“Mas Joko bisa menyediakan LED juga gak?” tanya seorang pria ketika saya sedang mengecek kesiapan sistem siaran langsung Analog Switch Off di kantor pusat Kemenkominfo, Jakarta Pusat, tadi malam.
Saya lirik sedikit. Ingin memastikan apakah saya mengenalnya. Ternyata saya baru bertemu muka sekali itu. Padahal saya sudah menjadi vendor teknik produksi dan live streaming di perusahaannya sejak dua tahun terakhir.
Hanya dari bajunya saya tahu: Ia karyawan perusahaan event organizer. Mungkin salah satu pimpinannya.
“Bisa,” jawab saya.
“Oh kirain hanya menyediakan VJ dan resolume,” sahutnya.
“Komplit bisa. LED saja bisa. Resolume dab VJ saja juga bisa,” jawab saya.
“Kalau begitu saya minta penawaran harganya. Saya butuh vendor LED komplit dengan genset, VJ dan resolume untuk event-event saya selanjutnya,” ujarnya.
“Siap komandan,” jawab saya.
Dalam bisnis vendor penyediaan alat dan system, kolaborasi adalah hal biasa. Saya bisa saja tidak punya LED. Tidak punya VJ. Tidak punya sound system. Tetapi selalu bisa menyediakan peralatan dan sistemnya dengan harga bersaing.
Rahasianya adalah kolaborasi itu tadi. Jagaters studio sebagai penyedia broadcast system bergabung dengan perusahaan lain yang menyediakan LED, lighting, sound system dan stage builder, membentuk konsorsium untuk melayani permintaan pelanggan.
Dengan kolaborasi, pengembangan usaha bisa dilakukan tanpa harus menambah kapital yang gila-gilaan. Mengadakan LED, sound system dan lighting bukan perkara sederhana.
Sudah harganya mahal, harus punya SDM operator dan gudang yang besar pula. Apalagi kalau peralatan itu dibeli dengan duit utangan. Kalau orderan sepi seperti sekarang, bisa pusing sendiri dikejar-kejar debt collector.
Teman saya, pengusaha rumah produksi di Jakarta Timur, mengeluhkan nasibnya tadi pagi. Ia sekarang pusing tingkat dewa karena kesulitan membayar pokok pinjaman di sebuah bank Rp 500 juta sebulan.
Omset usahanya memang terjun bebas sejak pandemi dua tahun lalu. Relaksasi yang diberlakukan pemerintah sudah tidak ada lagi setelah diberlakukan dua kali.
“Sekarang baru mulai bergerak. Walau belum bisa seperti dulu. Tapi bank tidak sabar,” kata teman saya.
Rasanya saat ini tidak banyak perusahaan yang bisa sabar. Apalagi terhadap utang-piutang. Cash is the king. Ungkapan itu sangat benar, pada nilai tukar rupiah merosot mendekati Rp 15.700 per US Dollar.(jto)