Berita ini memang bikin sedih. Geram. Marah. Bayangkan: Kondisi ini sudah terjadi sejak 2018. Berarti sudah tahun ke lima.
Pro rakyatnya di mana?
Persoalan yang dihadapi peternak rakyat dari lima tahun lalu ternyata sama:
1. Harga bibit DOC (day old chicken) mahal;
2. Harga pakan mahal
3. Akibatnya harga pokok produksi mahal.
4. Parahnya, peternak dipaksa menjual ayam hidup dengan harga di bawah harga pokok produksi.
Saya bukan peternak ayam. Hanya penggemar daging ayam.
Sewaktu masih kanak-kanak, Mbah Kakung saya membudidayakan ayam petelur. Tidak banyak: Sekitar 300 ekor. Dipelihara dalam kandang baterai 4 lantai berbahan bambu.
Panen telur menjadi kesibukan yang menyenangkan saya setiap pagi sebelum berangkat sekolah: Tahun 1974 – 1980.
Sebelum pandemi Covid-19, saya sempat mengunjungi sebuah peternakan ayam potong yang sangat besar di Slawi, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah. Kandangnya sangat besar: dua kali lapangan sepak bola. Berrangka baja. Tiga lantai. Kapasitasnya 2 juta ekor.
Model pengelolaan peternakan dalam rentang hampir 50 tahun ternyata sudah jauh berbeda. Dulu, kemungkinan besar (atau seluruh) peternakan ayam diusahakan oleh masyarakat. Maka dikenal istilah peternakan rakyat. Model bisnis ini masih berjalan sampai hari ini.
Belakangan, banyak perusahaan yang melirik potensi bisnis ayam potong maupun petelur. Dengan modal kuat, perusahaan ini tumbuh menjadi pemain besar dalam ekosistem bisnis ayam potong: Dari hulu ke hilir. Muncullah istilah peternakan industri.
Awalnya industri hanya menyediakan pakan. Lama-kelamaan meningkat sebagai penyedia DOC alias bibit ayam. Meningkat lagi menjadi penggemuk DOC menjadi ayam siap potong. Meningkat lagi dengan membuka usaha rumah potong ayam. Meningkat lagi menjadi produsen daging ayam beku. Meningkat lagi sebagai distributor daging ayam beku. Meningkat lagi sebagai pengecer daging ayam beku. Komplit
Dalam perkembangannya, industri peternakan ayam modern juga menggandeng masyarakat: Muncul istilah kemitraan usaha.
Model bisnisnya begini: Masyarakat berinvestasi membangun kandang modern, menyediakan biaya pokok produksi untuk membeli DOC dan pakan serta menanggung biaya operasional selam penggemukan. Peternak wajib membeli DOC dan pakan serta teknologi budidaya dari industri dengan iming-iming jaminan pembelian hasil panen.
Maka ada tiga model bisnis peternakan ayam potong:
1. Peternakan rakyat;
2. Peternakan industri atau modern;
3. Peternakan kemitraan antara industri dengan rakyat.
Nomor dua dan tiga itu kalau diperhatikan sebenarnya satu (sama). Sebab rakyat yang menjadi mitra industri hanya mendapatkan ongkos kerja menggemukkan ayam.
Dari sisi proses penggemukan, peternakan rakyat dan peternakan industri itu sama. Yang berbeda teknologinya budidayanya. Saya belum melihat kandang ayam milik peternak yang secanggih industri dan kemitraan: Berpendingin dan berpemanas udara, dilengkapi mesin pembagi air minum dan pakan nan modern. Semua dikendalikan secara digital (sekarang disebut artificial inteligent).
Perbedaan mencolok antara peternakan rakyat dengan peternakan industri adalah pada tahap pasca panennya. Peternakan rakyat menjual hasil panen dalam dua bentuk: Ayam hidup dan daging ayam segar (fresh). Sedangkan peternakan industri menjual dalam satu bentuk saja, yakni daging ayam beku (frozen).
Kalau pernah membaca buku “Strategi Perang” yang ditulis Sun Tzu, Anda pasti ingat dengan jurus ini: Juallah kapas saat panen jagung. Artinya, hasil panen kapas jangan langsung dijual. Simpan dulu beberapa bulan. Lepas ke pasar saat panen jagung.
Jurus itu mengajarkan kepada para peternak untuk mengontrol harga dengan cara melepas produk saat pasar dalam kondisi tidak jenuh.
Dalam Al-Qur’an, teknik serupa dilakukan Nabi Yusuf. Beliau diriwayatkan berhasil menyimpan hasil panen gandum tujuh musim subur untuk memenuhi kebutuhan rakyat selama tujuh musim paceklik.
Gudang penyimpan hasil panen. Itulah kuncinya. Dalam kasus daging ayam potong, peternak industri membangun gudang penyimpan sekaligus gudang pembekuan. Daging ayam dijual dalam kondisi beku (frozen). Produk bisa disimpan lama. Dilepas ke pasar boleh kapan-kapan.
Sedangkan peternak rakyat umumnya hanya menggemukkan ayam potong kemudian menjualnya dalam kondisi hidup atau daging segar (fresh).
Waktu penjualan ayam hidup dan daging segar tidak bisa lama. Ayam hidup yang tidak terjual akan membebani peternak karena tetap harus diberi makan. Daging ayam segar yang tidak terjual akan segera busuk dalam beberap jam.
Dari kunjungan ke peternakan ayam berkapasitas 2 juta ekor hasil kemitraan dengan perusahaan raksasa asal Korea Selatan itu, saya berkesimpulan: Cara pemerintah menolong peternak rakyat yang mendesak adalah:
1. Ada BUMN peternakan yang ditugaskan memproduksi DOC dengan harga jual wajar.
2. Ada BUMN pertanian yang ditugaskan memproduksi pakan berkualitas baik dan dijual dengan harga wajar.
3. Mendorong Bulog membangun unit pembekuan dan gudang daging ayam di sentra-sentra peternakan ayam yang bisa disewa peternak dengan harga wajar.
Daripada dana Rp 350 miliar dibelikan rice cooker, akan lebih baik kalau dialihkan untuk memperbaiki tata niaga ayam potong. Kelak, kalau pembenahan tata niaga itu berhasil, rakyat akan membeli rice cooker sendiri. (jto)