK itulah perdebatan akan dibangun.

Sebelumnya Mendagri Tjahjo Kumolo membuka peluang revisi UU Pilkada untuk mengakomodir usulan larangan menjadi calon ekpala daerah bagi eks koruptor. Hanya saja, usulan itu baru bisa masuk setelah anggota DPR periode baru dilantik. ’’Semua bisa memberi masukan, kami akomodir dan akan kami bahas bersama,’’ ujar Tjahjo.

Awalnya, UU 8/2015 mengatur bahwa eks terpidana yang kasusnya punya ancaman hukuman penjara lebih dari lima tahun dilarang nyalon sebagai kepala dan wakil kepala derah. Namun, di tahun yang sama pasal yang memuat larangan tersebut digugat ke MK. Penggugatnya adalah dua eks terpidana kasus korupsi P2SEM (Program Penanganan Sosial dan Ekonomi Masyarakat) di Jatim, Fathor Rasjid dan Jumanto.

Hasilnya, MK mengabulkan permohonan kedua eks terpidana tersebut. Eks terpidana yang kasusnya diancam hukuman penjara lima tahun tidak boleh nyalon kepala daerah kecuali mereka mengumumkan statisnya sebagai eks terpidana kepada publik. termasuk dalam kategori terpidana tersebut adalah eks koruptor. Ketentuan itu kemudian diadopsi dalam UU itu UU 10/2016.

Berdasarkan penelusuran Jawa Pos, Sebelum kasus bupati Kudus Muhammad Tamzil mencuat, ada beberapa orang yang sempat tersangkut kasus korupsi namun terpilih menjadi kepala daerah. Ada juga yang terpilih sebagai kepala daerah dalam kondisi menjadi pesakitan karena terkait kasus korupsi. Bupati Natuna Hamid Rizal pernah menjadi terpidana korupsi pada 2010. Dia terpilih kembali pada pilkada 2015.

Kemudian, Bupati Tulungagung Syahri Mulyo, dilantik saat menjadi tersangka di KPK. kasusnya terjadi saat dia menjabat di periode pertama (lihat grafis). Pada 25 September 2018 lalu, Syahri dilantik oleh Gubernur Jatim Soekarwo di kantor Kemendagri, kemudian langsung dinonaktifkan. Rata-rata, kepala atau wakil kepala daerah bermasalah yang dilantik adalah petahana atau pernah menjabat sebelumnya. (Jawa Pos/JPG)