Produksi Massal Mobil Masih Harus Diuji Secara Ekonomi

Produksi Mobil

eQuator.co.id – JAKARTA – RK. Masih banyak tahapan yang harus dilalui agar mobil listrik dapat diproduksi secara massal. Apalagi kendaraan non BBM tersebut masih belum populer. Praktis, belum memiliki target pasar untuk penjualan.

Saat ini, mobil listrik masih berada pada tahap prototype 8 usai melewati rangkaian tes Tingkat Kesiapan Teknologi (TKT). Secara ilmiah, produk tersebut sudah lulus uji. Namun, apakah secara ekonomi oke? Belum tentu.

“Masih harus diuji untuk mengetahui tingkat inovasinya. Supaya secara ekonomi atau marketnya acceptable,” ucap Dirjen Riset dan Pengembangan Kemenristekdikti Muhammad Dimyati. Jika tidak diuji, imbasnya, setelah produksi massal malah penjualannya tidak terpenuhi alias tidak laku.

Masih banyak aspek yang harus dipikirkan. Antara lain, ketersediaan sparepart dan harga jual. Maka dari itu, lanjut Dimyati, pihaknya masih terus menggodok kesiapan dari segala aspek. Agar produk hasil riset yang digunakan tepat guna. Mantap secara teknologi sekaligus berguna dan dibutuhkan masyarakat.

“Kami tidak ingin mengulang yang sudah-sudah. Punya produk nasional macam-macam tapi tidak pernah bagus penjualannya setelah launching. Sales service-nya hampir tidak berjalan. jadi habis itu berhenti, kan sayang,” katanya.

Nah, pekerjaan untuk memassalkan tentu merupakan pekerjaan perusahaan industri otomotif. Dengan menggandeng perusahaan tersebut, lanjut Dimyati, maka akan ketahuan pasar dan segmen penjualannya seperti apa. “Walaupun secara scientific oke tapi kalau pasarnya tidak membutuhkan percuma. Dan kalau harganya tinggi juga sama saja. Pasti kalah sama yang lain,” ujarnya.

Sementara itu, dalam rapat terbatas yang dipimpin Presiden Joko Widodo di Istana Kepresidenan, Senin lalu (14/1), pemerintah akan memberikan insentif pajak kepada setiap produksi kendaraan bermotor listrik. Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan salah satu bentuk insentifnya adalah perbedaan pajak PPNBM (Pajak Penjualan atas Barang Mewah).

“Kalau tidak salah PPnBM-nya lebih rendah sekitar 50% dibandingkan yang mobil vehicle biasa, kata wanita yang akrab disapa Ani tersebut.

Selain itu, industri pendukung lainnya juga akan mendapatkan keuntungan yang serupa. Seperti industri baterainya, industri untuk memproduksi charger baterainya, dan juga industri pembuat komponen.

Namun, Ani belum bisa mendetailkan, insentif apa yang akan diberikan kepada industri pendukungnya. Saat ini, pihaknya masih memformulasikan. Di samping itu, perlu juga konsultasi dengan DPR. Sebab, sebagaimana ketentuan UU Pajak Pertambahan Nilai, pemerintah harus konsoltasi dengan parlemen.

Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto menambahkan, pemerintah menargetkan penggunaan kendaraan listrik bisa dilakukan secepatnya. Dan pada tahun 2025, diharapkan penggunaannya sudah mencapai 20 persen dari total kendaraan yang ada. Jadi kalau kebutuhan kendaraan itu 2 juta, 2 juta 2025, maka 400.000 itu mobil listrik, ujarnya.

Saat ini, pihaknya masih fokus untuk segera menuntaskan perpres tentang mobil listrik yang nantinya menjadi payung hukum pengembangannya. Termasuk di dalamnya pemberian insentif bagi industri. Perpres sebentar lagi. Tidak perlu menunggu pemilu, imbuhnya.

Sementara itu, Presiden Joko Widodo mengatakan, Indonesia bisa menjadi pemain utama di industri kendaraan bermotor listrik. Pasalnya, Indonesia memiliki semua bahan yang diperlukan dalam pembuatan lithium baterai yang menjadi kunci dalam produksi kendaraan bermotor listrik.

“Kita memiliki nikel, kobalt, mangan, yang itu menjadi sangat penting sekali dalam menyiapkan baterai untuk kendaraan listrik. Sehingga ini strategi bisnis negara ini harus mulai diatur, ujarnya.

Oleh karenanya, Jokowi menyebut dibutuhkan perencanaan yang matang dalam mewujudkannya. Baik dalam regulasi, maupun pengembangan kendaraannya. (Jawa Pos/JPG)