Perjuangan Mendidik Anak Penderita Disgrafia

Baru Bisa Mengeja Setelah Setahun Terapi

BERKEMBANG: Taufik Efendi belajar mengenal huruf dengan permainan aplikatif untuk penyandang disgrafia di Resource Center Gresik. Adi Wijaya-Jawa Pos

eQuator.co.id – Melihat buah hati lambat belajar, Umi Khoiriah bingung. Perempuan 44 tahun itu sangat ingin putranya yang mengalami disgrafia segera normal.

Adi Wijaya, Gresik

Musibah itu datang tanpa diduga. Saat buah hatinya, Taufik Efendi, jatuh dari kereta dorong pada 2009, Umi belum sadar benar dengan masalah yang lebih besar.
Bocah yang dipanggil Fendi itu ternyata mengalami disgrafia. Dia sulit mengungkapkan isi hati dan otaknya, serta susah belajar menulis. Pemicunya adalah gangguan motorik halus.
Gangguan tersebut mengakibatkan Fendi mengalami kelambatan dalam belajar. Umi mengungkapkan, waktu itu Fendi masih berusia 7 bulan. Dia jatuh dari kereta dorong dengan posisi terjungkal.

Kepalanya membentur lantai. ’’Waktu itu dia tidak saya bawa ke dokter. Hanya dipijat,’’ kata warga Kebomas itu saat ditemui di Resource Center (RC) Gresik pada Minggu (16/10).
Tahun-tahun berlalu. Umi baru sadar ada sesuatu yang tidak biasa pada buah hatinya tersebut. Proses tumbuh kembangnya lambat. Fendi baru bisa berjalan ketika berusia 3 tahun.

Padahal, rata-rata anak-anak seusianya sudah berjalan saat berusia sekitar setahun. Artinya, ada gangguan berat pada perkembangan saraf motoriknya. Bukan hanya motorik.
Perkembangan otak Fendi juga tergolong lambat. Anak kedua di antara tiga bersaudara itu belum juga bisa membaca dan menulis dengan baik.

’’Saya baru sadar pada 2015. Waktu itu dia hendak lulus taman kanak-kanak,’’ jelas Umi. Ibu tiga anak itu pun khawatir. Dia memutuskan membawa Fendi ke resource center (RC) untuk diterapi. Tujuannya, Fendi bisa mengejar keterlambatan tumbuh kembangnya. ’’Saya juga baru tahu ada tempat ini (RC, Red),’’ ujarnya.

Menurut Dwi Purwita Sari, pendamping RC yang menangani Fendi, anak penyandang disgrafia harus diterapi khusus. Salah satunya, terapi aplikatif yang bisa membantu mereka lebih mudah mengenal huruf.

Perempuan asal Bawean itu menunjukkan contoh sederhana. Untuk menjelaskan huruf A, anak harus dijelaskan perbedaan antara huruf besar dan kecil lebih dulu. Lalu, berikan contoh penggunaan huruf A pada benda atau objek tertentu. ’’Misalnya, A untuk apel,’’ terangnya sembari menunjuk gambar apel pada permainan aplikatif penyandang disgrafia.

Di RC, lanjut Umi, Fendi kerap diberi latihan untuk mengenal huruf ketika berada di rumah. Salah satunya, huruf A, B, A, C, A. ’’Jadi, disebutnya ABACA. Itu dilakukan satu hari sekali dan sebelum tidur. Kalau ke sini (RC), seminggu sekali,’’ paparnya. Di rumah, Umi benar-benar berupaya agar putranya segera bisa membaca dan menulis dengan baik.

Setelah terapi tersebut, kata Umi, perkembangan Fendi menunjukkan banyak kemajuan. Sudah hampir setahun berlalu. Setelah hampir setahun menjalani terapi, dia mulai mampu mengeja. Dulu Fendi sulit mengucapkan kata. Misalnya, kata panas hanya disebutkan belakangnya, yaitu nas. ’’Sekarang sudah bisa komplet, panas,’’ jelasnya. (*/JPG)