Penderita Lupus yang Tak Pupus Harapan

FOTO: Rosati Herma Safitri

eQuator.co.id – Menyandang penyakit lupus tidak membuat Rosati Herma Safitri menutup diri. Dia terus berbagi semangat kepada pasien lupus lain. Terutama kiat tidak menyerah terhadap penyakit yang menyerang seluruh anggota tubuh itu.

JariRosati Herma Safitri cukup manis. Dia mengenakan cincin berbentuk kupu-kupu di tangan kiri dan kanannya. Ukurannya agak menonjol. Aksesori itu digunakan bukan tanpa maksud. Kupu-kupu merupakan simbol bagi penyakit lupus, penyakit yang sudah diderita cukup lama oleh Rosi –sapaan akrab Rosati Herma Safitri. Dengan cincin itu pula, dia ingin dikenal sebagai survivor.
Menyandang lupus, Rosi tetap bekerja seperti biasa. Dia membaur dengan orang kebanyakan di tempat kerjanya di lantai 6 gedung WTC. Cara bergaulnya supel.
Karena itu, banyak yang mengenalnya. Ketika menemui Jawa Pos di lobi gedung, banyak pekerja lain yang menyapanya. Rosi juga membalasnya dengan ramah.
Saat pertama bertemu Rosi, tidak akan ada yang tahu bahwa perempuan 39 tahun itu penyandang lupus. Sebab, gerak tubuhnya saat bekerja lincah seperti pegawai pada umumnya.
”Kalau teman kantor, sudah banyak yang tahu karena kadang kambuh saat kerja,” ujarnya.
Lupus adalah penyakit gangguan sistem imunitas atau kekebalan tubuh.
Pada pasien lupus, kekebalan tubuh yang seharusnya melindungi dari serangan virus, bakteri, atau kuman malah memerangi jaringan dan organ tubuh sendiri.
Misalnya, otak, jantung, ginjal, limpa, paru, darah, mata, dan kulit. Jangan heran bila tubuhnya cepat lelah. Saat awal menderita, setiap selesai pelajaran olahraga di sekolah, kulitnya lebam.
Warnanya biru seperti terkena benturan. Selain itu, persendiannya sering merasa kesemutan. Dibutuhkan beberapa hari istirahat sampai tubuhnya membaik.
Setelah lulus dari kursus jurusan manajemen perhotelan, Rosi bekerja di WTC. Pada 1997, gejala lupus semakin kuat menderanya. Kesemutan terasa setiap saat di tangan dan kaki. Dokter di kantor merujuknya ke spesialis penyakit saraf.
”Diagnosisnya saraf lemah. Diterapi vitamin C dosis tinggi, tapi enggak ada perubahan. Malah ada nyeri dan linu di badan,” ucap perempuan berusia 39 tahun itu. Menurut dokter, seharusnya terapi tersebut tidak menimbulkan nyeri. Karena itu, sang dokter mencurigai ada yang salah dengan tubuhnya. Rosi diminta cek darah lengkap.
Dia diminta menunggu hasil tes setelah sepekan. Hasil pemeriksaan belum keluar saat Rosi mendadak jatuh ketika pulang kerja. Keluar dari angkutan kota menuju rumah, kakinya lemas. Sulit sekali digerakkan. Tangannya pun tak berdaya. Dengan bantuan keluarga dan tetangga, dia dibopong masuk ke rumah.
”Orang-orang bilang kena guna-guna. Saya enggak percaya hal-hal seperti itu,” ucapnya.
Keyakinannya terbukti benar. Hasil tes darah yang akhirnya keluar menunjukkan Rosi positif lupus. Awalnya, dia belum mengetahui apa itu lupus. Selain dari penjelasan dokter, dia mencari tahu sendiri penyakitnya.
Rosi sempat sedih saat mengetahui penyakit yang bernama lengkap systemic lupus erythematosus (SLE) itu bisa mengakibatkan kematian. ”Dokter bilang ini bukan sakit biasa. Butuh waktu lebih lama minum obat dan banyak pantangan,” katanya. Lupus juga diketahui sebagai penyebab kakinya lumpuh.
Tiga bulan penuh kakinya tidak bisa digerakkan. Kegiatan sehari-hari dibantu orang tua. Dia juga rutin menjalani fisioterapi di rumah sakit. Obat dosis tinggi untuk penyandang lupus dikonsumsi setiap hari. Kondisinya mulai membaik setelah tiga bulan perawatan. Akhirnya, kaki bisa digerakkan lagi. Meski begitu, Rosi tetap minum obat selama tiga tahun.
Setiap bulan selama setengah tahun dia harus rutin kontrol. Pada tahap selanjutnya, dia hanya kontrol tiga bulan sekali ke rumah sakit. Lupus tidak hanya menyerang kaki.
Tapi, juga darah dan persendian. Karena itu, Rosi sering mengalami mimisan. Beberapa kali darah tiba-tiba mengucur dari telinga. Ketika kulit terluka, nyerinya sampai ke tulang.
”Kalau luka, menggerogoti sampai ke daging. Massa kulit berkurang kayak dimakan,” ucap Rosi. Lupus juga membuat kakinya hampir diamputasi pada 2008.
Saat itu, muncul bintil di kaki kanannya. Lama-lama melebar sampai membentuk lubang besar dan bernanah. Dokter memvonis amputasi jika tidak membaik dengan pemberian obat oral dosis tinggi. ”Alhamdulillah, dengan obat dan berdoa dengan salat Tahajud, lukanya kering sendiri,” ujarnya.
Serangan terakhir terjadi pada Maret 2015. Kali ini saraf otaknya yang kena. Pembuluh darah di otak pecah. Akibatnya, Rosi pingsan. ”Waktu itu lagi kerja, manajer minta print-kan sesuatu. Tahu-tahu saya sudah nyungsep di bawah meja,” ucapnya.
Kejadian itu begitu terkenang lantaran bersamaan dengan hari ulang tahunnya. Tepatnya 22 Maret. ”Hadiah yang indah sekali,” ungkapnya. Rosi menyadari penyakitnya tidak bisa sembuh. Seumur hidup dia harus berkawan dengan lupus. Sebenarnya, penyandang lupus bisa juga mengalami kondisi yang disebut remisi. Yakni, kondisi pasien stabil.
Namun, tetap ada saatnya kambuh lagi. Pada setiap penderita, jangka waktunya berbeda. ”Disamain aja kayak orang sakit flu. Kadang sembuh, kadang kambuh,” ujarnya, lantas tergelak. Pada penyandang lupus, tidak ada namanya stop obat. Pasien mesti meminum obat inti berupa imunosupresan yang menekan daya tahan tubuh berlebih.
Selain itu, obat pendamping disesuaikan dengan organ yang diserang. Makanan juga harus dijaga. Kacang-kacangan, seafood tidak boleh sering-sering. Makanan ber-MSG dilarang.
Mi instan hanya bisa dimakan tiga bulan sekali. ”Kalau bisa, enggak sama sekali. Makanan lebih baik bawa sendiri daripada beli,” ujar perempuan kelahiran Palembang itu.
Yang paling berat, dia harus melindungi diri dari sinar matahari. Saat terkena matahari, antibodi meningkat. Untuk mengakalinya, aktivitasnya dimulai pukul 06.30 dan baru berakhir pukul 18.00 WIB. ”Jadi kayak vampir cantik,” ucapnya, lantas tersenyum. Pengalaman berat yang dilalui membuat Rosi tergerak untuk mencari pasien lupus lain.
Rosi bergabung dengan Yayasan Lupus Indonesia (YLI) pusat. Organisasi itu berbasis di Jakarta. Dia menjadi anggota YLI Jatim sejak 2010. ”Kegiatannya sosialisasi dan membantu sesama yang enggak tahu apa-apa. Jangan sampai pasien lupus merasa sendiri,” kata Rosi.
Menurut dia, selama ini memang banyak pasien lupus yang menutup diri. Mereka tidak ingin orang lain mengetahui penyakitnya. Akibatnya justru lebih buruk. Stres yang muncul dapat memicu penyakit lain. Untuk mengurangi beban penderita lain, dia kerap melakukan hospital visit. Dia mendampingi pasien-pasien yang kambuh lupusnya.
”Sabtu, Minggu, anytime ada kunjungan, hampir tiap hari ke rumah sakit,” ujarnya. Dia juga aktif melakukan edukasi tentang lupus. Terutama kepada masyarakat yang sama sekali tidak mengetahui penyakit itu. Bahkan, dokter terkadang salah diagnosis. Lupus memang sulit terdeteksi. ”Lupus juga dikenal sebagai penyakit seribu wajah. Susah dikenali karena menyerupai penyakit apa saja,” ungkapnya. Sejak 2012, Rosi mendapat amanah sebagai ketua YLI Jatim.
Ada sekitar 100 pasien yang bergabung. Di antara mereka, ada juga penyandang yang masih anak-anak. Dengan segala sakit yang dirasakan, Rosi terus menyuarakan lupus di berbagai kesempatan. Lupus bukan penyakit menular dan pasien tetap bisa hidup normal dengan perawatan yang benar.
”Dulu saya sendiri sempat down. Sekarang sudah menerima kondisi. Kalau menerima, akan tahu cara mengatasinya. Melawan musuh dengan kekerasan akan capek karena lupus itu serigala licik. Jadi, manusia harus lebih pintar,” tegasnya. (*/Jawa Pos/JPG)

Muniroh, Surabaya