eQuator.co.id – Mencari pemilik email ternyata lebih sulit dibanding mencari pemilik website. Apalagi sudah banyak aplikasi pencari identitas pemilik website. Yang gratisan ada, yang berbayar juga ada. Atau sebenarnya ada, tapi saya tidak mengetahuinya.
Ada yang menyarankan agar menggunakan search engine. Hasilnya hanya nama email itu saja. Tidak saya temukan aplikasi pencari pemilik email. Apalagi email yang saya cari itu tidak ada kemiripan dengan nama orang.
Misalnya, email intartosaja@gmail.com memiliki relasi dengan nama intarto. Ini masih lebih mudah ditelurusi. Tapi kalau nama emailnya: kutukupret@gmail.com atau kodokngorek@gmail.com? Tentu lebih sulit. Saya belum pernah mendengar ada orang dengan nama Kutu Kupret atau Kodok Ngorek.
Betapa pun sulitnya, saya harus berusaha menemukannya. Tapi tidak boleh berlama-lama. Sebab pengurus pesantren yang ada di dalam video itu merasa terganggu dengan informasi yang tidak cocok antara video dengan narasinya.
Saya memang sempat mendatangi pengurus pondok pesantren itu. Menjelaskan duduk perkaranya. Mereka bisa memahami kronologinya. Tapi kemunculan video itu yang sekarang menjadi persoalannya. Bukan prosesnya. Tapi dampaknya.
Memang ada dua prosedur standar yang disediakan Youtube berupa pelaporan dan penyalahgunaan konten. Langkah ini sudah ditempuh teman-teman saya.
Tapi berapa lama Youtube atau Google akan menyelesaikan laporan itu? Bisa berhari-hari, berminggu-minggu. Bahkan ada yang bilang berbulan-bulan. Karena untuk mengambil tindakan atas laporan atau pengaduan itu, manajemen Google melakukan secara manual. Dengan mengerahkan tenaga manusia.
Proses paling cepat adalah kalau bisa mengakses email pembuat kanal itu. Tapi semua jalan menuju ke sana tampaknya sudah buntu.
Jalan pamungkas pun akhirnya saya lakukan. Membuat pengaduan secara online. Mengikuti prosedur Google Support. Seperti saran petugas di kantor Google Indonesia.
Dari semua pilihan alasan komplain, saya pilih yang terberat: pelanggaran atas hak cipta atau copyrights untuk seluruh durasi video.
Pengaduan copyrights ini punya risiko hukum. Antara lain, bisa diadukan pemilik kanal, kalau terbukti ‘’asbun’’ alias asal bunyi. Maksudnya main-main klaim tanpa punya bukti.
Pihak Google pun memperingatkan. Bila hasil penelitian atas klaim saya tidak kuat, email saya bisa dimatikan.
Tapi saya merasa punya bukti yang kuat. Sebab semua konten di dalam kanal tersebut memang produksi perusahaan saya. Tidak ada campuran konten pihak lain. Identitas perusahaan saya, bahkan nama-nama crew saya ada di bagian akhir. Termasuk nama saya.
Komplain saya kirim, balasan dari Youtube saya terima beberapa waktu kemudian. Mungkin dibalas mesin penjawab. Isinya standar. ‘’Kami butuh waktu, bisa berhari-hari, untuk melakukan penelitian secara manual atas klaim Anda untuk video dimaksud. Tindakan kami akan diinformasikan melalui email Anda….’’
Ada dua email yang saya kirimkan sebagai nomor konfirmasi. Email pertama yang sudah diblokir Google karena terlalu aktif mengakses email misterius itu. Email kedua adalah email pemulihan atas email pertama, yang terafiliasi dengan nomor selular istri saya. Yang sudah tidak aktif itu.
Menurut beberapa teman yang pernah mengalami nasib serupa, setelah menerima notifikasi komplain, sebaiknya jangan mengakses email misterius itu hingga 2 x 24 jam.
Saya tidak tahu mengapa ada batasan 2 x 24 jam. Teman saya juga tidak bisa menjawabnya. Pokoknya jangan diutak-atik dalam waktu 2 x 24 jam. Begitu pesannya.
Karena tidak paham dan tidak ada yang bisa menjelaskan, saya ikuti saja saran itu. Selama 2 x 24 jam saya lupakan email ‘’tak bertuan’’ itu.
Jumat 9 Maret, saya janjian dengan istri saya. Ngopi di Phoenam. Kafe yang menjadi langganan orang-orang Makassar. Saya suka kopinya. Kopi Toraja dark roasting. Pahit-pahit pekat. Saya harus minum dengan campuran susu, karena terlalu kuat rasa kopinya.
Di dalam taksi sepanjang perjalanan, saya pinjam handphone istri saya. Saya mau mencoba membuka email misterius itu dengan gadget tersebut. Siapa tahu bisa. Soalnya semua gadget saya sudah ditolak. Diblokir Google.
Saya sebenarnya tidak tahu prosedur yang tepat. Hanya coba-coba saja. Pertama, saya buka email saya melalui gadget istri saya. Berhasil.
Dari situ saya coba buka email misterius itu. Lho, kok mau? Google memberi informasi identitas dan nomor telepon lengkap pemilik atau pembuat email.
Ternyata email itu dibuat orang lain. Bukan saya. Bukan karyawan saya.
Orang itu membuat email hanya untuk membuat akun Youtube. Untuk memudahkan koreksi atas video yang dikerjakan karyawan saya.
Pekerjaan dari orang tersebut sudah selesai. Tapi akun Youtube masih terus digunakan karyawan saya untuk tujuan serupa dengan klien lainnya. Hingga tiga bulan kemudian.
Selama waktu itu, tidak ada yang pernah menanyakan, siapa pemilik email dan pembuat akun Youtube. Termasuk saya.
Mungkin karena saat itu baik-baik saja. Tidak ada yang menduga, bahwa setelah 17 Agustus 2013, akun Youtube itu akan ‘’tertidur’’ sampai empat tahun lamanya.
Selanjutnya Google menawarkan apakah saya akan mengubah alamat email dan nomor telepon pemulihan. Saya kemudian mengubah alamat email dan nomor telepon yang bisa saya kendalikan sendiri sepenuhnya.
Berhasil. ‘’Alhamdulillah…” kata saya dengan gembira.
Sopir taksinya sampai kaget. ‘’Ada apa pak?’’ tanya sopir itu.
‘’Dapat durian Pak,’’ jawab saya sekenanya.
Setelah perpindahan kendali email dan nomor pemulihan selesai, akun email saya di handphone Asus itu saya delete. Saya teruskan akses menggunakan Iphone saya.
Tapi untuk masuk ke akun Youtube saya masih trauma. Khawatir salah, kemudian macet lagi. Saya minta Rully yang ada di kantor untuk meneruskan langkah selanjutnya.
Tepat pukul 00:00 hari Jumat tanggal 9 Maret 2018, video yang menjadi pokok persoalan itu bisa ditutup untuk selama-lamanya.
Apakah karena complain saya diterima Google? Apakah karena sudah melewati 2 x 24 jam seperti saran teman-teman? Entahlah. Yang pasti, itulah untuk kali pertama dalam dua pekan, saya bisa tidur dengan pulasnya. (jto/habis)
*Admin www.disway.id dan blogger