Perluasan Pasar Pacu Ekspor Indonesia

ilustrasi. net

eQuator.co.id – JAKARTA-RK. Perang dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok belum ada tanda-tanda mereda. Hal ini pula menyebabkan keterpurukan pada perdagangan global. Kebijakan Kementerian Perdagangan RI melakukan kerja sama dengan sejumlah negara untuk membuka peluang ekspor baru bagi produsen di dalam negeri dinilai positif mengatasi melambatnya ekspor Indonesia.

“Sudah tepat yang sedang diinisiasi sekarang,” ujar Ekonom Institute For Development of Economics and Finance (Indef) Ahmad Heri Firdaus, di Jakarta, Selasa (25/6).

Gencarnya upaya pemerintah melakukan perjanjian-perjanjian baru dengan negara-negara lain setelah tahun-tahun sebelumnya tampak vakum, dinilai sebagai hal positif yang diharap bisa mendongkrak neraca perdagangan ke depan.

Heri melihat, dalam 2 tahun terakhir memang upaya ini gencar dilakukan Kementerian Perdagangan. “Baru kali ini mau gencar lagi. Ini di satu sisi positif. Tapi, harus diantisipasi juga timbal baliknya,” imbuhnya, menyoal upaya Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita dan jajarannya.

Ia mengingatkan, ada hal yang harus diantisipasi. Untuk mengantisipasi timbal balik impor yang makin deras dari adanya perjanjian dagang, harus ada penguatan manufaktur. Kalau tidak, Indonesia akan sulit bersaing dengan produk luar.

Pemilihan negara berkembang, misalnya di kawasan Amerika Latin dan Afrika, pun diapresiasi karena dianggap bisa meminimalkan risiko lesunya perdagangan dari mitra dagang besar Indonesia yang sedang terlibat perang dagang.

Ekonom Universitas Indonesia (UI), Lana Soelastianingsih, mengakui upaya serius pemerintah terlihat dalam melakukan perluasan pasar. Walaupun masih dirasa minim pengaruhnya terhadap peningkatan ekspor. Namun, upaya pemerintah membuka akses pasar baru tetap patut diapresiasi.

“Ya itu patut diapresiasi. Harus kita hargai dong. Nggak boleh kita abaikan, karena yang namanya market diversification is a must, suatu keharusan. Diversifikasi produk pun is a must, suatu keharusan,” ujar Lana, Selasa (25/6).

Lana sendiri menilai, perluasan pasar dapat menyelamatkan Indonesia dari pelemahan ekonomi dunia, terutama yang disebabkan oleh perang dagang seperti yang terjadi sekarang. Di mana, perang dagang antara Amerika dan Tiongkok membuat ekspor Indonesia menurun.

“Sering terjadi kalau ada salah satu komoditas andalan Indonesia harganya naik misal kopi, siapa nih yang suka minum kopi, Uni Eropa. Kita ekspornya ke uni Eropa aja. Nggak cari alternatif pasar lain karena keenakan,” tegasnya

Diakui Lana dan Heri, untuk jangka pendek ekspor kita masih dipengaruhi oleh permintaan global, yaitu pasar-pasar tradisional Indonesia. Efek perjanjian dagang baru bisa terasa dalam kisaran setidaknya setahun. Terkait hal ini, sosialisasi yang gencar diperlukan supaya para pengusaha mampu memanfaatkan perjanjian dagang yang ada.

Sementara itu, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), ekspor Indonesia sepanjang Mei 2019 tercatat sebesar USD14,74 miliar. Nilai tersebut naik 12,42 persen dibandingkan bulan April 2019. Namun dibandingkan Mei tahun lalu, nilainya masih minus 8.99 persen.

Di sisi lain, nilai impor menurun 17,71 persen secara tahunan. Besarannya pada Mei 2019 berada di angka USD 14,53 miliar. Dengan kondisi tersebut, neraca dagang Indonesia tercatat surplus USD 0,21 miliar.

Neraca dagang sepanjang Januari-Mei 2019 masih mencatatkan defisit sebesar USD 2,14 miliar. Defisit itu terutama disebabkan oleh defisit migas sebesar USD 3,74 miliar. Sementara nonmigas masih mencatatkan surplus USD 1,6 miliar. (JPG/ova)